Catatan Khalisuddin*
Seorang sosok perempuan seniman yang berkarya untuk Gayo, Aceh bahkan Indonesia nyaris dilupakan generasi sekarang, bahkan banyak yang samasekali tidak pernah dengar nama Maryam Kobat. Padahal segudang karya didedikasikan selama berpuluh tahun di bidang seni tari, seni suara, menulis naskah drama, mencipta lagu, serta menulis buku cerita rakyat (Folk Tales) Gayo berbahasa Indonesia dan Inggris.
Pencipta Lagu
Nama Maryam Kobat sangat dikenal di tahun 1960 hingga 1990-an dengan segudang karya berwujud lagu, baik lagu berbahasa Gayo, Aceh, Indonesia bahkan Inggris. Mulai lagu anak, asmara, sejarah, sosial budaya, politik, lagu mars dan hymne juga ada lagu bernuansa Islami serta lagu bernuansa pendidikan lainnya. Sedikitnya ada 130 lagu lengkap dengan notasi. Dan judul lagu yang pertama dia ciptakan adalah Mari Membangun di tahun 1958.
Lagu anak dengan muatan pendidikan yang dia ciptakan diantaranya Good Morning (1968), Taman Kanak-kanak PNP I Takengon (1969), Taman Kanak-kanak Pertiwi Takengon (1971), Kucingku (1968), Anak Manis (1968), One Two Three (1975), To Be (1976), Eleven ya Sebelas (2002), That’s all Our Dream, dan lain-lain.
Sementara lagu berbahasa Aceh ada Wahe Aneuk Lun (1977), Top Dabuh, Geumpa Tsunami, Sedih That, Manuk Lun Sipluh, Kapai Gurita (1999), Engkot Sure (1999), dan beberapa lagi. Dia juga menciptakan lagu Mars dan Hymne untuk Daerah Istimewa Aceh di tahun 1966.
Lagu ciptaan Maryam Kobat dalam bidang keagamaan diantaranya Ya Allah (1981), Amar Ma’ruf Nahi Munkar (2003), Nawaitu Shauma Ghadin (2006), Allahuma Laka Shumtu (2006), Sahur (2006), Rabbighfirli Wali Walidayya (2006).
Untuk lagu Gayo, ciptaan Maryam Kobat banyak yang masih sangat populer hingga kini masih sering dilagukan dalam banyak kesempatan oleh masyarakat Gayo. Diantara judulnya ada Lungun, Laut Tawar, Emun Beriring, Denem Olok Denem dan sederetan lagu lainnya.
Lagu Gayo tentang politik, sejarah dan kehidupan masyarakat Gayo juga dia ciptakan seperti lagu Pemilihen Reje, Bebako, Ku Suen Kacang, Tot Kebenot, Depik, Merah Mege, Asam Kelele, Kerawang Gayo dan banyak lagi.
Koreografer
Maryam Kobat dikenal sebagai koreografer ulung di Aceh dan Gayo. Sebanyak 34 tarian telah ia ciptakan baik tarian Gayo, Aceh maupun Nasional. Kesemuanya lengkap dengan synopsis, skema posisi penari serta lagu tarian yang dihimpunnya dalam beberapa buku bertulis tangan seperti halnya buku kumpulan lagu yang dia ciptakan, semuanya masih bertulis tangannya sendiri.
Ini dia lakukan tentu atas dasar kesadaran jika suatu saat kelak, jejak dan karyanya dapat diwariskan kepada generasi selanjutnya.
Diantaranya yang kental dengan Gayo ada tari Atu Belah yang dia ciptakan di tahun 1966, Otih Roda, Peteri Ijo, tari Persalaman, dan lain-lain. Dan untuk tari Aceh, Maryam Kobat pernah menggarap Bungong Taloe, Top Daboh, Na di Banda Aceh, dan lain-lain.
Taercatat beberapa tarian nasional yang dia ciptakan. Ada tari Bali, tari Borobudur Menjadi Saksi (1966) serta tarian yang mengisahkan sejarah perjuangan kemerdeakaan Republik Indonesia dengan diciptakannya tari Belanda Menyerang, bengawan Solo, Maju Tak Gentar, Rayuan Pulau Kelapa. Tak hanya itu, tari dengan iringan lagu Jepang juga ada dengan tajuk Miyo Tookaino. Serta tari dengan lagu berbahasa Inggris “Cherry Pink”.
