Oleh: Johansyah,MA*
SUATU hal yang membanggakan kiranya manakala dari hari ke hari anak-anak negeri ini semakin banyak mengenyam pendidikan tinggi, mulai jenjang S1, S2, dan S3 di berbagai bidangnya, baik dari perguruan tinggi dalam negeri maupun luar negeri. Namun publik terkadang kecewa dengan ulah sebagian mereka yang terdidik ini ketika telah terlibat bekerja di pemerintahan menjadi pejabat negara. Mereka kerap melakukan penyimpangan, idealismenya lumpuh terbius oleh hedonisme kekuasaan dan moralnya pun digadaikan.
Hal ini pula yang memudarkan harapan kita dan bersikap pesimis terhadap mereka yang terdidik ini. Kecil kemungkinan bahwa mereka mampu membawa perubahan ke arah yang lebih baik bagi negeri ini jika dalam kecerdasan mereka tidak ada muatan nilai moral. Justru yang terjadi sebaliknya, mereka menggiring kita ke arah suram yang penuh persoalan, menjadi penyebar ‘penyakit’ dalam masyarakat maupun di pemerintahan. Para serjana kita hanya mewarisi pengetahuan dari keserjanaannya tanpa ikut pula mewarisi nilai-nilai moral, etika, atau perilaku yang baik dari bangku kuliahnya.
Kita bisa menyaksikan sendiri berbagai fakta, bagaimana orang-orang yang berpendidikan tinggi melakukan praktik penyimpangan, terutama korupsi. Bahkan sebagiannya ada yang terlibat kasus narkoba, pergaulan bebas, dan bentuk kejahatan lainnya. Walaupun yang melakukan tindakan ini hanya oknum, namun tentu institusi yang menaunginya akan tetap menjadi sorotan publik dan sekaligus merusak reputasi institusi tempat dia bekerja.
Contoh yang lagi hangat saat ini adalah penangkapan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Akil Mukhtar, oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait kasus pemilukada Gunung Mas, Kalimantan. Sebelumnya Kepala SKK Migas, Rudi Rubiandini, pada agustus lalu juga ditangkap KPK terkait dengan kasus suap. Siapa pula yang tidak tau kasus suap impor daging sapi yang menyeret Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Luthfi Hasan Ishak? Publik juga tentu mengetahui kasus Hambalang yang menyeret Andi Malaranggeng ke meja hijau. Boleh jadi, Anas Urbaningrum juga akan menyusul mereka, kalau memang apa yang dituduhkan kepadanya terbukti. Masih banyak lagi kasus lainnya yang melibatkan para pejabat negara.
Tentunya kita sadar, bahwa orang-orang yang tersandung kasus korupsi ini adalah insan-insan yang terdidik. Bahkan sebagian mereka merupakan jebolan dari perguruan tinggi luar negeri. Sedereten kasus yang melibatkan pejabat negara ini adalah potret nyata mentalitas para pejabat kita saat ini, baik yang ada di eksekutif maupun legeslatif, di pusat maupun daerah. Pejabat kita adalah pejabat menuntut untuk dilayani, menyalahgunakan jabatannya, berwatak korup, dan bermental calo.
Seandainya KPK menyebar secara merata di semua daerah kabupaten/kota dan bekerja secara profesional, mungkin sebagian besar dari pejabat di pemerintahan kita akan mengalami nasib yang sama seperti para terduga koruptor yang kita sebutkan di atas. Berdasarkan penuturan Menteri Dalam Negeri, Gamawan Fauzi, sebagaimana dikutip Tempo.co, sebanyak 290 kepala daerah sudah berstatus tersangka, terdakwa, dan terpidana karena terbelit kasus. Dari jumlah itu, sebanyak 251orang kepala daerah atau sekitar 86,2 persen terjerat kasus korupsi.
