Ketahanan Pangan Kita Lampu Merah

oleh

Catatan Muhammad Syukri*

Pasca bencana hidrometeorologi alias banjir dan longsor memutus jalur transportasi ke Dataran Tinggi Gayo, terkuaklah performa ketahanan pangan di wilayah tengah Provinsi Aceh itu.

Seperti apa performanya? Daya tahan pangan kita sangat rendah, bahkan sudah masuk kategori lampu merah. Karena produksi beras lokal tak mampu memenuhi kebutuhan pangan warga di kawasan itu. Buktinya, warga rela jalan kaki ke Bireuen dan Lhokseumawe demi memperoleh beras.

Ketika jalur transportasi menuju Dataran Tinggi Gayo terputus, kawasan itu benar-benar terisolir. Beras pun ludes di pasaran, meski ada dijual di pasar gelap, hanya saja harganya selangit.

Ternyata bukan hanya beras. Sayur, ikan dan bahan pangan lain pun ikut langka. Di pasar kaget hanya dijual tomat, cabe, kubis, sawi, sawi putih, taruk jepang, salada paya, rukut, bayam liar, daun singkong, wortel, bawang merah, kentang, ubi, dan ketela.

Hanya itu? Ya, berarti selama ini sayuran dan bahan pangan lain dipasok dari luar daerah. Istilah kerennya, daerah pengimpor sebagian besar bahan pangan dari wilayah lain. Kita bagai negara-negara kaya di Timur Tengah yang semuanya serba impor.

Haruskah mengimpor bahan pangan? Sebenarnya wilayah tengah Provinsi Aceh itu adalah kawasan subur. Disana banyak tumbuh substitusi (pengganti) bahan pangan pokok. Bahkan, tanpa dibudidayakan pun, tumbuhan itu berkembang sendiri di lahan-lahan tidur.

Apa saja itu? Ada petukel (labu kuning), kepile (ketela), gadung (singkong), talas, ganyong, pisang, jagung sampai kentang. Dimata warga, bahan pangan itu dianggap sebagai bahan penganan (kue) bukan sebagai substitusi beras.

Nah, bencana hidrometeorologi akhir November 2025 lalu harusnya membuka mata semua. Bahwa beras produksi sendiri tak cukup memberi makan warga. Makanya harus ada solusi. Dan apa saja bahan pangan pokok yang dapat menjadi pengganti beras. Ini yang perlu diedukasikan kepada warga.

Langkah ini perlu peran semua pihak, terutama perangkat daerah yang menangani urusan pangan. Misalnya, edukasi mengolah gadung (singkong), kepile, talas, kentang sebagai pengganti beras. Lalu, dimakan dengan rendang atau gulai masam jing.

Edukasi itu bukan hanya sekali atau dua kali, tetapi terus menerus. Umpamanya, sarapan pagi dengan gadung (singkong). Makan siang dengan beras (nasi), dan makan malam dengan kepile (ketela).

Sampai akhirnya, menu tersebut menjadi budaya makan bagi warga di Dataran Tinggi Gayo. Seperti budaya ketahanan pangan tempo dulu, yang dikenal dengan sebutan peger keben. Semoga mencerahkan semua pihak. []

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.