Profesionalisme Guru: Dari Romantisme ke Kenyataan Baru

oleh

Oleh Ahmad Dardiri*

Di dunia pendidikan kita, masih kuat bertahan sebuah romantisme lama: bahwa guru yang lahir dari SPG, SGO, PGA, atau fakultas keguruan adalah guru yang “paling murni”, paling siap, dan paling mumpuni.

Pandangan ini tumbuh dari sejarah lembaga-lembaga keguruan yang dahulu membentuk calon guru sejak sangat dini, sehingga seolah-olah profesionalisme mengajar adalah anugerah bawaan dari almamater.

Namun pendidikan hari ini bergerak terlalu cepat untuk ditopang oleh nostalgia. Profesionalisme guru bukan lagi ditentukan oleh romantisme masa lalu, tetapi oleh realitas baru yang menuntut kompetensi, adaptasi, dan pembelajaran berkelanjutan dari semua guru—apa pun latar belakang pendidikannya.

Warisan Keguruan yang Menguatkan

Latar belakang pendidikan keguruan memberikan sejumlah keunggulan yang sulit diabaikan. Pertama, calon guru dibentuk dalam jangka panjang melalui pembelajaran pedagogik, psikologi pendidikan, micro teaching, hingga praktik lapangan (PPL). Proses ini membentuk sensitivitas didaktik—kepekaan memahami bagaimana siswa belajar, bereaksi, dan berkembang.

Kedua, kultur keguruan yang ditanamkan sejak awal membangun habitus profesional: disiplin, empati, komunikasi efektif, serta penguasaan strategi mengajar. Tidak mengherankan bila banyak yang beranggapan bahwa alumni keguruan lebih siap mengajar sejak hari pertama masuk kelas.

Warisan ini patut diapresiasi. Tetapi dunia pendidikan hari ini jauh lebih kompleks daripada masa SPG dan SGO. Tantangan digital, diferensiasi pembelajaran, asesmen autentik, hingga tuntutan kreativitas kelas menuntut guru untuk terus memperbarui diri—baik yang lulusan keguruan maupun bukan.

Guru Non-Keguruan: Antara Keraguan dan Peluang

Lulusan non-keguruan sering dipandang “kurang lengkap” karena tidak mendapatkan dasar pedagogik formal. Namun, banyak guru hebat justru lahir dari jalur non-keguruan.

Mereka datang dengan keunggulan yang berbeda: penguasaan materi yang mendalam, pengalaman praktis dari dunia industri, dan motivasi yang matang untuk mengajar.

Kelemahan mereka sebenarnya bukan terletak pada kemampuan mengajar, tetapi pada kurangnya akses pelatihan pedagogik. Ketika peluang itu dibuka—melalui PPG, workshop, mentoring, dan komunitas guru—kualitas mereka bisa menyamai bahkan melampaui lulusan keguruan. Profesionalisme bukanlah bawaan lahir dari jurusan, tetapi buah dari proses belajar yang terus-menerus.

Profesionalisme Guru: Ruang Bertemu Semua Latar Belakang

Jika kita kembali pada Undang-Undang Guru dan Dosen, profesionalisme guru ditentukan oleh empat kompetensi: pedagogik, profesional, sosial, dan kepribadian.

Tidak satu pun kompetensi itu ditentukan oleh asal jurusan. Artinya, profesionalisme adalah medan yang terbuka untuk siapa pun yang ingin menekuninya.

Guru dari jalur keguruan unggul dalam pedagogik; guru non-keguruan sering unggul dalam konten. Keduanya bisa saling belajar dan saling melengkapi. Di era kolaborasi, bukan lagi soal siapa lebih mumpuni, tetapi bagaimana setiap guru dapat tumbuh bersama dalam komunitas belajar.

Pembelajaran kolaboratif di MGMP, lesson study, coaching sejawat, dan asesmen reflektif menjadi ruang di mana semua guru—apa pun latar belakangnya—dapat bertumbuh. Guru profesional tidak terlahir dari almamater tertentu, tetapi dari kebiasaan memperbaiki diri setiap hari.

Penutup: Profesionalisme Bukan Nostalgia

Romantisme tentang guru lulusan SPG, SGO, atau FKIP adalah bagian sejarah yang patut dihormati. Mereka meninggalkan jejak kuat dalam pendidikan Indonesia. Tetapi menjadikan romantisme itu sebagai standar tunggal justru menghambat pertumbuhan guru masa kini.

Dunia berubah. Tantangan berubah. Guru pun harus terus berubah.

Guru mumpuni bukanlah guru yang “kebetulan” lulusan keguruan atau non-keguruan. Guru mumpuni adalah guru yang terus belajar, terus berlatih, dan terus merendah untuk memperbaiki diri.

Pada akhirnya, kualitas pendidikan tidak ditentukan oleh asal kampus guru, tetapi oleh ketekunan mereka mendidik generasi yang dipercayakan kepada mereka. []

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.