Keren, Ada Kopi Gayo Berbalut Afrika di Medan

oleh
Foto:rimbakopi
Foto:rimbakopi
Foto:rimbakopi

Medan-LintasGayo.co: Beralamat di Komplek Puri Telada Blok Catellia No. 4 Jl. H.M. Joni Medan, Rimba Kopi, sepertinya hadir menjawab pertanyaan, di mana kafe di Medan yang ada komunitas kreatifnya.

Saya cukup tertarik dengan suasananya. Ikon karikatur Benny & Mice yang dulu saya kenal ketika masih rajin membaca koran Kompas edisi Minggu. Tokoh kartun ini selalu mampu mengundang senyum satir terkait fenomena sosial politik yang terjadi di negeri ini.

Begitu Benny menyambut, saya langsung dihadapkan pada satu tempat kecil terbuat dari bambu yang bernaung di bawah pohon bambu juga. Cukup rimbun sehingga kesannya memang seperti di alam bebas. Di sinilah barista stand by menerima pesanan pengunjung.

“Kopi apa aja yang ada, bang?” tanyaku.

“Ada Arabika Gayo, Gayo Premium,” kata barista berpenampilan “nyeni”, potongan rambutnya gondrong. “Kopi Sidikalang juga ada…”

“Yang lain?”

“Kalau mau ini, Gayo Afrika,” katanya dan langsung mengundang minat saya untuk memesan kopi yang baru pertama kali saya dengar itu. “Bolehlah, itu aja (Gayo Afrika),” kataku.

Konsentrasi saya mengikuti jalannya temu pers yang sudah berlangsung hangat dengan tanya jawab dari teman jurnalis dan narasumber, sempat tidak fokus karena ketertarikan saya sedang terarah pada kopi ini.

Kopi tubruk Gayo Arfika ala Rimba Kopi sudah tiba di hadapanku. Aromanya, coy… “Paten punya,” kata orang Medan. Saya menyisihkan bubuk kopi yang muncul di permukaan dan menyatu dengan crema. Setidaknya, itu bisa meminimalisir bubuk kopi yang ikut saat diseruput. Di kafe ini, semua kopi memang diseduh dengan cara tubruk. Begitu tradisional. Saya suka.
Rimba Kopi

Rimba Kopi

Saya sempat bertanya kepada barista, kenapa disebut kopi Gayo Afrika. Dengan referensi yang terbatas, sang barista menjawab, asal kopi ini memang dari Aceh dengan biji kopi berasal dari Arfika. Sedikit menggugah nalar memang. Sebab, pertama kali kopi ditemukan pada abad ke-9, memang masih hanya tumbuh di Ethiopia.

Kemudian kopi dari Afrika dibawa pedagang Arab dari Yaman ke Eropa dan begitu diminati orang-orang Italia. Kemudian budaya ngopi menyebar ke daratan Eropa. Konon, di Indonesia, biji kopi pertama kali dibawa Belanda. Ironisnya, waktu itu hanya segelintir orang Indonesia yang tahu bahwa kopi merupakan komoditas unggul dengan pasar yang begitu besar. [Baca Sejarah Kopi di Wikipedia]

Saya pikir, jawaban barista tadi masuk akal. Dan, penamaan kopi memang selalu didasari dari data indikasi geografisnya. Daerah asal selalu menjadi kata kunci terhadap kopi. Sebut saja misalnya kopi Gayo, yang sebagian besar tumbuh dari Desa Benar Meriah, Aceh Tengah.

Saya cukup bangga dengan rasa kopi Gayo Afrika ini meskipun diseduh dengan cara tumbruk. Untuk ukuran saya, kopi ini cukup keras dan nendang. Saya tidak tahu apakah ada campuran robusta di dalamnya. Beruntung saya masih mampu mengantisipasinya dengan cara menyeruputnya sampai habis dan menyisakan ampas.

Welldone! Jantan sekali kopi ini, pikirku. Tanpa efek samping!

Rimba Kopi, saya pikir, hadir menjawab kebutuhan orang yang suka dengan seni dan kopi yang tidak asalan. Memang banyak alasan yang sangat masuk akal untuk memadukan kopi dan seni. Memasukkan unsur seni ke dalam kopi akan melahirkan satu budaya ngopi yang berbeda. Dan sesuatu yang berbeda, biasanya akan selalu dicari.

“Memang, kafe ini masih baru. Masih jalan enam bulan. Selama ini memang masih anak-anak film yang masih sering nongkrong di sini. Yang pasti, untuk komunitas kreatif lain, kita sangat open,” ujar Ridho Golap, sineas Mataniari Production yang menjadikan Rimba Kopi sebagai rumah berkreatifitas di film.[]

sumber: kopibrik

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.