Oleh : Johansyah*
Saya bukan pemerhati, apalagi pakar politik. Saya juga malas bicara politik, apalagi berpolitik. Tapi saat membaca berita utama di harian Serambi (04/06) kemarin tentang polemik kepemimpinan di Aceh Tengah, agak mengusik kenyamanan sebagai warga.
Sekaligus ada rasa malu karena menurut saya ini adalah aib kekuasaan. Melalui tulisan ini saya coba menyampaikan beberapa pandangan dengan harapan dapat mengetuk hati pemimpin kita.
Pertama, bupati dan wakil adalah pasangan yang menang dalam kontestasi pilkada 2018 lalu. Keduanya dilantik secara resmi sesuai aturan dan dikukuhkan dengan adat Gayo.
Acaranya begitu megah dan mewah. Saya pun teringat pada sebuah acara pernikahan di sebuah kampung. Orangtuanya dengan rasa bangga menggelar persepsi nikah yang mewah.
Memotong tiga ekor kerbau, mengundang tamu-tamu penting, menyemarakkannya dengan hiburan keyboard dan tengah malamnya dilanjutkan lagi dengan didong jalu hingga menjelang pagi. Intinya, pesta tersebut bisa dikata termeriah di kampung tersebut.
Namun apa yang terjadi kemudian? Belum cukup usia dua bulan perkawinan anaknya, tiba-tiba tersiar kabar keduanya berseteru, dan rumah tangganya tidak dapat diselamatkan. Padahal baru saja dimeriahkan.
Mereka ditarikan dengan tarin-tarin kope aman mayak gelah likak. Kalau melihat pesta itu, kita tidak percaya proses perceraiannya demikian cepat.
Kedua, saya hanya berpikir, tugas bupati dan wakilnya yang dianggap persis seperti suami-istri, yakni menata rumah tangga agar terwujud sakinah, mawaddah warahmah.
Bagaimana agar anak-anaknya hidup tenteram dan sejahtera dengan memenuhi berbagai kebutuhan mereka. Intinya semua anggota keluarga merasa nyaman. Gesekan pasti ada. Ibarat pepatah Gayo, kuren urum senuk biasa muterkuk. Segala masalah pasti ada solusinya.
Lazimnya dalam rumah tangga, kalau suami panas, istri mendinginkan suasana. Atau sebaliknya, kalau istri lagi mengamuk, suami dapat meredamnya. Tapi kalau keduanya tidak mau mengalah dan tidak saling memahami, pilihannya hanya satu, ribut.
Ketiga, tugas penguasa itu adalah munetahi (memperbaiki/mengurusi), bukan itetahi (diperbaiki/ diurus). Mereka ini ibarat pilot dan kopilot. Masyarakat adalah penumpangnya.
Jika pilot dan kopilot mabuk dalam mengendalikan pesawat, bukan saja mereka yang terancam bahaya, tapi seluruh penumpang beresiko menjadi korbannya. Konflik penguasa itu persis ibarat pertarungan gajah, yang menjadi korban adalah benda dan makhluk kecil yang ada di sekitarnya.
Saya hanya teringat, kita begitu membanggakan falsafah Gayo sebagaimana dapat ditemukan dalam berbagai pesan peri mestike. Kita begitu membanggakan nilai-nilai ini dan menganggap Gayo hebat. Tapi dari apa yang terjadi di ranah kepemipinan Gayo saat ini, rasa-rasanya semua nilai itu tercoreng.
Tidak ada lagi kemel, mukemel, bersikemelen, salah beregah benar berpapah, besiinumen, bersitunungen, dan lain-lain.
Copi-paste
Begitulah kita Indonesia, suka mengcopi-paste sistem dari negara maju. Seolah-olah sistem yang mereka terapkan hebat dan kita perlu meniru. Katanya demokrasi dengan wujud pemilihan langsung. Di buat pasangan untuk kepemimpinan baik pusat maupun daerah.
Tujuannya agar antar partai dapat berkoalisi untuk membangun kekuatan. Di kampanye mereka ketawa-ketiwi, mengikat janji manis dan suci, dan mengeluarkan modal yang tidak terhitung lagi. Pokoknya berjuang mati-matian dengan penuh kekompakan dan semangat tinggi untuk menang.
