Oleh Mahbub Fauzie (Kepala KUA Kecamatan Atu Lintang, Aceh Tengah)
Musibah atau bencana hidrometeorologi yang melanda sebagian wilayah Sumatera dan Aceh pada 24–26 November 2025 merupakan peristiwa besar yang mengguncang rasa aman dan kemanusiaan kita.
Banjir, longsor, dan kerusakan infrastruktur terjadi hampir serentak, meninggalkan duka mendalam, kehilangan harta benda, serta penderitaan yang tidak ringan.
Rumah-rumah rusak, lahan pertanian hancur, akses jalan terputus, dan aktivitas masyarakat lumpuh. Peristiwa ini bukan sekadar fenomena alam, tetapi juga panggilan nurani bagi kita semua, khususnya umat Islam, untuk merenung dan mengambil pelajaran.
Dalam perspektif keimanan, musibah dapat dimaknai sebagai ujian dan cobaan. Allah Ta’ala telah menegaskan bahwa setiap manusia akan diuji dengan rasa takut, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan hasil bumi, serta kabar gembira bagi orang-orang yang sabar.
Ujian adalah sunnatullah. Ia hadir untuk menakar kesabaran, menguatkan iman, dan mengingatkan bahwa hidup di dunia bukanlah tujuan akhir.
Namun di sisi lain, musibah juga dapat menjadi peringatan keras atas kelalaian manusia. Al-Qur’an mengingatkan bahwa kerusakan di muka bumi terjadi akibat perbuatan tangan manusia sendiri. Dalam konteks bencana hidrometeorologi, faktor kerusakan lingkungan tidak bisa dipungkiri.
Penebangan hutan tanpa kendali, pembukaan lahan secara serampangan, pendangkalan sungai, serta kebiasaan membuang sampah sembarangan telah merusak keseimbangan alam.
Ketika daya dukung lingkungan melemah, hujan yang seharusnya menjadi rahmat justru berubah menjadi bencana.
Di sinilah pentingnya kesadaran ekologis bersama, termasuk dari para petani, peladang, dan pelaku usaha kehutanan. Petani dan peladang dituntut untuk bijak dan cerdas dalam membuka lahan, tidak membakar hutan, menjaga kontur tanah, mempertahankan kawasan resapan air, serta mengikuti pola pertanian ramah lingkungan.
Kearifan lokal yang selama ini menjaga keseimbangan alam perlu dihidupkan kembali dan dipadukan dengan pengetahuan modern. Lahan bukan hanya sumber penghidupan hari ini, tetapi juga amanah untuk generasi yang akan datang.
Demikian pula para pengusaha logging dan pelaku industri kehutanan. Mereka memegang peran strategis dalam menjaga kelestarian alam. Aktivitas penebangan harus dilakukan secara bertanggung jawab, legal, dan berwawasan lingkungan, disertai reboisasi dan perlindungan kawasan hutan lindung.
Keuntungan ekonomi tidak boleh dibayar dengan kerusakan ekologis yang berujung pada penderitaan masyarakat luas. Islam mengajarkan bahwa setiap amanah akan dimintai pertanggungjawaban, termasuk amanah mengelola sumber daya alam.
Musibah juga mengajak kita melakukan muhasabah moral dan akhlak. Kerusakan tidak hanya terjadi pada alam, tetapi juga pada perilaku manusia.
Maraknya kemaksiatan, perzinaan, ketidakjujuran dalam berdagang, korupsi di kalangan pejabat, serta lemahnya amanah dalam bekerja adalah penyakit sosial yang menggerogoti keberkahan hidup.
Ketika nilai kejujuran dan keadilan ditinggalkan, maka keseimbangan sosial runtuh. Dalam kondisi seperti ini, musibah bisa menjadi peringatan agar manusia kembali kepada jalan takwa.
Meski demikian, Islam tidak mengajarkan sikap pasrah tanpa ikhtiar. Musibah bukan alasan untuk saling menyalahkan atau menghakimi korban. Sebaliknya, ia adalah ujian kolektif yang menuntut kepedulian dan solidaritas.
Rasulullah SAW mengajarkan bahwa orang-orang beriman ibarat satu tubuh; jika satu bagian sakit, seluruh tubuh ikut merasakannya. Maka respons keimanan yang benar adalah membantu, meringankan beban, dan hadir bersama mereka yang terdampak.
Prinsip tolong-menolong dalam kebaikan dan ketakwaan harus diwujudkan dalam aksi nyata: bantuan kemanusiaan, tenaga relawan, penggalangan dana, pemulihan lingkungan, dan pendampingan korban.
Islam tidak mengenal keimanan yang kering dari empati. Rasulullah SAW menegaskan bahwa Allah akan senantiasa menolong seorang hamba selama ia menolong saudaranya.
Akhirnya, musibah hidrometeorologi di Sumatera dan Aceh hendaknya dimaknai sebagai pelajaran besar. Ia mengajak kita memperbaiki hubungan dengan Allah melalui taubat dan ketakwaan, memperbaiki hubungan dengan sesama melalui empati dan keadilan, serta memperbaiki hubungan dengan alam melalui pengelolaan lingkungan yang bijak dan bertanggung jawab.
Jika ketiga relasi ini dibenahi, maka musibah tidak hanya menyisakan luka, tetapi juga melahirkan hikmah dan perubahan menuju kehidupan yang lebih bermartabat dan diridhai Allah.[]





