Guru di Era Digital : Kritisisme yang Membangkitkan Harapan

oleh

Goresan Kecil Dalam Rangka HGN 2025

Oleh : Hammaddin Aman Fatih*

Saat Hiroshima 6 Agustus dan Nagasaki 9 Agustus 1945 hancur oleh ledakan dahsyat bom Atom. Kaisar Hirohito justru bertanya kepada panglimanya. Berapa guru yang masih tersisi ?

Kaisar Hirohito memprioritaskan peran guru untuk memulihkan Jepang. Kaisar mengumpulkan sekitar 45.000 guru yang masih hidup untuk membantu membangun kembali semangat masyarakat dan mendidik generasi muda agar Jepang bisa bangkit dari kehancuran kekalahan dalam Perang Dunia II delapan puluhan tahun yang lalu.

Hal ini menggambarkan bahwa peran guru tidak bisa untuk diabaikan untuk membangun kembali sebuah peradaban yang telah hancur. Jepang akhirnya bangkit lagi bahkan dapat menempatkan posisinya sebagai salah satu adikuasa ekonomi dunia.

Hal ini menunjukkan betapa bernilainya seorang guru di mata Kaisar. Momen ini pulalah yang menjadi tonggak kebangkitan Jepang sehingga menjadi salah satu negara maju hanya dalam kurun waktu 20 tahunan.

Padahal dengan kondisinya yang hancur lebur saat itu, dunia memprediksi paling tidak Jepang membutuhkan waktu kurang lebih 50 tahun untuk dapat bangkit kembali.

Dari sejarah di atas dapat dikatakan bahwa mengumpulkan guru setelah perang menjadi salah satu faktor Jepang menjadi negara maju seperti sekarang ini.

Hal ini menjadi bukti bahwa kemajuan sebuah bangsa, melibatkan peran besar guru-guru. Meskipun bergelar sebagai pahlawan tanda jasa, namun jasa seorang guru tidak dapat dipandang sebelah mata. Guru memang bukan orang hebat. Tapi, guru banyak melahirkan orang-orang hebat.

Hari Guru Di Era Digital

Hari Guru bukan hanya perayaan atau serimonial tahunan, tetapi pengingat bahwa perubahan besar dalam pendidikan selalu dimulai dari ruang kelas dan hati seorang pendidik.

Di era digital, guru tidak kehilangan peran, justru makin berharga sebagai kompas dalam perjalanan panjang peserta didik menuju masa depan.”

Era digital telah mengubah hampir seluruh sendi kehidupan manusia, termasuk cara kita belajar, bekerja, dan berinteraksi.

Di tengah derasnya arus teknologi, guru memegang peran yang kian krusial, bukan sekadar penyampai pengetahuan, tetapi navigator yang membimbing peserta didik melewati kompleksitas dunia digital. Namun, transformasi ini tidak datang tanpa tantangan.

Pertama, guru menghadapi ledakan informasi yang luar biasa cepat. Peserta didik hari ini bisa mengakses pengetahuan dalam hitungan detik, sementara guru dituntut untuk tidak hanya memahami materi, tetapi juga mampu mengarahkan siswa agar mampu memilah informasi yang valid, relevan, dan etis. Di sinilah muncul tuntutan kompetensi baru, literasi digital, literasi data, dan kemampuan berpikir kritis.

Kedua, perubahan teknologi menuntut guru untuk belajar terus menerus. Platform pembelajaran digital, kecerdasan buatan, hingga aplikasi kolaboratif menghadirkan peluang besar untuk memperkaya proses belajar.

Namun tanpa dukungan pelatihan, waktu belajar, dan budaya kolaboratif di sekolah, teknologi justru bisa menjadi beban tambahan. Ketimpangan kemampuan antar guru juga sering menciptakan kesenjangan implementasi yang berdampak pada mutu pembelajaran.

Meski demikian, era digital juga membuka kesempatan emas bagi profesi guru. Teknologi memungkinkan pembelajaran lebih personal, interaktif, dan kreatif.

Guru dapat mengintegrasikan simulasi, video pembelajaran, analitis belajar, hingga portofolio digital untuk memetakan perkembangan siswa secara lebih akurat.

Bahkan, dengan bantuan aplikasi AI, guru dapat menghemat waktu administrasi sehingga bisa lebih fokus pada hal paling penting: membimbing karakter, empati, dan nilai-nilai kemanusiaan peserta didik.

