Catatan Mahbub Fauzie (Penghulu dan Kepala KUA Kecamatan Atu Lintang, Aceh Tengah)
Dalam perjalanan rumah tangga, tidak semua hari berjalan dengan mudah. Ada masa di mana senyum terasa berat untuk muncul, suara yang biasanya lembut berubah menjadi tinggi, dan hati yang dulu dekat serasa jauh.
Ada pasangan yang sampai berada pada titik di mana pertengkaran menjadi dahsyat. Kata-kata terlontar tanpa kendali, air mata tumpah tanpa hentinya, solusi terasa buntu, dan seolah tidak ada lagi ruang untuk memahami satu sama lain.
Situasi menjadi semakin rumit ketika faktor ekonomi ikut menekan. Pekerjaan yang belum tetap, penghasilan yang tidak menentu, kebutuhan hidup yang setiap hari menagih, dan harapan yang belum kunjung sesuai dengan kenyataan.
Kebutuhan hidup yang mendesak sering menjadi pemantik konflik yang sebenarnya bermula dari hal kecil. Ketegangan meningkat, perasaan saling menyalahkan pun muncul, dan ruang dialog tergantikan dengan pertengkaran.
Belum lagi jika campur tangan pihak ketiga mulai masuk. Orang tua dan mertua, dengan niat baik dan rasa sayangnya masing-masing, terkadang ikut membawa pandangan dan penilaian yang justru memperkeruh suasana.
Padahal rumah tangga, sejatinya, adalah wilayah yang harus dirawat oleh dua orang: suami dan istri. Yang lain dapat memberi nasihat, dapat memberi dukungan, tetapi tidak mengambil alih kendali dan keputusan.
Di tengah kondisi seperti ini, seakan-akan semua pintu tertutup, dan jalan menuju perbaikan terasa hilang. Namun yakinlah, selama dua hati masih mau berusaha, masih mau menurunkan ego, pasti ada jalan pulang.
Karena rumah tangga bukan tentang mencari siapa yang menang dan siapa yang kalah. Rumah tangga adalah tentang bagaimana dua orang saling kembali, saling menguatkan, dan saling menyadarkan.
Langkah pertama yang paling perlu dilakukan adalah menenangkan diri. Cooling down.
Saat emosi sedang meninggi, tidak ada satu pun keputusan yang akan menghasilkan kebaikan.
Kata-kata yang diucapkan ketika marah lebih banyak melukai daripada menyembuhkan. Karena itu, diam sejenak bukan berarti menyerah—melainkan upaya untuk menyelamatkan hati.
Setelah tenang, lakukan introspeksi dan muhasabah. Tanyakan kepada diri sendiri: Apakah tujuan awal kami menikah? Apakah kami ingin saling membahagiakan atau saling membenarkan ego masing-masing?
Sering kali masalah rumah tangga bukan karena tidak ada cinta, tetapi karena tidak mampu menahan ego. Kita lupa bahwa jalan menuju kebahagiaan bukan tentang siapa yang paling benar, tetapi siapa yang paling mampu mengalahkan dirinya sendiri.
Lalu, lihatlah anak-anak. Mereka tidak meminta dilahirkan dalam rumah tangga yang retak. Mereka hanya ingin merasa aman, disayangi, dan melihat orang tuanya saling menghormati.
Jangan biarkan anak-anak menjadi korban dari keegoisan orang dewasa. Jangan sampai luka batin mereka terbawa sampai dewasa hanya karena kita tidak mampu mengelola emosi hari ini.
Dan jangan pula kita membebani orang tua kita masing-masing. Mereka yang telah membesarkan kita dengan cinta, tidak layak menerima kesedihan akibat pertikaian kita. Mereka bukan tempat menumpahkan beban yang seharusnya kita selesaikan sendiri. Hargailah mereka dengan cara menjaga rumah tangga kita sebaik mungkin.
Di sisi lain, kita sebenarnya memiliki potensi kebaikan yang dapat menjadi wasilah perbaikan hubungan. Pendidikan yang kita miliki, pengalaman hidup yang telah mengasah kita, nilai-nilai agama yang kita yakini, semua itu adalah kekuatan yang dapat membantu mengendalikan emosi dan mengembalikan akal sehat. Kebaikan itu kadang tertutup oleh amarah, tetapi bukan berarti hilang. Ia hanya perlu dipanggil kembali.
Dan yang paling penting: kembalilah kepada Allah. Sebab rumah tangga bukan hanya ikatan sosial, tetapi juga ibadah. Jika hubungan dengan Allah diperbaiki, insyaAllah hubungan sesama manusia juga akan dimudahkan.
Beribadahlah bersama, berdoalah bersama. Kadang, satu sujud malam yang tulus dapat meredakan badai yang tak bisa ditenangkan oleh seribu perdebatan. Ketika hati terhubung dengan Allah, hati menjadi lebih lembut, lebih mampu memahami, lebih mudah memaafkan.
Rumah tangga tidak membutuhkan dua orang yang sempurna. Rumah tangga hanya membutuhkan dua orang yang mau belajar, mau memperbaiki, dan mau saling menggandeng dalam setiap keadaan, baik dalam lapang maupun sempit.
Jika badai datang, jangan buru-buru menganggap bahwa rumah harus dirobohkan. Kadang, yang perlu hanya memperkuat tiang, memperbaiki genting, dan membersihkan debu yang menempel. Karena selalu ada jalan pulang bagi dua hati yang masih ingin kembali.
Semoga setiap rumah tangga diberi Allah ketenangan, kesabaran, cinta yang terus tumbuh, dan kemampuan untuk menang atas ego diri sendiri. Amiin. []







