Oleh: Dr. Budiyono, S.Hut, M.Si (Dosen Agroforestri, Prodi Agroteknologi Universitas Gajah Putih)
Pada 27–30 November 2025, Aceh kembali diguncang bencana hidrometeorologi dahsyat yang meluluhlantakkan 18 kabupaten/kota.
Lebih dari 1.926.948 jiwa terdampak, 391 orang meninggal dunia, 31 orang masih hilang, dan tercatat total kerugian ekonomi mencapai Rp2,2 triliun menurut perhitungan Celios. Sebanyak 483.760 kepala keluarga terpaksa mengungsi.
Bencana ini bukan hanya soal cuaca ekstrem, tapi juga cermin dari krisis tata kelola lingkungan yang telah lama diabaikan.
Di tengah duka ini, muncul ironi: Pemerintah Kabupaten Bener Meriah justru mengajukan perubahan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) untuk mengalihfungsikan 2.500 hektare kawasan hutan menjadi Areal Penggunaan Lain (APL). Sebuah langkah yang kontraproduktif dan berpotensi memperparah krisis ekologis yang sedang berlangsung.
Hulu yang Terluka, Hilir yang Tersapu
Aceh Tengah dan Bener Meriah, dua kabupaten di dataran tinggi Gayo, menjadi contoh nyata bagaimana kerusakan di hulu penting (DAS Krueng Jambo Aye, DAS Krueng Peusangan, dan DAS Krueng Woyla) membawa malapetaka ke hilir.
Kawasan ini dulunya dikenal sebagai paru-paru Aceh dan penghasil kopi Gayo yang mendunia. Namun kini, hutan-hutan lindungnya telah berubah menjadi konsesi industri dan kebun rakyat yang tak terkendali.
PT. Tusam Hutani Lestari (THL), pemegang konsesi Hutan Tanaman Industri (HTI) seluas lebih dari 97.000 hektare, dituding sebagai salah satu aktor utama dalam degradasi lingkungan.
Banyak kawasan yang seharusnya menjadi daerah resapan air justru dibuka menjadi perkebunan kopi bekerjasama dengan pihak ketiga dan tanaman lainnya tanpa menggunakan sistem agroforestri.
Di sisi lain, masyarakat membuka lahan kopi hingga ke sempadan sungai dan lereng curam tanpa konservasi. Kombinasi ini menciptakan bom waktu ekologis yang akhirnya meledak dalam bentuk banjir bandang dan longsor.
KPH VI: Lembaga yang Mandul
Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Wilayah VI seharusnya menjadi garda depan dalam menjaga kelestarian hutan di Aceh Tengah dan Bener Meriah. Namun, kenyataannya KPH VI nyaris tak terdengar.
Minim anggaran, kekurangan SDM, dan tumpang tindih kewenangan membuat lembaga ini kehilangan taring. Tanpa rencana pengelolaan yang jelas dan tanpa pengawasan lapangan yang memadai, kawasan hutan dibiarkan rusak tanpa kendali.
Ketiadaan fungsi pengawasan ini membuka ruang bagi konflik tata guna lahan yang semakin kompleks. Masyarakat adat dan petani kecil bersaing dengan korporasi besar dalam mengakses lahan, sementara negara absen dalam mengatur dan melindungi hak-hak ekologis warganya.
Ketimpangan Ekologis yang Mencekik
Bencana ini juga memperlihatkan wajah ketimpangan ekologis yang nyata. Masyarakat miskin yang tinggal di lereng dan bantaran sungai menjadi korban utama.
Mereka tidak punya pilihan selain tinggal di zona rawan karena tidak memiliki akses terhadap lahan aman. Ketika bencana datang, mereka kehilangan rumah, lahan, bahkan nyawa. Sementara itu, aktor-aktor besar yang berkontribusi pada kerusakan lingkungan tetap nyaman di balik izin dan kekuasaan.
Ketimpangan ini bukan hanya soal ekonomi, tapi juga soal keadilan lingkungan. Siapa yang merusak, siapa yang menanggung? Siapa yang diuntungkan, siapa yang dikorbankan? Pertanyaan-pertanyaan ini harus menjadi refleksi bersama dalam merumuskan kebijakan ke depan.
Tolak Perubahan RTRW yang Mengorbankan Hutan
Di tengah krisis ini, rencana Pemerintah Kabupaten Bener Meriah untuk mengubah status 2.500 hektare kawasan hutan menjadi APL adalah langkah mundur yang sangat disayangkan.
Alih-alih memperkuat perlindungan hutan, kebijakan ini justru membuka peluang eksploitasi baru yang akan memperparah kerusakan lingkungan dan memperbesar risiko bencana.
Perubahan RTRW bukan sekadar soal administrasi ruang, tapi soal keberpihakan: apakah kita berpihak pada kelestarian atau pada kepentingan jangka pendek? Apakah kita belajar dari bencana, atau justru mengulang kesalahan yang sama?
Jalan Keluar: Perhutanan Sosial dan Agroforestri
Bencana 27–30 November harus menjadi titik balik. Pemerintah Aceh dan nasional tidak bisa lagi menutup mata. Beberapa langkah mendesak yang harus dilakukan antara lain:
1. Batalkan ajuan perubahan RTRW Bener Meriah yang mengancam kawasan hutan lindung. Alihkan pendekatan pembangunan melalui skema perhutanan sosial yang berbasis keadilan dan keberlanjutan.
2. Audit menyeluruh terhadap konsesi PT. THL dan perusahaan lain yang beroperasi di kawasan hutan, termasuk evaluasi dampak ekologis dan sosialnya.
3. Penguatan kelembagaan KPH VI, baik dari sisi anggaran, SDM, maupun kewenangan hukum agar mampu menjalankan fungsi pengawasan dan fasilitasi perhutanan sosial.
4. Pemetaan partisipatif dan reformulasi tata ruang berbasis risiko bencana dan pengakuan hak masyarakat adat.
5. Pengembangan sistem agroforestri dalam perhutanan sosial, yang mengintegrasikan tanaman kehutanan dan pertanian (seperti kopi, kakao, dan rempah) untuk meningkatkan pendapatan petani sekaligus menjaga fungsi ekologis hutan.
Menjaga Hutan, Menjaga Kehidupan
Hutan bukan sekadar kumpulan pohon, tapi sistem penyangga kehidupan. Ia menyimpan air, menstabilkan tanah, dan menjaga iklim mikro.
Ketika hutan rusak, maka seluruh sistem kehidupan ikut runtuh. Menjaga hutan berarti menjaga kopi, menjaga air, menjaga budaya, dan menjaga masa depan.
Bencana hidrometeorologi bukan takdir, tapi konsekuensi. Jika kita ingin mencegah bencana serupa di masa depan, maka kita harus mulai dari hulu: dari hutan yang lestari, dari tata kelola yang adil, dan dari keberpihakan pada rakyat kecil. Karena hanya dengan itu, Aceh bisa benar-benar bangkit dan berdaulat atas ruang hidupnya sendiri. []





