Perjalanan Mencari Saman

oleh
Saman Massal tahun 2014. (Foto : doc.LGco)

Oleh : Lilianne Fan*
Diterjemahkan oleh : Win Wan Nur

Saman Massal 5057. (LGco_Dian)
Saman Massal 5057. (LGco_Dian)

Ketika kita melakukan perjalanan dari Medan ke Blangkejeren,  kita  akan menyaksikan perubahan pemandangan secara dramatis saat melintasi wilayah Sumatera Utara dan memasuki  wilayah Aceh.  Gereja-gereja Batak dan kuburan Katolik yang terlihat di sepanjang jalan di wilayah Sumatera Utara, secara dramatis menghilang dan berganti menjadi pemandangan kubah dan menara masjid yang merupakan ciri  khas desa-desa  Aceh.   Setelah meninggalkan hamparan perkebunan di dataran tinggi Karo, kita tiba-tiba akan menemukan diri  kita sudah dikelilingi oleh  sungai besar yang menderu, diapit oleh pegunungan dan hutan hujan perawan dalam Kawasan Ekosistem Leuser.  Kalau alam Sumatera Utara terlihat begitu indah dan ditandai oleh kekayaan lapisan sejarah, karakter khas Aceh yang dibentuk oleh interaksi antara kesalehan dan unsur-unsur liar, sekaligus lebih bersahaja dan lebih misterius. Tetapi bahkan untuk orang seperti saya  yang sudah mengenal Aceh dengan sangat akrab sekalipun, merasakan suasana  magis yang begitu dalam saat memasuki Kabupaten Gayo Lues, yang dikenal sebagai “negeri di atas awan” . Ketika kendaraan kami mulai berjalan menanjak, sebagai pembuka, kami langsung diselimuti oleh kegelapan lalu kemudian digantikan oleh kabut tebal, saat itu muncul sebuah perasaan yang begitu kuat dan tak mungkin salah bahwa kami sedang berjalan masuk ke dalam jantung  dari sesuatu yang tidak diketahui.

Saman-H2Ketika kami akhirnya mencapai Blangkejeren, 10 jam setelah kami memulai perjalanan, kami disambut oleh teman-teman kami, Joe Samalanga dan Iwan Amir. Joe, seorang wartawan sekaligus seniman terkenal asal Gayo, dan  Iwan,  seorang peneliti dan etnomusikolog,  telah melakukan perjalanan dari Banda Aceh dengan mengemudikan sendiri kendaraannya selama 2 hari, menantang longsor,  jalanan yang licin oleh lumpur dan hujan deras. Kami semua berada  di tempat ini untuk sebuah tujuan yang sama: yaitu untuk menyaksikan sebuah pertunjukan Saman masal yang bersejarah. Saman adalah sebuah tarian yang dimainkan dalam posisi duduk yang merupakan tarian tradisional terkenal dari Gayo Lues.  Pertunjukan tersebut akan  dilangsungkan keesokan harinya. Pada tahun 2011, Saman ditetapkan oleh UNESCO sebagai ‘warisan budaya takbenda yang sangat membutuhkan pelestarian’. Awal tahun ini, UNESCO memberikan sertifikat kepada Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Provinsi Aceh. Pada hari pertunjukan itu  Bupati  Gayo Lues, di depan seluruh masyarakat yang hadir menyatakan  bahwa tanggal 24 November 2014 telah ditetapkan sebagai “Hari Saman Dunia” dan mengumumkan bahwa pertunjukan Saman masal dengan 5005 Saman penari,  dimana seluruh penari yang berpartisipasi adalah masyarakat setempat.

Panggilan Saman
Sisa malam itu kami habiskan untuk membahas Saman dan budaya Gayo bersama dengan sekelompok teman-teman Joe,  yang terdiri dari seniman lokal, akademisi dan pejabat pemerintah, sambil menghabiskan bergelas-gelas teh buah pala. Teman-teman ini mengatakan kepada kami bahwa, Tari Saman, mendapatkan namanya dari nama penemunya, yaitu  Syech Saman yang merupakan seorang ulama (guru agama). Beliau mengembangkan tarian ini sebagai sarana dakwah, untuk mencari pengikut dan menyebarkan dakwah Islam di wilayah Gayo, dan juga Aceh secara umum.  Di sini terlihat bahwa tari Saman  yang saat ini rutin ditampilkan pada acara pesta pernikahan dan upacara keagamaan, memiliki sejarah yang mendalam dan kompleks.

saman_sosokPenelitian menunjukkan bahwa pengaruh Islam pertama kali masuk ke Aceh pada abad ke-11, dibawa oleh para pedagang penganut aliran Sufi yang berasal dari anak benua India dan Persia. Islam memiliki pengaruh besar pada seni pertunjukan  di Aceh. Akademisi Margaret Kartomi, seorang Profesor Musik dari Monash University, yang telah meneliti seni pertunjukan tradisional di Aceh selama bertahun-tahun, telah menulis tentang hubungan antara penggunaan perkusi tubuh (peh badan, dalam bahasa Aceh) yang begitu luas dalam tarian Aceh dengan kemungkinan pengaruh dari  budaya lain yang berasal dari Samudera Hindia, Timur Tengah dan Mediterania. Sejarawan Gayo Wahab Daud pernah menuliskan bahwa Saman sangat identik dengan Islam, Islam melekat dengan i identitas Saman, dengan lirik yang berisi nasehat dan petuah agama, sopan santun, kepahlawanan, kekompakan, dan kebersamaan.

