Oleh: Dr. Budiyono, S.Hut., M.Si (Dosen Agroforestri, Prodi Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Gajah Putih)
Krisis Ekologis di Balik Bencana
Pada 26 November 2025, Aceh diguncang bencana hidrometeorologi berskala besar yang mencatatkan salah satu dampak paling destruktif dalam dua dekade terakhir.
Sebanyak 18 kabupaten/kota terdampak, 391 jiwa meninggal dunia, 31 orang dinyatakan hilang, dan lebih dari 483.000 kepala keluarga terpaksa mengungsi.
Kerugian ekonomi ditaksir mencapai Rp.2,2 triliun (Data CELIOS, 2025) dan perhitungan pemerintah untuk membangun kembali infrastruktur mencapai Rp. 60 Triliun untuk 3 provinsi.
Namun di balik tragedi ini, tersimpan persoalan struktural yang lebih mendalam: lemahnya pengawasan terhadap izin konsesi, disfungsi kelembagaan pengelola kawasan hutan, dan absennya kedaulatan Aceh dalam mengelola hutannya sendiri.
Sebagai akademisi dan peneliti di bidang agroforestri, saya meyakini bahwa bencana ini bukan semata-mata akibat anomali iklim, melainkan buah pahit dari tata kelola hutan yang gagal melindungi fungsi ekologis kawasan hulu.
Inilah saatnya kita menjadikan bencana ini sebagai alarm keras untuk mengevaluasi ulang izin, memperkuat fungsi kawasan, dan menegakkan kedaulatan hutan Aceh.
Konsesi Bermasalah dan Kerusakan Ekosistem Hulu
Aceh Tengah dan Bener Meriah, dua kabupaten yang menjadi jantung ekosistem hulu di Aceh, kini menghadapi krisis ekologis yang semakin mengkhawatirkan.
Kawasan hutan yang seharusnya berfungsi sebagai penyangga utama Daerah Aliran Sungai (DAS) Krueng Peusangan, Krueng Jambo Aye, dan Krueng Woyla mengalami degradasi masif akibat pembukaan lahan yang tidak terkendali.
Salah satu aktor yang kerap disebut dalam pusaran degradasi ini adalah PT. Tusam Hutani Lestari (THL), pemegang konsesi Hutan Tanaman Industri (HTI) seluas lebih dari 97.000 hektare.
Alih-alih menjalankan fungsi konservasi dan produksi secara berimbang, PT. THL justru membiarkan kawasan konsesinya dibuka menjadi kebun kopi dan tanaman semusim lainnya tanpa penerapan sistem agroforestri yang memadai.
Padahal, pendekatan agroforestri telah terbukti secara ilmiah mampu menjaga fungsi hidrologis, meningkatkan keanekaragaman hayati, serta memberikan manfaat ekonomi yang berkelanjutan bagi masyarakat sekitar.
Lebih parah lagi, praktik eksploitasi getah pinus di kawasan ini dilakukan secara tidak konservasionis—dalam satu pohon berdiameter 10–15 cm ditemukan hingga enam koakan, bahkan lebih dari satu kumpulan luka sadap dalam satu batang.
Pola penyadapan yang merusak ini mempercepat kematian pohon, memperlemah struktur tegakan, dan memperbesar risiko kerusakan hutan secara keseluruhan. Ketika prinsip kelestarian diabaikan, maka yang tersisa hanyalah lanskap rusak yang rentan terhadap erosi, longsor, dan hilangnya kapasitas resapan air di kawasan hulu.
Kondisi ini menunjukkan bahwa PT. THL tidak hanya gagal menjalankan prinsip-prinsip pengelolaan hutan lestari, tetapi juga telah mengabaikan tanggung jawab ekologis yang melekat pada status konsesinya.
Ketika kerusakan lingkungan terus meluas, sementara kontribusi terhadap pemulihan ekosistem dan kesejahteraan masyarakat sekitar nyaris tak terlihat, maka negara tidak boleh tinggal diam. Sudah saatnya dilakukan audit ekologis dan sosial secara menyeluruh terhadap PBPH-HTI yang dikelola PT. THL.
Jika terbukti terjadi pembiaran, pelanggaran teknis, atau penyimpangan dari rencana kerja usaha pemanfaatan hutan, maka pencabutan izin harus menjadi langkah tegas yang dipertimbangkan secara serius.
Kedaulatan hutan Aceh tidak boleh terus dikompromikan oleh kepentingan korporasi yang abai terhadap keberlanjutan dan keselamatan ekologis rakyat di hilir.
