Oleh : Fauzan Azima*
Dalam perjalanan sejarah bangsa, selalu ada manusia yang lahir bukan untuk menikmati hidup, melainkan menanggung bebannya. Mereka disebut wadal, tumbal negeri yang menanggung luka demi keselamatan bersama.
Wadal bukan hanya istilah mistik dari masa lalu. Dalam kebijaksanaan tua Nusantara, setiap bangunan besar berdiri atas dasar imbalan energi: apa yang diambil dari bumi harus dikembalikan. Dulu tumbalnya berupa sesajen; kini berganti bentuk sebagai rakyat kecil yang dikorbankan atas nama pembangunan.
Petani yang kehilangan tanah, buruh yang diabaikan, gerilyawan yang tertembak, mahasiswa yang ditembak gas air mata, veteran yang mati miskin, mereka adalah wadal modern.
Setiap kebijakan yang menindas atas nama kemajuan menyisakan jejak korban, dan korban itulah yang menjadi penebus dosa sosial bangsa.
Dalam keyakinan arif Gayo, wadal bukan sekadar korban, melainkan penjaga keseimbangan energi bumi. Jiwa mereka yang gugur menyusup ke tanah dan air, menjaga moral negeri dari kehancuran. Tetapi bila pengorbanan itu dilupakan, bumi menjadi murung dan bangsa kehilangan arah.
Negara tanpa kesadaran spiritual akan terus menumbalkan rakyatnya tanpa rasa bersalah. Sebab kekuasaan tanpa “dowa sempena” hanya melahirkan kutukan: tanah yang tandus, pemimpin yang tuli, dan rakyat yang terasing di tanahnya sendiri.
Menebus wadal bukan dengan upacara atau uang ganti rugi, melainkan dengan kesadaran: bahwa setiap tetes keringat rakyat adalah bagian dari darah kehidupan bangsa. Negeri yang menebus wadalnya akan hidup makmur, sebab ia menghargai pengorbanan sebagai suci.
“Tabi mulo langit sikujunyung seringkel payung, maaf mulo bumi sikujejak seringkel tapak.”
Ampuni dan maafkan kami, wahai langit dan bumi, atas setiap wadal yang kami lupakan. Jadikan pengorbanan mereka cahaya penuntun negeri.
Akhirnya, bangsa yang menghormati wadalnya akan tumbuh dengan rahmat; namun bangsa yang melupakan mereka akan hilang dalam peta sejarahnya sendiri.
(Mendale, November 7, 2025)