Namun Islam bukan satu-satunya  pemberi pengaruh pada Saman. Itu terlihat jelas berdasarkan penjelasan  teman-teman kami serta dari apa yang terlihat saat  menonton pertunjukan keesokan harinya, bahwa selain berdasarkan pada agama, Saman juga sekaligus merupakan penanda emosional  kekhasan identitas Gayo yang berusaha untuk membedakan diri dari kekuasaan yang mengelilinginya yang sering mengancam untuk meleburkan atau mendominasi budaya Gayo. Melalui sebuah pengamatan dalam kapasitasnya sebagai  seorang antropolog, John Bowen menuliskan dalam bukunya Sumatran  Politics and Poetics: Gayo History, 1900-1989, bahwa identitas dan syair Gayo, pada kenyataannya, selalu dibentuk oleh hubungan antara orang Gayo dengan kekuasaan, apakah itu berasal dari kolonialisme Eropa atau pun dari Aceh pesisir.

Saat  diwawancarai untuk tulisan ini, teman-teman kami ini terlihat sangat antusias dalam mengekspresikan rasa tidak suka mereka pada semakin banyaknya kelompok seni pertunjukan yang mengambil alih dan mempopulerkan tarian yang mereka klaim sebagai Saman, tanpa melalui pelatihan yang diperlukan serta tidak menghormati prinsip-prinsip dasar seni ini. Ini termasuk kenyataan bagaimana tidak dihormatinya aturan utama bahwa Saman harus dan hanya boleh ditarikan oleh laki-laki, tidak seperti beberapa tradisi tari Aceh pada  umumnya yang bisa saja dilakukan oleh kelompok-kelompok yang semuanya laki-laki atau semuanya perempuan. Karena itulah, tuan rumah kami merasa begitu senang dan berempati ketika mengetahui bahwa kami mengerti bahwa Saman pada hakikatnya adalah sebuah seni pertunjukan asli Gayo, yang muncul di dataran tinggi sebelum kedatangan Islam, dan terlepas dari pengaruh Aceh pesisir. Saman adalah sebuah seni yang hanya bisa lahir dari lanskap alam dan budaya masyarakat Gayo, begitulah kami diberitahu.  Tarian ini hidup dan menetap di dalam darah dan jiwa orang Gayo, membentuk interaksi mereka dengan alam, nilai-nilai yang mereka anut di dunia ini.

Ibnu Hasim saat gladi bersih Saman Massal.(LGco_Anuar Syahadat)
Ibnu Hasim saat gladi bersih Saman Massal.(LGco_Anuar Syahadat)

Interaksi dan nilai-nilai yang terkandung dalam pertunjukan dan tradisi Saman. Mengambil inspirasi dari gerakan-gerakan yang ada di alam,  pemain  seolah menjadi daun yang bergemerisik lembut,  kemudian berubah wujud menjadi angin yang tiba-tiba datang dari alam di balik  perbukitan. Warna pakaian bermotif kerawang  Gayo yang menjadi kostum para penari Saman pun memiliki makna tertentu: hitam adalah perlambang tradisi; merah melambangkan keberanian dan putih untuk menggambarkan niat yang tulus, hijau adalah simbol untuk keyakinan dan ketekunan, serta kuning penanda kehadiran akal sehat dalam setiap perilaku. Secara tradisional, masyarakat Gayo saling mengundang antara satu sama lain untuk sebuah pertandingan persahabatan tari Saman (Saman jalu), pertandingan ini kadang-kadang bisa berlangsung  sampai beberapa malam, sehingga membangkitkan semangat persaudaraan. Ciri khas lain dari Saman  membedakannya dari  lagu-tarian Aceh lainnya. Jika dalam lagu-tarian Aceh, seorang vokalis sering ditampilkan sangat individulis dan merupakan “Syech” terkenal,  tidak demikian halnya dengan Saman. Dalam tari Saman, seorang vokalis yang juga merupakan pemimpin rombongan Saman (pengangkat), sengaja melebur ke dalam kelompok penari, sehingga sosoknya hampir bisa dikatakan anonim. Dengan cara ini, pertunjukan saman  mewujudkan kerendahan hati, kesetaraan, solidaritas dan persatuan. Kumpulan kelompok penari  Saman, pada kenyataannya, diharapkan untuk bergerak seperti dalam sebuah kesatuan seolah merupakan satu organisme tunggal, bernapas tarikan nafas yang sama, terhubung ke alam, sesama manusia, dan Tuhan, mengalahkan eksistensi yang terpecah-pecah. Keterhubungan inilah yang  terbaring  tepat di jantung budaya Gayo.

