Kute Lintang Pegasing ; Gudang Bedil ‘Bagura’ Melawan Belanda

oleh
Pegasing (foto : Khalis)

Catatan : Darmawan Masri*

Pegasing (Ist)
Pegasing (Ist)

Kampung Kute Lintang saat ini secara administratif masuk ke dalam wilayah Kecamatan Pegasing Kabupaten Aceh Tengah. Nama Kecamatan Pegasing juga dibidani dari nama Kampung ini. Dari cerita yang dituturkan secara turun temurun, dahulu di Kute Lintang pernah terjangkit wabah penyakit kolera yang sulit untuk disembuhkan.

Melihat kondisi genting itu, Pemerintahan Reje Pegasing, mengumpulkan sesepuh kampung untuk mengatasi keadaan. Dari hasil kesepakatan, disepakati membuat penawar penyakit (Gayo : Sulih). Setiap warga harus membuat pagar yang berbentuk gasing (Peger Gasing) di depan rumah masing-masing guna menghambat wabah penyakit. Nama peger gasing lah yang kemudian dikenal dengan sebutan Pegasing.

Menurut cerita yang berkembang secara turun-temurun, Kampung Kute Lintang adalah sebuah kampung tua (Gayo : Kampung tue) yang pertama kali di huni, setelah migrasi dari Kecamatan Bebesen ratusan tahun silam. Dari kampung inilah kemudian masyarakatnya menyebar ke Gelelungi, dan kampung-kampung tue lainnya di Kecamatan Pegasing. Masyarakat Pegasing juga kemudian menyebar ke Kecamatan Silih Nara.

Saat ini, Kampung Kute Lintang telah memekarkan beberapa kampung seperti Kampung Kayukul, dan Kampung Pegasing. Sedangkan Kampung Belang Bebangka dan Jurusen merupakan pemekaran dari Kampung Kayukul yang dulunya juga merupakan wilayah Kampung Kute Lintang.

Tempat Penyimpanan Senjata Belanda dan Jepang

Kampung Kute Lintang Kecamatan Pegasing Kabupaten Aceh Tengah, ternyata menyimpan nilai sejarah dalam mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia.

Daerah ini dipilih oleh Bupati Aceh Tengah pada masa Ampon Wahab, sebagai tempat menyimpan senjata yang diperoleh dari Belanda dan Jepang.

Informasi ini disampaikan oleh seorang mantan anggota DPRD Tingkat I Provinsi Aceh (Sekarang DPRA) periode 1966-1971, Tgk. H. M. Saleh Daud. Dia bersama dua temannya, Aman Ati dan Abdullah turut membantu dua orang tentara, Ucak asal Kampung Asir-asir dan Dolah asal Kampung Bale yang ditugaskan Ampon Wahab menjaga senjata-senjata tersebut. Saat itu usia, Tgl. H. M. Saleh Daud bersama tiga rekannya tengah beranjak dewasa.

Diceritakan awan (kakek-red) yang lahir di Kute Lintang-Pegasing ini, saat negara Jepang dijatuhkan bom atom di wilayah Nagasaki dan Hirosima, mengharuskan mereka angkat kaki dari Indonesia. Di wilayah Gayo Jepang masih bertahan dipusat komandonya di Buntul Kubu Takengon.

Melihat kondisi tersebut, dibawah komando Ampon Wahab, ribuan masyarakat Gayo mendatangi markas tentara Jepang itu dengan membawa senjata berupa pisau (Gayo : Luju), parang dan pedang. Di Buntul Kubu tentara Jepang siap dengan senjata lengkap. (Luju adalah sebuah pisau yang khusus dibawa kemana-mana oleh kaum pria Gayo, tidak sama dengan pisau dapur).

Dengan berteriak, Ampon Wahab meminta Jepang segera meninggalkan Tanoh Gayo. Hingga akhirnya dia diterima untuk berbicara dengan militer Jepang.

“Saat itu, kalau saja tentara Jepang menembaki masyarakat yang berada dibawah Buntul Kubu, saya tidak bisa bayangkan lagi. Mereka tinggal menembak saja, namun tidak dilakukan. Jepang sadar mereka sudah kalah dan harus segera pergi,” kenang M. Saleh Daud yang ikut bersama ribuan masyarakat Gayo kala itu.