Setelah menang, apa yang terjadi? Belum genap satu tahun sudah tercium aroma ketidakharmonisan, sudah mulai membentuk kekuatan dan mempersiapkan diri masing-masing menjadi orang nomor satu di pilkada tahun depan. Gesekan pun terus terjadi. Ada yang masalah murni, ada juga karena bisikan kanan-kiri, dan tentu dibumbui oleh pihak-pihak yang sudah lama tidak menaruh hati.
Ujung-ujungnya mengarah pada wacana pertempuran dan perpecahan. Antara keduanya tidak lagi seiring sejalan. Masing-masing gengsi dan menunjukkan kekuatan. ‘aku bisa tanpa kamu’, di pilkada tahun depan aku akan menumbangkanmu’. Bisikan dalam hati.
Inikah demokrasi yang kita banggakan? Di mana katanya rakyat diberi kebebasan untuk memilih. Tapi di sana banyak drama dan manipulasi. Banyak kebohongan dan kecurangan. Politik tanpa batas halal-haram, dan target kemenangan dengan cara yang beragam.
Suara seorang ulama hebat setara dengan suara seorang pedagang sayur di pasaran. Suara seorang guru besar sama bobotnya dengan suara tukang ojek. Bahkan suara seorang pejabat tidak ada bedanya dengan suara orang yang mengalami gangguan jiwa. Semua kita terlibat atau dilibatkan di dalamnya. Alasannya demokrasi, tapi sesungguhnya kleptokrasi.
Tidak usah ditutupi, masyarakat kita juga masih terbius dengan uang tiga ratus ribu, tertipu dengan sekarung beras, mudah disulap dengan bantuan tenda, terlena dengan janji-janji manis, dan terpesona dengan retorika di kampanye. Kita bahkan tidak peduli ada yang mungkin lebih berkualitas di antara para calon, tapi kita katakan dia pelit hanya karena tidak memberikan bantuan materi.
Perlu dipertimbangkan lagi
Dengan merujuk pada beberapa kasus pasangan kepala daerah yang dilanda konflik internal, kiranya sistem kepempinan kepala daerah dengan berpasangan perlu dipertimbangkan kembali dengan dasar utuma keefektifan dan maksimalnya dalam memimpin wilayah kekuasaan.
Tujuan utamanya untuk menghidari perebutan ‘daging’ sebagai penyebab ‘perangkam’, dan menghindari kontrak koalisi untuk kepentingan kelompok yang dapat mengganggu roda pemerintahan.
Semua itu tentu membutuhkan proses. Apalagi dengan sistem saat ini, mereka yang maju dengan modal uang sangat nyaman dengan sistem ini. Upaya mengubah rasanya mustahil, tapi ini perlu terus disuarakan untuk sebuah perubahan.
Saya meyakini, selama kita bertahan dengan sistem ini, kepemimpinan di daerah tidak akan pernah maksimal. Kebanyakan memunculkan konflik internal yang berimbas pada tidak tersendatnya pembangunan.
Sulit untuk menemukan pasangan seperti Wali kota Banda Aceh dan wakilnya dulu, Mawardi-Illiza Sa’adudin Jamal yang dapat harmonis seiring sejalan dalam membangun kota Raja hingga hampir dua kali masa kepemimpinan. Ibarat pepatah Gayo, keduanya ‘cere kasih’ bukan ‘cere banci’.
Akhirnya, catatan ini tidak lebih dari ungkapan rasa sedih yang menimpa Takengon beberapa bulan terakhir. Saya hanya berharap agar konflik ini segera berakhir dengan kedamaian antara kedua belah pihak.
Singkirkan gengsi dan kepentingan. Masyarakat menunggu itu dan marilah fokus pada pembangunan Gayo di sisa kepemimpinan beberapa tahun ke depan. Satu hal wahai bapak Bupati dan wakilnya, mau dikenang pemimpin seperti apa nanti?
*Warga Aceh Tengah