Kalau demikian, ada kesamaan masyarakat Indonesia sekarang dengan masyarakat Jahiliyah dulu ketika nabi Muhammad belum diutus. Masyarakat Mekkah dulu sebenarnya cerdas intelek, tetapi kebanyakan tidak bermoral sehingga berperilaku sesuai keinginan dan kemauannya saja. Mereka menempatkan akhlak pada posisi yang rendah. Akibatnya, budaya masyarakat yang terbangun waktu itu adalah budaya buruk seperti kapital, kanibal, imperial, dan budaya buruk lainnya yang ditopang oleh ambisi pribadi, nafsu, dan keserakahan. Inilah yang dinamakan jahiliyyah dan menimpa Indoensia sekarang.
Penyebab
Apakah yang menjadi penyebab kemerosotan moral ini? jawabannya tentu bisa beragam. Setidaknya ada tiga ranah yang perlu kita lihat, yakni ranah penegakan hukum, budaya, dan sistem pendidikan. Ketiga ranah inilah yang dapat dikatakan menjadi penentu kokoh atau rapuhnya moralitas. Pertama adalah ranah penegakan hukum. Tidak semua orang takut melanggar hukum karena kesadarannya sendiri. Banyak orang yang urung melakukan kejahatan disebabkan karena penerapan hukum yang baik dan benar di negara atau wilayah tempat dia tinggal. Dengan kata lain, membentuk moralitas publik bukan sekedar butuh kesadaran orangnya, tetapi butuh pemaksaan dengan berusaha menegakkan hukum sebaik-baiknya.
Saat ini, penegakan hukum di Indonesia sedang menjadi taruhan publik. Banyak kalangan yang sudah sejak lama bersikap pesimistis terhadap upaya penegakan hukum di negeri ini. Apalagi setelah ketua MK ditangkap oleh KPK yang menyebabkan elektabilitas terhadap lembaga penegak hukum semakin menurun. Tidak ada cara lain untuk menebus semua itu kecuali para penegak hukum kita harus berjuang keras membenahi semua kekeliruannya dengan cara penegakan hukum yang seadil-adilnya.
Kedua adalah ranah budaya. Ranah budaya ini berjalin kelindan dengan ranah yang pertama tentang penegakan hukum. Masyarakat kita tergolong masyarakat yang memiliki rasa kekeluargaan yang baik. Budaya kekeluargaan ini seringkali salah kaprah ketika sekolompok orang terlibat dalam urusan pemerintahan. Budaya kekeluargaan ini disalahgunakan untuk ‘menyelamatkan’ saudara atau rekan yang terkait sebuah kasus. Budaya kekeluargaan ini pula yang acap kali merapuhkan kekuatan dan idealisme para penegak hukum.
Terakhir adalah sistem pendidikan. Lembaga pendidikan tentu memiliki peran penting dalam membangun karakter manusia. Sejujurnya kita harus mengakui bahwa orientasi pendidikan (formal) kita saat ini lebih kepada penguatan aspek kognitif dan psikomotorik, sementara di sisi lain kurang memerioritaskan aspek moral-afektif untuk membentuk karakter peserta didik. Program pendidikan karakter yang dirintis kembali oleh kemdikbud pada tahun 2010 lalu, tentu merupakan langkah baik yang dilakukan pemerintah. Namun hasilnya tidak mungkin secara instan dituai dalam waktu dekat, tetapi membutuhkan proses yang panjang.
Jika demikian, maka ketiga ranah inilah yang harus terus kita perbaiki secara sinergis dan simultan. Untuk misi ini, kita membutuhkan para pemimpin yang bersih, berani, dan memimiliki visi yang jelas, baik di tingkat pusat maupun daerah. Saat ini, sistem demokrasi kita masih lemah dan tidak efektif untuk melahirkan pemimpin yang berkarakter seperti ini. Untuk itu, kiranya untuk tujuan ini kita juga harus mau mengubah sistem pemilihan langsung kepada sistem perwakilan yang lebih efektif dan bersih.
Akhirnya, kecerdasan manusia hanya akan menjadi bumerang dan menghacurkan mereka sendiri, kecuali jika dilandasi dengan moral dan akal budi. Semoga kita menjadi orang terdidik yang bermoral. Wallahu a’lam!(johansyahmude@yahoo.co.id)
*Kandidat Doktor Pendidikan Islam pada UIN Ar-Raniry Banda Aceh.