Perkebunan Kopi Rakyat dan Hilangnya Fungsi Penyangga
Selain tekanan dari korporasi, ekspansi perkebunan kopi rakyat juga menjadi salah satu penyebab utama konversi kawasan hutan di Aceh Tengah dan Bener Meriah.
Dalam dua dekade terakhir, ribuan hektare hutan lindung dan hutan produksi telah beralih fungsi menjadi kebun kopi rakyat secara masif dan sporadis.
Ironisnya, banyak dari kebun ini dibuka tanpa mempertahankan tegakan pohon pelindung, sehingga menciptakan lanskap homogen yang terbuka dan rentan terhadap degradasi.
Ketika kopi ditanam secara monokultur tanpa naungan, maka fungsi ekologis hutan sebagai penyangga air, pengatur iklim mikro, dan habitat satwa liar pun hilang.
Padahal, pendekatan agroforestri kopi dengan sistem naungan pohon pelindung seperti lamtoro, suren, aren atau jenis lokal lainnya telah terbukti mampu menjaga keseimbangan ekosistem sekaligus meningkatkan produktivitas jangka panjang.
Namun karena keterbatasan pengetahuan teknis, tekanan ekonomi, dan lemahnya pendampingan kelembagaan, banyak petani memilih membuka lahan secara cepat dan instan, bahkan di dalam kawasan hutan negara. Tanpa regulasi yang tegas dan insentif yang tepat, praktik ini akan terus meluas dan memperparah kerentanan kawasan hulu terhadap bencana hidrometeorologi.
Lemahnya Fungsi Kelembagaan di Tapak
Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Wilayah VI, yang seharusnya menjadi garda depan dalam pengawasan dan pengelolaan hutan di wilayah ini, justru nyaris tak terdengar suaranya.
Minimnya anggaran, kekurangan sumber daya manusia, dan tumpang tindih kewenangan membuat lembaga ini kehilangan daya kendali. Padahal, berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA), Pemerintah Aceh memiliki kewenangan penuh dalam pengelolaan sumber daya alam, termasuk kehutanan.
Namun dalam praktiknya, kewenangan ini belum sepenuhnya dijalankan secara efektif. Banyak kebijakan kehutanan masih dikendalikan oleh pusat, sementara Dinas Kehutanan Aceh belum diberi ruang dan sumber daya yang cukup untuk mengambil alih pengelolaan kawasan hutan secara mandiri.
Padahal, jika dikelola langsung oleh Pemerintah Aceh, kawasan hutan dapat diarahkan untuk mendukung skema perhutanan sosial, konservasi berbasis masyarakat, dan bahkan perdagangan karbon (carbon trade) yang kini menjadi peluang ekonomi hijau global.
Membentuk Lembaga Kehutanan Aceh yang Mandiri dan Berbasis Kearifan Lokal
Dalam konteks ini, Aceh membutuhkan sebuah institusi yang kuat, profesional, dan mandiri untuk menangani urusan kehutanan dan lingkungan hidup secara terintegrasi.
Lembaga ini harus berdiri di atas kepentingan publik dan lingkungan, bukan tunduk pada tekanan politik atau ekonomi jangka pendek. Ia harus memiliki otoritas penuh dalam perencanaan, pengawasan, penegakan hukum, serta pengelolaan data dan informasi kehutanan.
Kelembagaan seperti ini tidak hanya penting untuk menegakkan kedaulatan Aceh atas sumber daya alamnya, tetapi juga untuk memastikan bahwa pengelolaan hutan dilakukan secara transparan, partisipatif, dan berbasis ilmu pengetahuan. Tanpa institusi yang kuat dan independen, semua kebijakan akan berakhir sebagai dokumen tanpa daya, dan bencana akan terus berulang.
Dengan kewenangan khusus yang diatur dalam Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA), serta pengalaman panjang dalam mengelola sumber daya alam berbasis adat dan komunitas, Aceh memiliki fondasi yang kokoh untuk membangun kelembagaan kehutanan yang kuat dan berdaulat.
Modal sosial berupa kearifan lokal, seperti sistem hutan adat, mukim, dan nilai-nilai ekologis dalam budaya masyarakat Gayo dan Aceh, merupakan aset tak ternilai yang dapat menjadi basis kelembagaan yang kontekstual dan berkelanjutan.
Ditambah dengan dukungan akademik dari perguruan tinggi lokal, jaringan LSM lingkungan, serta peluang pendanaan dari skema ekonomi hijau global seperti REDD+ dan perdagangan karbon, Aceh memiliki semua prasyarat strategis untuk membentuk institusi kehutanan yang tidak hanya mandiri secara administratif, tetapi juga berakar kuat pada identitas ekologis dan sosialnya sendiri.