Tanpa mengetahui pembicaraan dari Ampon Wahab bersama pimpinan militer Jepang di Buntul Kubu, hingga akhirnya semua senjata milik Jepang (ada juga senjata milik Belanda yang disimpan Jepang), semuanya ditarik atas komando Ampon Wahab. Kemudian memerintahkan dibawa ke Kute Lintang secara sembunyi-sembunyi.

“Informasi bahwa senjata Jepang dan Belanda ada di Kute Lintang hanya masyarakat sekitar dan beberapa tentara saja yang tahu. Hal itu menghindari spionase Belanda yang gencar akan melakukan agresi militernya kembali ke Indonesia,” kata M. Saleh Daud.

Inisiatif membantu kedua tentara yang ditugaskan oleh Bupati Aceh Tengah, katanya lagi diambil atas kesadaran bersama dua orang temannya (Aman Ati dan Abdullah). Mereka bertiga sepakat untuk membantu menjaga persenjataan itu.

Dalam ingatan M. Saleh Daud, jumlah senjata yang dikumpulkan tak terhitung. Senjata disimpan di dalam peti yang terbuat dari kayu dan diletakkan di tanah seluas 25×25 meter persegi (Gayo : Sara rante).

“Tempatnya di Nangka Dele (Sekarang sudah dibangun Sekolah Dasar). Jenis senjatanya mulai dari stun gun dan karabin milik tentara Belanda dan Jepang. Ada juga jenis senjata berat seperti bren serta granat sampai mortir seberat 100 Kg. Jumlahnya tak terhitung, begitu juga dengan amunisinya,” ungkap M. Saleh Daud.

Pesawat Belanda Sering Mengintai

Saksi Sejarah, Tgk. M. Saleh Daud. (LGco : Wein Mutuah)
Saksi Sejarah, Tgk. M. Saleh Daud. (LGco : Wein Mutuah)

Diceritakan, M. Saleh Daud lagi, saat dirinya tengah menjaga senjata-senjata itu, juga terlihat pesawat-pesawat Belanda mondar-mandir di wilayah udara Pegasing. Pasalnya, pasca kekalahan Jepang, Belanda ingin masuk kembali ke Indonesai lewat Agresi Militer yang dilancarkannya. Mereka mempropaganda dunia bahwa pemerintahan Indonesia sudah tak ada, namun lewat sebuah radio yang mengumandang di wilayah pedalaman  Aceh dan menyuarakan Indonesia masih ada, pesawat milik Belanda sering mondar-mandir di wilayah udara tanoh Gayo.

“Mereka mencari pemancar radio, radio itulah radio yang dinamakan Radio Rimba Raya. Namun Belanda tidak menemukan pemancar radio itu,” terangnya.

Melihat kondisi itu, saat menjaga persejataan mereka berinisitif menutupinya dengan dedaunan kayu. Karena tempat penyimpanan berada dibawah pohon Nangka yang rimbun, dipastikan senjata itu tidak terpantau oleh pesawat.

“Ketika itu, kami sempat was-was juga. Alhamdulillah pesawat Belanda tidak mengtahuinya,” kenang M. Saleh Daud.

Senjata Dibagi Kepada Tentara Bagura.

Agresi Milter Belanda meningkat. Belanda yang tak mau mengakui Kemerdekaan Indonesia melancarkan serangan ke berbagai wilayah untuk menguasainya kembali. Tak terkecuali Sumatera. Para pejuang-pejuang Gayo dibawah tentara rakyat yang diberi nama Barisan Gurilla Rakyat (Bagura) ikut menghadang Belanda di front Medan Area.

Dalam ingatan, M. Saleh Daud, tentara Bagura terlebih dahulu dibekali dengan persenjataan. Para pejuang yang ikut diberi senjata beserta amunisinya di Kute Lintang. Truk-truk pengangkut pasukan berdatangan, mereka berbaris menerima persenjataan.

“Senjata yang disimpan di Kute Lintang kemudian di bagi kepada tentara Bagura yang akan berangkat menghadang Belanda. Saya masih ingat, banyak tentara Bagura yang datang kemari diberi senjata satu per satu. Kemudian mereka berangkat ke medan tempur. Saat itulah tugas kami menjaga senjata selesai,” demikian kata Mantan anggota DPRD Tingkat I Provinsi Aceh tahun 1966-1971 dari fraksi Nahdatul Ulama bersama seorang putra Gayo lainnya, Beni Banta Tjut dari Fraksi ABRI. []

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.