Musafir Langit di Negeri Tengku Bener Merie

oleh
Penulis di Makam Tengku Bener Merie

Oleh: Mukhlis Bintang*

Penulis di Makam Tengku Bener Merie
Penulis di Makam Tengku Bener Merie

MAAF kataku lirih dalam hati, baru sekarang aku bisa menginjakkan kaki ku di salah satu titik nol dari sekian titik nol negeri Renggali. Air mata pecah, mata menghujam. Inikah tanah Tembuni Tengku Bener Merie? Inikah tempat dimana Tengku Bener Merie dimakamkan, ini kah tempat terakhir pelarian tengku Bener Merie? Aku bahagia diatas bahagia, aku resah pada titik resah yang pongah. Bahagia karena aku bisa belajar hidup sebentar dinegeri yang pernah dihuni oleh para panglima dan syuhada. Cemas, apakah aku bisa memaknai keberedaan ku di disini. Hari demi hari kulalui dengan suka dan duka.

Samar Kilang adalah satu diantara negeri para aulia yang tersisa di negeri Bawar. Terletak di timur kota Pondok Baru lewat jalur Blang Jorong dengan jarak tempuh dua jam dengan roda dua. Dua tahun yang silam aku menjajakkan kaki, menghirup udara spiritual yang menghujam pada inti hati. Ada sepenggal cerita yang menghinotis logika menguras akal lamunan menjadi kritis yang tak berkesudahan. Enam bulan berlalu, ada ingin berwujud hasrat untuk memelihara Musafir langit putih yang tinggal dibumi. Ingin itu terus bergelora.

Aku suka senja hari. Dipelataran rumah, aku dan istriku mengumpulkan satu persatu ilmu syukur ditemani sihitam manis. Puluhan bahkan ratusan sang musafir langit saling berebut tempat di tiang-tiang. Aneh tak ada yang berbulu putih. Tak lama kemudian surau-surau melantunkan ayat-ayat suci Al-qur’an, indah sekali, tenang teramat tenang. Adzan berkumandang! Sang musafir langit kepakan sayap kembali ke tempat peraduan sambil ucapkan “Tunaikan Magrib-mu wahai mahluk yang dikarunia akal” Hening tanpa ada lagi pongah, tak ada lagi resah. Percikan air hasilkan surara indah, manusia bersuci mensucikan mulut, wajah, tangan, rambut, telinga dan kaki. Sujud bersimbah, tumpahkan air mata mengharapkan ridho bukan pahala.

Malam hening, hanya telinga dengarkan seksama alunan simponi bunyi dedaunan. Sesekali terdengar parade cicak di dinding. Gelap sekali, tidak seperti dikota-kota, Samar Kilang tersudut pada kelam tanpa penerang tanpa jalan hitam. Hujatan-hujatan demi hujatan pemerintah pada dengan angkuh hasilkan janji semu. Seperti janji seorang kekasih bertemu di puncak alkahfi hanya hasilkan fatamorgana. Nampu himpitan pemerintah tak mampu miskinkan kenyamanan dan daya tarik spiritualitas pengembaraan hati bertapa pada tapa ridho Ilahi.

Dalam balutan kopiah lusuh, wajah setengah basah di tengah malam, tanpa berisik seperti patung kuaduk secangkir kopi ditemani kepulan asap tembakau sisa yang sore tadi. Termenung aku diberanda rumah, menatap entah masih ada bekas atau hanya fatamorgana. Kupandangi tiang-tiang, terkejut ada musafir langit putih sendiri, entah menatapku entah hanya perasaanku saja. Seolah-olah dianya miliku yang sudah lama hilang dan kini kembali lagi. Cahaya rembulan remang-remang menampakan kilauan keputihan bulunya. Tuhan ijinkan aku memiliknya, karena aku ingin.

Dengan hati-hati aku masuk kedalam rumah, kuperiksa tas yang berisi kamera digital semi autoket. Ini dia kataku, Alhamdulillah. Dengan seketika kubuka pintu. Kupandangi tiang-tiang, kuperhatikan dengan seksama. Hilang, kemana? Fatamurganakah? Merinding sekucur tubuhku dalam dada Ilahi Anta Maksudi Lailahaillallah Muhammadarrulluh Alah, Allah. Entahlah air mata ini mengalir begitu saja. Seakan aku ingin memilikinya, aku terdiam.

Siang bolong tiga hari kemudian, sedang asyik-asiknya berdiskusi dengan kekasih hati tercinta thema tentang ‘dibalik kesuksesaan seorang suami ada bidadari sang istri dibelakangnya”

Seorang pasien bernama aman Rizki membawa anaknya yang lagi sakit demam. Sambil Istriku memeriksa penyakitnya, aku berdiskusi tentang persoalan hidup di Samar Kilang. Terbetik dihatiku, untuk menanyakan merpati, karena kebetulan Aman Riski adalah pemelihara merpati disamar kilang. Kuberanikan diri untuk mengutarakan niatanku untuk memelihara merpati. Bang aku ingin memelihara merpati tanyaku memecah kebisuan. Ara ke nge manak merpati bang? (sudah ada anak ngak merpatinya bang?). ngeh nye kumah (sudah, datang terus kerumah). Katanya.

Aku ingin merpati putih bang kataku. Wah, kenapa harus merpati putih timpalnya. Ya karena aku suka aja bang, jawabku spontan. Bukan aku tidak mau beri bang, Cuma persoalannya merpati putih itu langka. Lagian merpati putih itu, kalau sudah bisa terbang dia akan pergi dengan sendirinya. Kemana? Tanyaku dan kenapa? Jawabnya, aku juga tidak tahu bang. Sepengetahuanku merpati putih itu terbang ke Bur (gunung) Kedet. Aku terdiam. Aku membisu diatas kebisuan dengan segudang pertanyaan. Bang kami pulang dulu, aku terhentak dari lamunan. Ia kataku. Terimakasih.

Pascakepulangan ku dari Samar Kilang, aku tidak pernah tenang di kejar misteri merpati putih. Kucoba membuka beberapa referensi tentang kehidupan merpati putih. Tanpa kusadari, kutemukan bahwa merpati putih adalah musafir langit yang tinggal dibumi. Putih adalah lambang kesucian. Tapi kenapa harus terbang tanyaku dalam hati.

Satu bulan berlalu, aku mencoba membuat sebuah perbandingan. Aku beranikan diri mengembara sebentar ke-negeri Linge. Aku mencari dengan sekuat tenaga ternyata merapi putih ada di Linge “kenapa di Linge merpati putih tidak terbang ke lain tempat layaknya di samar kilang” tanyaku. Logika goncang, hasilkan sejuta kebigungan. Aku merenung terus merenung. Aku hanya terdiam, aku hanya pasrah. Dalam dada, aku berkata syukur-ku yang tak hingga kepadamu Allah-ku yang telah mengijinkan-ku mampir sementara di bumi para Aulia, tempat tembuni tengku Bener Merie.

Ini adalah salah satu bukti akan kekuasaanMu, aku masih harus masih banyak belajar tentang arti hidup, tentang arti bernafas, tentang arti pandangan, tentang arti hati yang hakiki. Lailahailla Anta Maksudi Asyhadualla Ila Haillallah wa Asshaduanna Muhammadarrasulullah, Allah..Allah  Ridhoilah raga dan jiwa ini Allah-ku.[]

*Pamong Budaya di Aceh Tengah

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.