Pemilu Legislatif: Partai atau Sosok?

oleh

Oleh: Yusradi Usman al-Gayoni*

yusradi algayonieKEBERADAAN sosok sejauh ini masih menjadi kekuatan terbesar dalam peningkatan ataupun penurunan popularitas partai politik. Kuat atau lemahnya peran sosok tersebut mengubah konfigurasi penguasaan parpol saat ini. Indikasi semacam itu tampak dari perbandingan dua hasil survei opini publik Kompas, yang menghimpun 1.400 responden calon pemilih dalam Pemilu 2014 di 33 provinsi.

Hasil kedua survei tersebut menunjukkan ada perubahan konfigurasi penguasaan calon pemilih oleh parpol. Perubahan konfigurasi popularitas parpol itu sangat terkait erat dengan keberadaan dan kiprah sosok-sosok yang ada dalam parpol. Dalam hal ini, parpol yang memiliki sosok populer dan positif dipandang publik akan menuai dukungan. Sebaliknya, jika tidak memiliki sosok yang diandalkan atau memiliki sosok yang kurang berkenan di mata publik, parpol cenderung tidak bergerak atau justru makin resistan (Kompas, 27 Agustus 2013)

Di Takengon?

Hasil itu tak jauh berbeda dengan kondisi di Takengon, khususnya di Kecamatan Bebesen. Hal tersebut terlihat dari amatan yang dilakukan pada tanggal 14 April-16 Mei 2013. Pun tidak mewakili, hasil itu menggambarkan sikap pemilih di Takengon yang terdiri atas empat Dapil, yaitu Dapil I (Kec Bintang, Kec Kebayakan, dan Kec Lut Tawar), Dapil II (Kec Atu Lintang, Kec Jagong Jeget, Kec Linge, dan Kec Pegasing), Dapil III (Kec Celala, Kec Ketol, Kec Rusip Antara, dan Kec Silih Nara), dan Dapil Dapil IV (Kec Bebesen, Kec Bies, dan Kec Kute Panang)

Sejauh ini, keberadaan sosok sangat berperan penting dalam partai politik. Termasuk, calon legislatif (caleg) yang diusung partai. Dengan begitu, tingkat popularitas, akseptabilitas, dan elektabilitas berpengaruh signifikan terhadap persepsi, sikap, dan keputusan politik pemilih. Calon yang populer, belum tentu diterima masyarakat. Alhasil, kemungkinan keterpilihannya pun semakin kecil. Sebaliknya, calon yang diterima masyarakat—meski tingkat kepopulerannya kurang—kemungkinan besar akan dipilih. Namun, persoalan memilih tidak sampai di situ. Masih banyak pertimbangan lain dari pemilih.

Selanjutnya, masyarakat lebih melihat sosok ketimbang partai pengusungnya baik yang maju dalam pemilu kepala daerah (pemilu kada) maupun pemilu legislatif. Dalam masyarakat Gayo, dikenal istilah ‘perau’ yang merujuk kepada partai politik. Dengan pengertian lain, partai politik sebatas kendararan atau instrumen untuk maju (meraih kekuasaan). Memang, pemilu legislatif sedikit berbeda dengan pemilu kada. Dalam pemilukada, calon kepala daerah bisa maju melalui jalur independen. Tapi, tidak untuk nyaleg. Calon anggota legislatif harus melalui partai politik, kalau tetap ingin maju ke parlemen. Di lain pihak, masih belum ada undang-undang, peraturan atau ketentuan yang membolehkan calon anggota legislatif maju melalui jalur independen, sampai sekarang.

Untuk jangka pendek, peran sosok dan kesosokannya bisa berkontribusi terhadap kemenangan partai politik. Akan tetapi, ketergantungan terhadap sosok itu bisa berdampak negatif bagi partai politik. Akibatnya, bisa mematikan proses kaderisasi dan regenerasi di tubuh partai. Karena, besarnya ketergantungan tadi.

Sebagai tambahan, masalah ini—kaderisasi dan regenerasi—merupakan salah satu kelemahan orang Gayo baik dalam partai politik maupun nonpartai politik, mulai dari tingkat kabupaten, propinsi sampai tingkat nasional. Karena, masih belum ada upaya yang sungguh-sungguh dan komprehensif untuk membenahinya dari semua pihak di Gayo dan di luar Gayo.

Rekam Jejak

Selain kepopuleran, masyarakat, khususnya yang memiliki hak pilih juga melihat rekam jejak calon. Dengan kata lain, bukan sembarang calon (sah kenak). Sebaliknya, lebih melihat kemampuan, kualitas, pendidikan, wawasan, pengalaman, kesalehan personal, dan dedikasinya selama ini. Namun, ada pergeseran nilai yang terjadi dalam sistem perpolitikan di Takengon dan umumnya di tanoh Gayo. Terutama, paskareformasi. Sebagian masyarakat “ikut terpengaruh” oleh adanya politik uang (money politics) yang dimanfaatkan calon-calon yang bermodal dan punya kekuasaan. Barangkali, itulah memang cara satu-satunya dari yang bersangkutan untuk bisa terpilih, yaitu dengan “menyogok” pemilih (bermain politik uang). Tak menutup kemungkinan juga, pihak penyelenggara.

Dalam kaitan itu, pendidikan politik mesti terus dikuatkan. Akibatnya, masyarakat tidak salah memilih. Kalah salah memilih, dampak yang dirasakan masyarakat bukan cuma lima tahun, melainkan lebih. Bisa-bisa, masyarakat lagi yang “jadi korban.”(algayonie@yahoo.com)

*Dosen STKIP Muhammadiyah Aceh Tengah/Direktur Research Center for Gayo

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.