Kota Takengon : Antara LGBT dan Rawan Bencana (Bag. 1)

oleh
Kota Takengon dari Bur Telege

Oleh : Fauzan Azima*

Bagi sebagian orang tinggal di Kota Takengon adalah kebanggaan karena memang dekat dengan pusat kota, pemerintahan dan perdagangan di Aceh Tengah, namun jika kita lihat dari puncak Bur Telege (grafiti: Gayo Highland) dan Pantan Terong, sesungguhnya Kota Takengon adalah kota yang paling tidak nyaman, terutama daerah pesisir Lut Tawar.

Adapun anasir Kota Takengon yang rawan bencana adalah daerah pesisir Lut Tawar yang terdiri atas Kecamatan Lut Tawar, Bebesen dan Kebayakan. Sebagai mana kita tahu, Danau Lut Tawar terbentuk dari letusan gunung berapi yang membentuk kaldera atau wajan yang menampung air danau. Kalau kita lihat dari ketinggian, diperkirakan muntahan larva lebih banyak pada sisi timur dan barat gunung api pada waktu itu.

Pada masa Bupati Mustafa M. Tamy dan bupati sebelumnya, kawasan Jalan Lintang sampai ke tepi Danau Lut Tawar merupakan kawasan hijau yang tidak boleh ada bangunan. Sayangnya pada masa Bupati Nasaruddin tidak mampu membendung daerah persawahan menjadi kawasan pemukiman.

Apalagi pada masa konflik, masyarakat dari kampung berduyun-duyun pindah ke kota untuk menyelamatkan diri, juga masyarakat dari pegunungan mencari tempat aman pindah ke wilayah pesisir yang nota bene merupakan pusat kota. Wilayah kota mungkin aman dari konflik pada waktu itu, tetapi tidak aman dari tsunami yang menyebabkan ratusan ribu nyawa melayang pada 26 Desember 2004.

Peristiwa gempa bumi di Palu-Donggala, Sulawesi Tengah, pada Jum’at, 28 September 2018 lalu dengan kekuatan 7,4 SR cukup membuat kita merinding setelah melihat rumah warga dan gereja Kampung Jono Oge bergeser sejauh 3 Km dari tempat semula dan berganti menjadi kebun jagung dan kol.

Para Ulama Sulawesi Tengah mensinyalir ada keterkaitan antara kebejatan moral, masifnya gerakan LGBT (Lesbian, Gay, Bisexual dan Transgender) dengan bencana alam yang terjadi di Palu-Donggala, seperti pada zaman Nabi Luth, “kaum sodom atau gomoroh” ditenggelamkan oleh ledakan gunung api. Setidaknya demikian yang terjadi pada “Kaum Nabi Luth” yang digambarkan dalam Alqur’an Surat Huud ayat 82.

Peristiwa yang dialami “Kaum
Sodom” dan Kampung Jono Oge tidak mustahil terjadi di Kota Takengon. Lautan menjadi kota dan kota menjadi lautan. Apalagi struktur tanah sangat labil dari Jalan Lintang yang sudah padat dengan pemukiman penduduk yang berbatasan dengan Danau Lut Tawar.

“Fisik alam” Kota Takengon semakin lemah dengan beban yang semakin berat pemukiman penduduk serta ditambah dengan kebejatan moral Kelompok LGBT di Kota Takengon yang sudah semakin merajalela, bahkan diperkirakan sudah merambah ke ASN (Aparatur Sipil Negara) di Aceh Tengah dan masuk ke struktur Dewan Adat. Dengan demikian tidak mustahil dalam menyusun arah kebijakan Pemda Aceh Tengah melalui RPJM dan RPJP tidak lepas dari pengaruh anggota kelompok LGBT.

Penyebaran kaum LGBT di Kota Takengon seperti virus mewabah suatu negeri yang tampak dengan kasat mata, tetapi semua kita membiarkannya. Padahal kita percaya, ada korelasi antara kebejatan moral dan bencana alam. Apakah kita rela menerima bencana di Kota Takengon akibat dari kebejatan moral kaum LGBT?

(Mendale, 3 Januari 2019)

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.