Membangun Kearifan Lokal Gayo

oleh

Oleh: Syaiful Hadi J.L.*

syaiful_hadiPEDALAMAN Aceh Tengah dan Bener Meriah hancur. Inilah duka yang teramat dalam “negeri di atas awan”. Dzikir dan istighfar, hanyalah untuk menguatkan hati atas semua cobaan. Tapi sesungguhnya, kita tidak boleh meratap berkepanjangan. Mari singsingkan lengan. Mari membantu, bukan menonton. Tak banyak, ya berapa yang bisa diberi. Semoga semua uluran tangan itu dapat meringankan derita mereka.

Hampir tiga pekan musibah gempa bumi itu terjadi, kini masih ribuan warga hidup ditenda-tenda darurat. Ada 46 titik lokasi pengungsian di Aceh Tengah dengan ribuan orang tidur ditenda darurat. Masa tanggap darurat pun usai, kini tinggal masa rekonstruksi guna pemulihan kehidupan mereka. Gayo, Ayo Bangkit. Spirit ini harus dibangun. Karena tangis dan keluh kesah tidak bisa menyelesaikan masalah. Menunggu bantuan mengalir dan kunjungan pejabat hanyalah mimpi sebagai cara untuk menyelesaikan masalah. Semua warga yang sedang ‘sakit’ harus dimobilisasi untuk mampu menyelesaikan masalah secepatnya.

Dilapangan, relawan datang dan memberikan bantuan serta motivasi agar warga korban gempa tidak terus menangis berkepanjangan. Ayo bangkit !! Bangun kembali rumah (walau sederhana), perbaiki jaringan air bersih, kelola kembali kebun. Kembangkan kearifan lokal yang selama ini menjadi andalan suku Gayo yang tinggal dipegunungan itu. Kekerabatan yang kuat harus menjadi inspirasi untuk dapat bangkit.

Keluarga yang selamat, kini berdatangan menjenguk keluarganya yang tertimpa musibah dengan membawa apa yang bisa mereka bantu. Kekerabatan di Gayo yang demikian kuat diharapkan dapat memobilisasi spirit untuk mengatasi derita yang masih (akan) berkepanjangan.

Beberapa masalah serius yang kini harus segera dituntaskan, diantaranya, pendidikan anak-anak korban gempa. Ratusan sekolah SD/Madrasah Ibtidaiyah, SMP/Madrasah Tsanawiyah dan SMA/A Madrasah Aliyah/SMK yang rusak. Proses belajar mereka harus secara disolusikan. Sementara untuk penanggulangan traumatic pasca gempa, relawan baik dari PMI maupun beberapa Traumatic Center sudah berada dilokasi untuk merehabilitas mental anak-anak dari rasa takut dan cemas yang berlebihan.

Ikhlas Menerima Cobaan

Sebagai masyarakat religi, maka kerusakan rumah ibadah adalah sesuatu yang dinilai sangat serius. Kini, mereka bertarawih ditenda-tenda darurat. Dari tenda darurat itulah mereka tak hentinya melafazkan diri, harap dan pinta mereka kepada khaliq-Nya.

Satu yang pantas disyukuri adalah, keikhlasan korban menerima cobaan Allah ! Dari beberapa lokasi, tampak mereka sangat ikhlas menerima cobaan itu. ”Ini taqdir Allah. Kita harus ikhlas,” begitu desah mereka menerima cobaan musibah gempa itu.

Dari perjalanan selama dua hari dilokasi bencana Gempa Gayo itu, dipastikan bahwa penanganan korban bencana alam telah menjadi isu dan gerakan global yang bersifat humanity. Dana dan tenaga yang dialokasikan untuk penanggulangan bencana sangat besar namun permasalahan yang tersisa masih sangat besar. Kondisi ini menunjukkan suatu realitas, adanya keterbatasan pemerintah dalam pelayanan dan ketidak-berdayaan masyarakat dalam menghadapi bencana.

Dalam hal ini maka, kearifan lokal yang ada di masing-masing lokasi harus diberdayakan. Sebagai langkah awal dalam membangun kesiap-siagaan (keberdayaan masyarakat), persoalan yang perlu dijawab terlebih dahulu adalah bagaimana kondisi sosial masyarakat dan bagaimana karakteristik bencana yang terjadi sehingga hal penting yang menjadi perhatian serius adalah : (1) Kesiap-siagaan masyarakat dalam menghadapi bencana selama tidak terjadi bencana (pra bencana), (2) Kesiap-siagaan dalam penyelamatan (ketika bencana alam itu terjadi) dan (3) Kesiap-siagaan dalam proses pemulihan kondisi lingkungan.

Sesungguhnya, suku Gayo memiliki kearifan lokal yang tercermin dalam nilai dasar budaya yang merepresentasikan filosofi, pandangan hidup dan karakter masyarakat yang bermukim didataran tinggi itu. Budayawan Gayo, Melalatoa, dalam satu tulisannya menyebutkan, Gayo memiliki tujuh nilai budaya Gayo, yang merupakan bentuk kearifan lokal yang masih tumbuh hingga saat ini.

Kearifan lokal itu, tercermin dalam sistem nilai budaya Gayo menempatkan harga diri – mukemel – sebagai nilai utama. Untuk mencapai tingkat harga diri tersebut, seseorang harus mengamalkan sejumlah nilai-nilai penunjang: tertib (tertib/patuh pada peraturan), setie (komitmen), semayang-gemasih (simpatik), mutentu (profesional), amanah (integritas), genap-mupakat (demokratis), alang-tulung (empatik). Inilah, inti kearifan lokal yang menjadikan suku Gayo lebih kuat dalam menghadapi musibah.

Penutup

Harus disadari, kemampuan/kesiap-siagaan baik pemerintah maupun masyarakat dalam penanggulangan bencana masih relatif terbatas pada pelayanan korban akibat bencana. Pelayanan yang diberikan lebih terkonsentrasi pada pelayanan yang bersifat emergensi respons (darurat), yakni penyelamatan dan pemulihan (recovery). Sedangkan pelayanan yang bersifat pengembangan yakni untuk membangun kesiapsiagaan dan mitigasi masyarakat relatif masih kurang. Di seluruh desa perlu ada penyuluhan dan bimbingan menghadapi bencana.

Bantuan hanya stimulus dalam masa tanggapdarurat dengan kondisi yang sangat sulit. Kearifan lokal sesungguhnya adalah modal yang besar untuk menjadikan masyarakat mandiri dan kuat. Dalam masa tanggap darurat, baik katagori provinsi atau nasional, tim posko yang dibentuk seharusnya melakukan distribusi bantuan secara adil dan merata. Namun, bila bantuan tidak juga sampai. Jangan menangis. Ayo, Gayo, Bangkit ! ***

*Penulis adalah Wakil Ketua BPC Perhumas Medan, Ketua Majelis Pustaka dan Informasi Muhammadiyah Sumut

Note: Tulisan ini sudah di muat di Harian Analisa terbitan, Sabtu 27 Juli 2013 pada rubric Opini

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.