Nasionalisme Gayo Pasca Kemerdekaan Republik Indonesia

oleh
Merah Putih di Bur Gayo Takengon. (Kha A Zaghlul)

Oleh: Hanisa Fitri*

hanisaf
UNTUK memaknai Kemerdekaan tidak perlu rumit, cukup dengan merasakan bebas dari tekanan lahir dan Bathin. Tanpa rasa itu, berarti kita belum menemukan kemerdekaan sesungguhnya.

Hari ini, 17 Agustus 2013, negara kita Republik Indonesia sedang memperingati hari Kemerdekaan ke-68 tahun–bila dikaitkan dengan usia manusia maka usia yang sudah uzur, lemah, dan pasrah. Dan diluar itu, usia 68 tahun bagi sebuah negara tentu masih usia yang sangat dini, dan budaya penjajahan ituĀ  masih melekat dalam diri Indonesia, yakni saling musuh,iri hati, dan saling menjatuhkan. Persis uken-to’a yang masih subur sebagai persaingan, entah negatif atau positif, tapi urang-urang tetap ada di bumi Gayo.

Warisan lain Belanda yang kental adalah menciptakan situasi tak nyaman antara suku Aceh-Gayo, Pidie-Aceh Rayeuk, atau di pulau Jawa dikenal Jawa-Sunda. Motifnya sama, yakni saling menjatuhkan, dan antara satu dengan lainnya tidak ada pengakuan terbaik.

Di Takengon disebut uken To’a, atau kalau kita mau berpaling sedikit pada peristiwa pahit perdamaian “sengkal mas” antara Bebesen dan Kebayakan, dimana kedua daerah itu terbilang salah satu korban politik pecah belah Belanda bernama “Devide et empera”, yang kemudian tokoh Gayo merahasiakannya agar generasi berikutnya tidak terbawa. Harusnya sejarah tetaplah sejarah yang musti dikenang, agar generasi di Gayo dapat mendalami makna kemerdekaan itu sendiri.

Kesalahan lainnya, Gayo cuma memiliki sejarah pahitĀ  pada penjajahan masa itu, dan harapan sosok yang menjadi “pahlawan” pun lantas hilang. Gayo tidak memiliki motivasi perjuangan terhadap republik Indonesia, karena dari sejarah perjuangan itu Gayo tidak melahirkan pahlawan nasional, atau pahlawan yang patut mendapat pengakuan sebagai simbol “nasionalisme” perjuangan Gayo.

Padahal, kalau kita membuka sejarah lokalitas perjuangan rakyat Gayo, ada beberapa nama yang patut menjadi catatan khusus sejarah perjuangan urang Gayo, walau kita ketahui akhirnya perempuanlah yang paling banyak berperan sebagai pahlawan kemerdekaan di Gayo.

Nama pejuang hebat seperti Aman Dimot yang kini makamnya di kaban Jahe, Tanah Karo, merupakan pejuang yang tewas saat berkecamuk perang Medan Area. Lalu, soal Aman Dimot–generasi muda di Gayo cuma memahami sebatas itu saja. Atau nama-nama perempuan pejuang seperti Datu Beru dan Inen Mayak Tri–dua perempuan yang kemudian sejarahnya kabur. Belum ada yang mampu mengkaji kelayakan mereka menjadi pahlawan nasional. Inilah tugas pokok yang patut menjadi tugas kita semua orang Gayo untuk merasionalkan kelayakan mereka menjadi pahlawan.

Dan sekarang, situasi itu kian parah dimana rasa nasionalisme yang kita agung-agungkan ternyata mulai terkubur.Bagaimana kita dapat menjadikan orang-orang yang telah berperang hingga tetes darah penghabisan merasa tersanjung, ketika kita di Gayo untuk memperoleh selembar bendera “merah putih” saja harus “gratis”, padahal kita sadar apabila perjuangan kemerdekaan yang di raih pendahulu kita bukan didapat begitu saja, tetapi dengan perjuangan gigih dan mati-matian pula. Harusnya, nasionalisme Gayo kuat dan bermartabat, karena perjuangan mati-matian pendahulu kita tidak tercatat secara besar, walau perjuangan kemerdekaan yang dilakukan sebenarnya besar. Pejuang mungkin tidak peduli itu, tapi kita sebagai anak dan cucu pejuanglah yang harus “memperjuangkan” kebesaran itu sebagai mutu “nasionalisme” kita di tanoh Gayo.

*Penulis adalah pimpinan Yayasan Argadia Takengon

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.