Saman-LGcoTarian Dualitas dan Kesatuan
Keesokan harinya,  sejumlah 5057 penari berpartisipasi secara total dalam sebuah penampilan yang spektakuler dan bersejarah, jumlah ini melebihi  jumlah yang sebelumnya direncanakan yaitu 5005. Dari sisi penonton yang berdiri di bagian atas stadion, kami menyaksikan bagaimana gerakan yang berawal dari dualitas berubah menjadi sebuah kesatuan yang menembus setiap aspek Saman- baik secara filosofis, fisik , musik, maupun spiritual. Pembukaan vokal hum, disuarakan pertama kali secara solo  oleh penangkat (dikenal sebagai Rengum) dan kemudian diikuti  secara bersama-sama oleh seluruh pemain (dikenal sebagai Dering), yang memantapkan keberadaan manusia di alam. Praktek ini memiliki akar pra-Islam, membawa makna estetika dan spiritual, dan juga, sebagaimana dijelaskan oleh Joe, tujuan dari aksi ini adalah untuk “menakut-nakuti  binatang liar”. Untuk menunjukkan kehadiran manusia di alam, selanjutnya, manusia dikonseptualisasikan sebagai makhluk yang memiliki dua karakter sekaligus. Sebagai bagian dari alam yang hidup harmonis dengannya, tetapi juga sekaligus berbeda dari  alam. Setelah hum, salam pembuka  Assalamuaikum (Salam sejahtera untukmu) pun diucapkan  lalu diikuti oleh ucapan  La ilaha il Allah (“Tidak ada Tuhan selain Allah”), yang menghubungkan para pemain  dengan Tuhan sekaligus dengan para penonton.

Dan setelah itu, tiba-tiba, gerakan Saman dimulai. Kerumunan di stadion bergemuruh, dan air mata mengalir deras, dengan penuh rasa sukacita, kebanggaan serta  kerinduan. . Di sana, di bawah terik matahari siang, para pemain bergerak serempak sempurna, mengundang  gerakan angin, hutan dan padang rumput di mana angin bertiup, dan bahkan kekuatan arus aliran air. Itu adalah demonstrasi dari sebuah pengendalian mutlak atas tubuh dan pikiran, dan kebebasan batin yang hanya dapat dicapai dengan kedisiplinan.

saman-LGco-2Dalam karya etnografi klasiknya tentang Aceh, “The Rope of God”, antropolog James Siegel menceritakan bahwa cara pandang orang Aceh terhadap Islam menyatakan bahwa  kalau malaikat diciptakan untuk menjadi sempurna sebagaimana halnya surga  yang merupakan alam asal mereka, , manusia diciptakan dari alam terbagi dan hidup di antara hawa nafsu (keinginan) dan akal (kesadaran). Manusia, bagaimanapun, dapat menundukkan hawa nafsu yang melekat pada dirinya melalui bantuan akal budi, melalui praktek-praktek seperti shalat, membaca  Al-Qur’an, dan melaksanakan puasa wajib. “Melalui akal,” Siegel menulis, “manusia kembali ke surga”. Seperti doa, yang membutuhkan pengendalian penuh terhadap tubuh dan pikiran, Saman adalah sebuah ekspresi akal, dan bagian dari perjalanan kembali, suatu zikir kepada alam, sesama manusia, dan Tuhan.

Pada hari bersejarah di dataran tinggi Gayo itu, waktu seolah-olah berhenti dan membuka, untuk memberi jalan kepada Saman untuk memanggil seluruh makhluk kembali ke tempat yang selayaknya di alam semesta.  Laksana lautan gerak nan suci membuka sayapnya melintasi lapangan, segala sesuatu tampak terhubung, semua perpecahan terlupakan. Untuk negeri ini  yang sejarahnya telah begitu terbentuk oleh konflik dan kontestasi, Saman menawarkan, bahkan jika hanya untuk sesaat,  janji akan adanya sebuah surga.

*Lilianne Fan adalah seorang  Antropolog dan peneliti yang telah bekerja di Aceh sejak  tahun 1999. Dia sedang  menulis sebuah buku tentang sejarah dan  kenangan di Aceh,  yang dia harapkan akan diterbitkan pada tahun 2015.

Artikel ini sebelumnya telah diterbitkan dalam bahasa Inggris di https://asiapacific.anu.edu.au

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.