Penulis Naskah Drama
Patut diapresiasi, Maryam Kobat juga sebagai penulis naskah drama. Ada 4 judul drama yang pernah dia tulis, masing-masing bertajuk Demi Kewajiban dan Kasih Sayang yang menceritakan tentang seorang pemuda yatim, miskin, pemabuk hingga sang ibu mencetuskan pemuda itu sebagai anak durhaka hingga dia meninggalkan rumah. Namun diakhir cerita pemuda itu kembali dan membahagiakan ibu dan adiknya.
Drama lain berjudul Merah Mege. Drama yang bercerita bagian sejarah Gayo yang berkaitan langsung dengan keluarga Kerajaan Linge saat Reje Mersa berkuasa.
Dua drama lainnya sangat kental dengan muatan pendidikan dengan Hati Emas dan Edy is a Kind Boy yang dialognya berbahasa Inggris.
Cerita Rakyat Gayo
Saat ini, cerita rakyat Gayo nyaris tidak pernah lagi didengar dari mulut warga Gayo yang becerita kepada anak atau cucunya. Beruntung masih ada upaya sejumlah pendahulu yang sempat menuliskannya, salah seorangnya Maryam Kobat.
Dia menulis cerita rakyat Gayo Peteri Bensu, Atu Belah, Inen Mayak Pukes, Merah Mege dan Peteri Ijo. Bahkan dia dibantu narrators Nurmani, Chaliddin Abu Bakar, Halimah Berki, Inen Yusuf, darul Aman, A.Sj. Coubat, Maimunah dan Kayani menerbitkan cerita-cerita rakyat Gayo (Folk Tales in Gayo Land) ini dengan berbahasa Inggris yang diterbitkan di Banda Aceh pada tahun 1995.
Di mata LK Ara
Penyair LK Ara mengaku sempat sekelas dengan Maryam Kobat saat di SMP Takengon dan beberapa kali berinteraksi dalam berseni bersama Maryam Kobat. Menurut penyair yang mendunia ini, Maryam Kobat adalah seorang seniman yang aktif dalam seni musik dan tari. Dia mencipta lagu dan mencipta tari. Ketika berada di Takengon tanah kelahirannya ia membuat sanggar tari. Itu mungkin sebuah awal kegiatan seninya untuk berkembang lebih jauh hingga berada di Banda Aceh.
“Bagaimana besarnya perhatian terhadap seni musik dan tari dalam diri Maryam Kobat dapat di lihat dalam sebuah lirik lagu berjudul “Laut Tawar”. Dalam baris, ‘Laut Tawar si megah mampat urum belangi, i sone kami berdenang urum bertari,” ungkap LK. Ara.
Dalam lagu ‘Laut Tawar’ digambarkan juga dongeng yang pernah berkembang di Gayo. Misalnya, Peteri Ijo dan Inen Mayak Pukes.
Sebuah lagunya yang memperlihatkan rasa sedih yang dalam berjudul “Lungun”. Liriknya dimulai dengan ‘Lungun ine lelulungen/Aduh ine kusa kusederen’
Dalam baris itu ada tanya yang lirih, wahai, kepada siapa kusampaikan rasa sedih ini. Seperti tergambar tak ada lagi tempat mengadu. Rasa sedih itu dilanjutkan pada bait berikunya. Nampak pada baris, ‘Pedih ni ate kusi kutawari/Kale ni ate kusa kubasai’.
“Maryam Kobat tak hanya terampil menyusun lirik yang menyentuh tapi juga memberikan irama yang tepat,” kata LK. Ara.
Tiga Perempuan Pencipta Lagu Gayo
Maryam Kobat adalah satu dari 3 pencipta lagu Gayo selain Ramlah dan Maya. Demikian diutarakan pegiat seni budaya Gayo dan Aceh, Jauhari Samalanga.
