
Catatan Sebulan Gempa Gayo oleh Muhammad Syukri
Gempa merupakan sunnatullah atau hukum alam yang terjadi hampir di semua pelosok bumi. Ini membuktikan kepada kita bahwa peristiwa kegempaan bukan hanya terjadi di Dataran Tinggi Gayo, tetapi sering dialami oleh warga yang tinggal di berbagai belahan bumi. Sebenarnya, merasakan kegempaan dalam skala yang relatif kecil sudah menjadi bagian keseharian bagi warga Dataran Tinggi Gayo yang berdomisili di jalur ring of fire (cincin api). Hanya saja, gempa tektonik dangkal 6,2 SR yang terjadi sebulan lalu, tepatnya Selasa, 2 Juli 2013 pukul 14:37:03 WIB menimbulkan kerusakan parah dihampir sepertiga wilayah Aceh Tengah.
Sebagai jalur ring of fire, sesungguhnya Dataran Tinggi Gayo berada diatas beberapa patahan yang potensial menghadapi kegempaan. Disamping itu, daerah penghasil kopi arabika ini, juga berada dalam komplek gunung api yang sewaktu-waktu dapat melahirkan bencana alam. Peneliti dari BPPT, Dr Agustan (Antara, 10/7/2013) bahkan mengatakan bahwa “Gempa yang terjadi di Gayo tidak terletak pada patahan utama, melainkan pada cabang-cabangnya.”
Hikmahnya, gempa yang menggoyang Dataran Tinggi Gayo sore itu memberi banyak pengetahuan kepada kita. Ahli geologi dan pakar kegempaan membagi ilmunya diberbagai media, baik media cetak maupun media online. Salah satunya adalah Faizal Ardiansyah, Ketua Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) Aceh kepada okezonedotcom (3 Juli 2013) mengatakan bahwa gempa yang terjadi di Dataran Tinggi Gayo akibat pergerakan sesar Sumatera atau patahan Semangko.
Faizal menambahkan, untuk wilayah yang rawan gempa tektonik dari sumber gempa darat yaitu patahan semangko. Wilayah ini umumnya membelah bagian tengah Aceh searah dengan Bukit Barisan. Patahan Semangko juge memiliki sesar-sesar kecil yang menyebar pada beberapa wilayah Aceh baik di utara maupun selatan, seperti patahan Lokop-Kutacane, Blangkejeren-Mamas, Kla-Alas, Reunget-Blangkejeren, Anu-Batee, Samalanga-Sipopoh, Banda Aceh-Anu, dan Lamteuba-Baro.
Gambaran yang disampaikan Faizal Ardiansyah makin memperjelas kepada kita bahwa wilayah Dataran Tinggi Gayo berada diatas sesar Sumatera atau patahan Semangko. Disadari atau tidak, hamparan wilayah subur yang dipenuhi tanaman kopi arabika Gayo ini potensial terjadi kegempaan kapan saja. Dengan pengetahuan ini, warga Dataran Tinggi Gayo sudah saatnya menyesuaikan kehidupannya dengan kondisi geologi daerah tempat mereka berdomisili. Momentum inilah yang harus dimanfaatkan untuk mempelajari tentang sesar Sumatera atau patahan Semangko yang sewaktu-waktu dapat mengeliat.
Sudah saatnya kita belajar pengalaman bangsa Jepang dalam menghadapi kegempaan. Untuk itu, mari kita ikuti penuturan Junanto Herdiawan seorang ekonom yang bermukim di Jepang kepada Kompasdotcom (12/3/2011). Menurut Junanto, hal menarik dari gempa di Jepang adalah perkara kesiapan pemerintah dan warganya dalam menghadapi bencana. Meski panik, mereka terlihat tenang dalam menyikapi bencana. Prosedur dan latihan bertahun-tahun membentuk ketenangan tersebut. Selain itu, budaya memikirkan orang juga patut dicontoh.
Saat pulang semalam (setelah kejadian gempa Jepang tanggal 11 Maret 2011), tutur Junanto, meski jalanan padat oleh mobil, masyarakat menyerbu supermarket untuk makanan, warga mencari taksi untuk kembali pulang, mereka tetap melakukannya dengan tertib dan antri secara teratur. Di jalanan, meski macet total, tapi tidak terlihat ada yang menyerobot, bahkan menyalakan klakson.
Menurut Junanto, gempa 11 Maret 2011 itu adalah yang terbesar sepanjang sejarah gempa di Jepang. Namun mereka telah mempersiapkan kedatangan gempa itu jauh-jauh hari. Malang tentu tak dapat ditolak, tapi bagaimana menyikapi bencana tersebut menjadi penting. Dengan persiapan yang matang dan antisipasi yang baik, meski terdapat korban, jumlahnya bisa diminimalkan. Bayangkan bila Jepang tidak mempersiapkan diri, termasuk mempersiapkan ketahanan bangunannya. Korban mungkin bukan hanya akibat tsunami, tapi ditambah dengan akibat reruntuhan bangunan.
Penuturan Junanto tersebut setidak-tidaknya telah membuka mata kita tentang upaya bangsa Jepang “bersahabat” dengan bencana. Kemudian, Dr Agustan dan Faizal Ardiansyah sudah sangat jelas menggambarkan kondisi geologi Dataran Tinggi Gayo yang berada diatas sesar Sumatera atau patahan Semangko yang rawan gempa. Haruskah kita menghindar dari kenyataan tersebut? Tentu tidak mungkin, karena hidup dan kehidupan warga Dataran Tinggi Gayo berada diatas sesar tersebut. Kita tidak mungkin lari selain menghadapi kemungkinan terburuk dengan kondisi siap siaga. Langkah kesiapsiagaan menghadapi gempa tidak mungkin diperoleh seperti membalik telapak tangan tetapi harus melalui latihan bertahun-tahun.
Langkah apa yang harus dilakukan agar dapat bersahabat dengan gempa?
- Seluruh warga di Dataran Tinggi Gayo harus meyakini bahwa tempat tinggalnya berada diatas sesar Sumatera atau patahan Semangko. Caranya, pengetahuan tentang sesar Sumatera atau patahan Semangko (termasuk patahan lainnya) serta cara menghadapi dan menanggulangi dampak kegempaan harus dijadikan muatan lokal yang dijadikan pelajaran wajib sejak dari bangku SD sampai perguruan tinggi.
- Pengawasan izin mendirikan bangunan harus diperketat. Setiap bangunan gedung milik warga, fasilitas umum maupun bangunan pemerintah wajib berpedoman kepada persyaratan bangunan tahan gempa.
- Dilarang mendirikan bangunan dipinggir tebing atau di daerah rawan bencana.
- Setiap warga wajib mengikuti latihan rutin (sebulan sekali) menghadapi bencana serta upaya penanggulangan bencana.
- Setiap fasilitas umum yang dibangun harus dipersiapkan sebagai tempat pengungsian apabila sewaktu-waktu terjadi bencana.