Belajar dari Dunia: Meniru Model Lembaga Kehutanan yang Efektif
Jika Aceh ingin keluar dari siklus bencana ekologis dan membangun tata kelola hutan yang berkelanjutan, maka salah satu langkah strategis yang harus diambil adalah membentuk lembaga kehutanan dan lingkungan yang mandiri, kuat, dan profesional.
Lembaga ini tidak cukup hanya menjadi unit teknis di bawah dinas, melainkan harus memiliki otonomi kelembagaan, kewenangan lintas sektor, dan kapasitas teknis yang memadai. Untuk itu, kita bisa belajar dari negara-negara yang telah berhasil membangun sistem pengelolaan hutan yang efektif.
Di Finlandia, lembaga Metsähallitus mengelola lebih dari 12 juta hektare lahan publik, termasuk hutan negara, dengan mandat yang mencakup konservasi, produksi kayu, pariwisata alam, dan perlindungan hak masyarakat adat Sámi. Lembaga ini memiliki otonomi operasional, sistem informasi kehutanan digital, dan transparansi tinggi dalam pelaporan. Perencanaan hutan dilakukan secara partisipatif dengan melibatkan masyarakat dan pemangku kepentingan lokal.
Swedia memiliki Swedish Forest Agency (Skogsstyrelsen), otoritas nasional yang mengatur dan mengawasi semua aktivitas kehutanan, termasuk hutan milik swasta. Lembaga ini menggabungkan regulasi ketat dengan dukungan teknis dan insentif bagi pemilik hutan.
Mereka juga memanfaatkan teknologi pemantauan satelit dan data spasial real-time untuk pengawasan, serta menjaga independensi kelembagaan dari tekanan politik jangka pendek.
Sementara itu, Kosta Rika melalui SINAC (National System of Conservation Areas) berhasil membalikkan tren deforestasi dengan mengintegrasikan konservasi, agroforestri, dan ekowisata. SINAC bekerja erat dengan masyarakat adat dan petani kecil, serta didukung oleh skema pembayaran jasa lingkungan (PES) dan perdagangan karbon internasional. Pendanaan lembaga ini sebagian besar berasal dari pajak bahan bakar dan mekanisme REDD+.
Aceh memiliki potensi yang tak kalah besar dibanding Kosta Rika. Dengan luas kawasan hutan yang signifikan, keanekaragaman hayati yang tinggi, serta keberadaan masyarakat adat dan petani hutan yang masih menjaga kearifan lokal, Aceh seharusnya mampu menjadi pionir dalam pengelolaan hutan berbasis keadilan ekologis dan ekonomi hijau. Namun potensi ini akan terus terpendam jika tidak dibarengi dengan kelembagaan yang kuat dan visi politik yang berpihak pada keberlanjutan.
Momentum bencana hidrometeorologi ini harus dijadikan titik balik untuk membangun lembaga kehutanan dan lingkungan hidup Aceh yang berdaulat, transparan, dan adaptif terhadap tantangan zaman. Dengan dukungan regulasi daerah yang progresif, integrasi teknologi pemantauan spasial, dan kemitraan dengan masyarakat adat serta pelaku usaha hijau, Aceh dapat menempuh jalur baru: dari ketergantungan pada ekstraksi sumber daya menuju pengelolaan berbasis jasa lingkungan dan konservasi. Inilah saatnya Aceh menegaskan posisinya sebagai pemimpin dalam tata kelola hutan tropis yang adil, lestari, dan berdaulat.
Menjaga Hutan, Menjaga Peradaban
Bencana hidrometeorologi yang melanda Aceh bukan sekadar peringatan alam, melainkan cermin retak dari tata kelola hutan yang telah lama diabaikan. Ia menunjukkan bahwa ketika izin dibiarkan tanpa pengawasan, fungsi kawasan dikorbankan demi kepentingan sesaat, dan kedaulatan atas hutan diserahkan pada logika ekstraksi, maka yang lahir bukan kemakmuran, melainkan kehancuran.
Sebagai seorang doktoral di bidang agroforestri, saya percaya bahwa hutan bukan hanya soal tutupan lahan, tetapi soal keberlanjutan hidup, keadilan ekologis, dan martabat generasi mendatang.
Kini saatnya Aceh berdiri di simpang jalan sejarah: melanjutkan pola lama yang rapuh, atau memilih jalan baru yang berakar pada ilmu, kearifan lokal, dan keberpihakan pada bumi. Jika kita ingin membangun masa depan yang tangguh, maka kita harus mulai dari hulu—dari hutan yang dijaga, dari izin yang diawasi, dari lembaga yang berfungsi, dan dari rakyat yang diberdayakan. Karena menjaga hutan, sejatinya adalah menjaga peradaban. []





