“Selamatkan Danauku”, teriakan para aktivis lingkungan hidup, relawan pemerhati kelestarian danau Lut Tawar. Walau suara mereka tajam, asal teriak dan arahnya kemana tidak jelas. Teriakan ini harus disahuti. Bicara kata “menyelamatkan“ dalam konteks pemerintahan demokrasi, dijawab oleh lembaga legislatif yang menyetujui anggaran, yang merancang, membahas, mengesahkan produk peraturan perundang-undangan dan sebagai pengawas pembangunan yang dilaksanakan pemerintah.
Proyek Tanggul Boom-Mendale, salah satu dari 13 Terobosan bupati almarhum Drs. H. M. Tami (2008 s.d 2003). Anggota DPRD Aceh Tengah melakukan studi banding ke pantai Losari Makasar, sebelum proyek ini disetujui. Persyaratan yang disepakati bagian yang di tanggul, penyekat timbunan mempergunakan besi yang berfungsi untuk mencegah menerobosnya “akar pelu“, yang dapat mendangkalkan danau, dana pembebasan lahan masyarakat jika terkena penimbunan, dan tidak adanya Peraturan Pemerintah dan Qanun “DAS danau“, serta aspek Amdal.
Master plan pengembangan kawasan wisata danau dapat dilihat dalam tata kota Takengon sampai tahun 2014 yang dibuat masa bupati alm. Benny Banta Coet yang disahkan DPRD menjadi dokumen usang. Dalam tata kota Takengon, wilayah Boom-Mendale berbatasan dengan jalan Sengeda adalah kawasan hijau, artinya tidak boleh ada bangunan. Kawasan wisata pantai timur danau direncanakan dari Kala Kebayakan sampai Kala Kemili. Tata kota Takengon ini diganti dengan master plan tanggul Boom-Mendale di era bupati Drs. M. Tami yang dilanjutkan oleh bupati Ir. Nasaruddin “cukup wah”, hasil karya yang luar biasa untuk menjadi daya tarik wisata termegah di Aceh.
Site plan yang “wah” ini membutuhkan anggaran puluhan triliunan untuk pembebasan dan pembangunannya. Sayang, rencana megah dengan dana triliunan itu terterobos tumbuhnya ribuan bangunan rumah bak jamur dimusim hujan. Proyek penimbunan tanggul berjalan terus tanpa penyanggah besi, tanah milik rakyat ditimbun tanpa ganti rugi, protes tidak diindahkan. Pelaksanaan penimbunan terkesan seperti kisah Sangkuriang dalam legenda Takuban Perahu.
Dinas Kebudayaan Pariwisata Pemuda dan Olah Raga pada tahun 2010 telah merencanakan fondasi dasar pengembangan wisata Islam dalam Renstra Dinas. Renstra ini disusun berdasarkan kajian akademis untuk 5 tahun dengan orientasi pemanfaatan untuk 25 tahun kedepan. Seperti perencanaan grafity Gayo High Land dijadikan distinasi wisata untuk generasi 2025, disaat itu PLTA Peusangan sudah dapat dimanfaatkan untuk menggerakan kereta gantung dari Pantan Terong, Buntul Kubu, Bur Pereben (masa bupati Tami ditanam pohon pinus bertulisan “Bur Gayo”), naik ke Bur Puteri Bensu (Gayo High Land) terus ke One-One menuju Renggali, kembali ke Bur Pereben dan megikuti arah tanggul ke Ceruk Mendale (Gue Gong Nabi Sulaiman/kuburan manusia Gayo berusia 7.400 SM). Di belakang grafity Gayo High Land arah Renggali dibangun out bond dan gedung konferensi internasional, dan altar Zikir internasional, mendukung konsep wisata Islam. Di siku jalan menuju grafity dibuka jalan setapak ke arah hotel Renggali membelah perut Bur Pereben untuk pejalan kaki, sepeda dan berkuda.
Grafity Gayo High Land merupakan salah satu distinasi wisata baru, bukan pengganti tanaman pinus bertulisan “Bur Gayo“, disamping Bur Pereben. Grafity Gayo High Land bukan juga pengganti istilah “Tanoh Gayo”. Semua orang Gayo sepakat “Tanoh Gayo“ diabadikan dan dibesarkan, jangan di-mini-kan seperti menggantikan grafity Gayo High Land. Tanoh Gayo lebih pas menjadi nama kabupaten, pengganti Aceh Tengah. Hal yang sama pada kegiatan pemilihan Duta Wisata program Kementerian Pariwisata. Syarat calon Duta Wisata berusia 17 tahun keatas, untuk membuat ciri daerah dipakai istilah “Pemilihan Abang Aka Gayo”, panggilan untuk kalangan remaja Gayo. “Win dan Ipak” panggilan untuk anak-anak berusia dibawah 17 tahun.
Tanpa menghilangkan konsep tanggul Boom-Mendale, dan untuk menyahuti teriakan “Selamatkan Danau Lut Tawar“, tahun 2011 Dinas Budparpora mengusulkan pengadaan “Tongkang Keruk”, untuk menjaga terjadi pendangkalan disamping tanggul dan tepi danau lainnya yang mungkin akan muncul daratan baru. Dana pengadaan Tongkang Keruk bisa dari dana Otsus atau hasil nego dengan pihak PLTA Peusangan yang sangat berkepentingan terhadap air danau Lut Tawar.
Jika hari ini kita bermain ke tanggul Boom-Mendale, maka akan terlihat rumah-rumah tinggal dibagian timur tanggul arah danau, ada bangunan rumah diatas tanggul. Dan yang membuat kita terkejut ditemukan dibeberapa bagian penimbunan baru permukaan danau setelah tanggul. Jika masyarakat biasa kita tidak terkejut, ternyata ada anggota DPRK Aceh Tengah yang melakukan penimbunan danau.
Pembiaran seperti ini akan menimbulkan pertanyaan, apakah pembuatan tanggul untuk pengembangan lahan perumahan baru, atau proyek Destinasi Wisata sesuai Site Plan?. Jika untuk pengembangan lahan pemukiman baru maka Pemerintah Daerah perlu segera melakukan revisi Site Plan dan menghapuskan proyek tanggul dari program. Hal ini penting sebelum KPK hadir memeriksa proyek tanggul Boom-Mendale yang sudah menenggelamkan uang negara puluhan milyar untuk menimbun bibir danau yang kedalaman bervariabel 0 sampai 4 meter, dan ada tanah milik yang tidak dibebaskan.
Jika Pemda mempertahankan untuk proyek tanggul pantai Losari Makasar, harus berani melakukan penertiban, baik menertibkan bangunan di sepanjang air disamping tanggul maupun bangunan pemerintah yang masuk kedalam air danau seperti Terminal air yang tidak berfungsi dan jadi contoh oleh rakyat untuk membangun rumah di pinggir tanggul. Untuk menjaga batas pantai danau pengadaan Tongkang Keruk perlu direncanakan, dan untuk memelihara ketertiban kawasan danau dan memanfaatkannya sebagai sumber pada perlu ditindaklanjuti rencana pembentukan “Badan Otorita Kawasan Danau Lut Tawar“.
*Pengamat Budaya dan Wisata, tinggal di Takengon.