Menjadi Hamba yang Dikenang: Mewariskan Cerita, Meneguhkan Kebersamaan

oleh

Oleh Prof. Dr. Ridwan Nurdin, M.CL (Rektor IAIN Takengon)

Dalam setiap perjumpaan dengan masyarakat, kita selalu belajar bahwa usia manusia sangat terbatas. Banyak yang berharap panjang umur, tetapi sejatinya umur biologis bukanlah ukuran utama.

Justru bagaimana kita mengisi hidup, apa yang kita tinggalkan, serta bagaimana kita dikenang oleh masyarakatlah yang menentukan apakah umur kita “panjang”—yakni panjang oleh pahala dan kebaikan yang terus mengalir.

Saya sering merenungi sebuah pertanyaan sederhana namun mendalam:
Apa cerita yang akan tersisa tentang diri kita setelah kita tiada?

Apakah generasi mendatang akan menyebut nama kita sebagai orang yang memberi manfaat, ataukah kita berlalu tanpa jejak?

Jejak Ulama dan Kebiasaan Baik yang Tak Pernah Padam

Sejak kecil, saya mengenal nama-nama ulama kampung seperti Tengku M. Yusuf Kelupak Mata dan Tengku Harun Gelelungi. Mereka bukan dikenang karena jabatan, tetapi karena konsistensi dalam kebaikan.

Orang-orang tua dulu memiliki tradisi saling mendukung, saling menguatkan, dan selalu menebar manfaat. Rekam jejak mereka bertahan puluhan tahun—bahkan hingga kini—semata karena cerita kebaikan itu diwariskan dari mulut ke mulut.

Di masa sekarang, saya menyaksikan hal serupa. Ketika seseorang dengan ikhlas membagi ketan kuning usai salat Jumat, itu mungkin tampak sederhana. Namun sebuah kebaikan kecil yang dilakukan secara konsisten akan menjadi cerita abadi tentang dirinya.

Itulah cara memanjangkan umur melalui amal: menjadikan kebaikan sebagai kebiasaan.

Membangun Citra Diri Melalui Aksi Nyata

Kita sering mengira bahwa reputasi dibangun dengan kata-kata. Padahal tidak. Reputasi lahir dari konsistensi sikap dan tindakan. Bila seseorang dikenal sebagai dermawan, bukan karena ia sekali-sekali bersedekah, tetapi karena itu menjadi kepribadiannya.

Sebaliknya, ada pula orang yang selalu menimbulkan persoalan, hingga masyarakat pun menjauh. Maka penting bagi kita memastikan bahwa diri kita dikenang karena kontribusi positif, bukan masalah yang kita timbulkan.

Belajar dari Sifat Kaum Ansar

Kaum Ansar yang membantu Rasulullah SAW dan para Muhajirin dikenal dengan tiga sifat utama:

1. Menolong tanpa diminta
Ini berat, terutama di kultur kita. Namun menolong sebelum diminta adalah bentuk kemuliaan hati yang paling tinggi.

2. Terlibat dalam urusan bersama
Tidak pasif, tidak menunggu diperintah. Ketika ada kebutuhan umat, mereka hadir.

3. Memudahkan orang lain
Hidup perlu dibuat ringan, bukan rumit. Semakin kita memudahkan urusan orang, semakin Allah memudahkan urusan kita.

Sifat-sifat inilah yang membuat nama mereka terus harum dalam sejarah Islam.

Kebersihan Batin, Kebersihan Komunikasi

Kita sering bicara tentang kebersihan fisik: rumah, masjid, jalan. Tetapi kebersihan batin lebih utama. Ketika hati jernih, komunikasi menjadi ringan. Ketika komunikasi baik, gesekan sosial berkurang.

Banyak masalah terjadi bukan karena perbedaan pendapat, melainkan karena salah paham. Jika hati kita lapang—legowo—maka kita tidak mudah tersinggung dan tidak cepat menuduh. Di sinilah pentingnya mengelola batin dan menjaga kualitas pergaulan.

Empat Sifat yang Mengangkat Derajat

Para ulama selalu mewariskan empat sifat yang membuat seseorang dihormati:

1. Kelembutan
2. Kerendahan hati (tawadhu’)
3. Kedermawanan
4. Akhlak yang baik

Jabatan, kedudukan, dan gelar tidak ada artinya bila akhlak tidak menyertai.

Menyiapkan Generasi Masa Depan

Kita sering memaknai warisan sebagai harta. Padahal banyak orang besar datang dari keluarga sederhana. Yang mereka warisi bukan kekayaan, tetapi kemauan untuk maju.

Anak adalah “anak panah,” kata Gibran. Ia melesat ke masa depan, sementara kita hanya memegang busurnya. Jangan menahan anak panah itu hanya karena kita ingin mereka selalu dekat. Kita harus menyiapkan mereka menjadi generasi petarung—tangguh, fleksibel, dan siap menghadapi zaman.

Anak yang dibesarkan dengan musyawarah akan tumbuh demokratis. Anak yang dibesarkan dengan kepercayaan akan memiliki keberanian untuk melangkah. Itulah warisan terbaik.

Bersama, Aceh Tengah Pasti Maju

Apa yang dilakukan hari ini oleh pemerintah daerah—sapah magrib, Rabu berkah, program keagamaan dan sosial—akan mengubah wajah masyarakat dalam lima tahun ke depan bila dilakukan secara konsisten. Kegiatan-kegiatan itu menumbuhkan roh kebersamaan, dan kebersamaan adalah poros kemajuan.

Kita akan maju bukan karena orang lain bekerja, tetapi karena kita bekerja bersama.

Menjadi hamba yang dikenang bukan soal popularitas.
Bukan pula soal jabatan.
Melainkan tentang cerita baik yang terus hidup setelah kita pergi.

Wariskanlah kebaikan.
Bangunlah kebersamaan.
Tinggalkanlah generasi yang lebih kuat daripada diri kita.

Jika itu kita lakukan, maka meski umur biologis kita terbatas, umur pahala kita akan terus berdatangan.

Wallahu a’lam.[]

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.