Pada akhirnya, guru bukan sedang digantikan oleh teknologi, guru sedang ditantang untuk bertransformasi. Keberhasilan pendidikan di era digital sangat ditentukan oleh kemampuan guru untuk terus belajar, beradaptasi, dan menghadirkan pembelajaran yang bermakna.

Jika guru mampu mengambil peran sebagai pemimpin pembelajaran digital, maka teknologi bukan ancaman, tetapi mitra strategis untuk membentuk generasi yang cerdas, berakhlak, dan siap menghadapi masa depan.

Era digital menghadirkan paradoks bagi dunia pendidikan. Teknologi berkembang begitu cepat, tetapi kesiapan ekosistem sekolah sering tertinggal jauh di belakang.

Guru didorong untuk menguasai platform digital, analitik belajar, hingga perangkat AI (Artificial Intelligence), sementara di lapangan masih banyak yang bergulat dengan jaringan internet yang tidak stabil, pelatihan yang sebatas seminar, serta tekanan administrasi yang menyita energi kreatif mereka.

Ketimpangan kompetensi semakin tampak, memperlebar jarak antar guru dan menciptakan ketidakmerataan pengalaman belajar siswa. Inilah kritik yang harus diakui. Transformasi digital tidak akan pernah berhasil jika guru dibiarkan berjuang sendirian tanpa dukungan infrastruktur dan kebijakan yang kokoh.

Namun, justru di tengah tantangan inilah cahaya ketangguhan guru bersinar. Guru adalah sosok yang tidak pernah berhenti belajar; mereka terus mencari cara agar teknologi, tidak sekadar menjadi alat, tetapi menjadi jembatan menuju pembelajaran yang lebih hidup, kontekstual, dan memerdekakan.

Di tangan guru yang kreatif, gawai berubah menjadi laboratorium pengetahuan; platform digital menjadi ruang kolaborasi, dan banjir informasi diubah menjadi latihan berpikir kritis yang membentuk karakter siswa. Di era yang penuh distraksi ini, guru tetap menjadi jangkar moral untuk membimbing generasi muda agar cerdas secara digital sekaligus bijaksana secara sosial.

Penutup

Menghadapi era digital, guru tidak sedang bersaing dengan teknologi, melainkan memimpin proses kemanusiaan di tengah derasnya inovasi. Transformasi pendidikan hanya akan bermakna ketika guru diberdayakan, didukung, dan diberi ruang untuk berinovasi.

Jika sekolah dan pemerintah bergerak bersama, maka setiap guru dapat menjadikan teknologi sebagai sekutu, bukan beban. Pada akhirnya, masa depan pendidikan tidak ditentukan oleh seberapa canggih perangkatnya, tetapi oleh seberapa kuat semangat guru membimbing peserta didik menjadi manusia yang berpikir kritis, berkarakter, dan siap menghadapi dunia yang terus berubah.

Di tengah derasnya arus teknologi dan perubahan zaman, para gurulah yang tetap menjadi pelita, memastikan setiap anak tidak hanya cerdas secara digital, tetapi juga kuat dalam karakter. Hari ini, kita merayakan bukan sekadar profesi, tetapi pengabdian: keteguhan guru dalam belajar, beradaptasi, dan membimbing generasi masa depan di tengah dunia yang terus berubah.

Pada era serba cepat ini, ketika informasi datang tanpa batas dan tantangan pendidikan semakin kompleks, guru hadir sebagai penjaga arah, pemimpin pembelajaran yang menjadikan teknologi sebagai alat, bukan tujuan. Terima kasih kepada para insan pendidik yang terus menanamkan nilai, integritas, dan harapan di balik setiap layar dan setiap tatapan siswa.

Akhirnya selamat Hari Guru Nasional Tahun 2025. Semoga tetap semangat terus menjadi lentera, mendidik, mengarahkan, membimbing dan menuntun generasi bangsa ini menghadapi tantangan dengan harus selalu berliterasi, karena literasi adalah napas profesi guru. Tanpa literasi, guru hanya mengajar, tapi dengan literasi guru bisa menginspirasi.

*Penulis adalah penulis buku ( People of the Coffe, Goresan Pena Cekgu dan sedang menyelesaikan sebuah buku dengan judul Di Balik Papan Tulis) dan kepsek SMA Negeri 1 Permata di kabupaten Bener Meriah.

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.