“Pengalaman pertama saya bertemu Maryam Kobat di Jakarta cukup menarik. Kendati saya orang yang mendapat sindiran dan marahan beliau, saya senang karena saya sedang berhadapan dengan seorang seniman perempuan. Saat itu beliau mengeluh, katanya, lagu-lagunya kerap kali dinyanyikan tanpa pemberitahuan terlebih dahulu,” kata Joe panggilan Jauhari Samalanga.
Saat itu, dia mengaku hanya hanyalah mendengarkan kata-kata Maryam Kobat. “Saya termasuk orang yang bersalah karena lagu “Peteri Ijo” di dalam album Nami yang saya produksi juga tidak memiliki izin tertulis, hanya secara lisan,” ujar Joe.
Maryam Kobat merupakan salah seorang perempuan Gayo yang semasa mudanya aktif menciptakan lagu. Sebagian besar lagunya diperuntukan untuk tarian dan di Banda Aceh lagu-lagunya sempat direkam, namun hanya dengan kualitas rekaman sederhana. Namun pada masa itu, album lagu Maryam Kobat juga sempat beredar dan diminati dipasaran.
“Saya menyukai lagu-lagunya, terlebih lagu Emun Beriring yang kemudian dijadikan nama tarian Gayo Emun Beriring yang kesohor,” kata Jauhari Samalanga.
Urung diusul terima Anugerah Tajul Alam
Pengakuan terhadap kiprah Maryam Kobat juga dinyatakan sejumlah tokoh Gayo dalam Focus Group Discussion (FGD) penelitian Biografi Tokoh Budaya Gayo yang di gagas para peneliti dari Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Banda Aceh di Takengon, Kamis 6 Februari 2014.
Seluruh yang hadir di FGD yang saya moderatori itu dengan peserta Mukhlis Gayo, Ibnu Hajar Laut Tawar, M. Yusin Saleh, Nasiruddin. SK, Ibrahim Kadir, AS Kobat, Dar Ismuha dan Gumara sepakat jika Maryam Kobat menjadi salah seorang tokoh yang perlu di teliti karena jasanya di bidang seni budaya, khususnya Gayo.
Selain itu, Maryam Kobat juga sempat menjadi kandidat utama penerima anugerah budaya Tajul Alam yang akan diusulkan Pemerintah Kabupaten Aceh Tengah bersama Syeh Kilang di ajang Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) VI tahun 2013.
Upaya tersebut kandas dari awal karena sebelum bergulirnya tulisan ini, data tentang Maryam Kobat sangat minim hingga adik kandung Maryam Kobat, Syukur Kobat memberikan sejumlah informasi penting tentang akae (kakaknya-Gayo:red) beberapa pekan lalu.
Maryam Kobat yang bergelar Doktoranda (Dra) kini menghabiskan masa tuanya di Jakarta setelah pensiun guru Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Banda Aceh. Kakak kandung tokoh masyarakat Gayo Ir. Syukur Kobat ini dilahirkan di Takengon 19 Desember 1936. Dia anak ke 3 dari 11 bersaudara. Ayahnya bernama Kali Bin Abu Bakar dan ibu Halimah Berki.
Setelah menamatkan Sekolah Rakyat (SR) di Takengon tahun 1949, dia melanjutkan ke SMP di Takengon (1952). Berlanjut ke pendidikan di Sekolah Guru Agama (SGA) Kutaraja (sekarang Banda Aceh) tahun 1955 dan meraih gelar Bachelor of Art (BA) di Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan (FKIP) di Medan tahun 1960. Setelah itu dia kembali ke Banda Aceh dan menyelesaikan pendidikan S1 di FKIP Unsyiah di tahun 1984.
–
Kiranya, kita semua belajar dari pengalaman demi pengalaman hilangnya jejak pendahulu yang berjasa dan untuk keperluan pendokumentasian ke-Gayo-an kedepan termasuk para tokoh yang berjasa, sudi kiranya para pemilik data-data primer dan sekunder untuk mengkopi dan menyerahkan kepada pihak yang layak dipercaya untuk secepatnya diabadikan agar Gayo tidak kehilangan jati diri dan karakternya sebagai salahsatu suku bangsa yang bermartabat di dunia.[]
*Pemerhati sejarah dan budaya Gayo, tinggal di Takengon