Catatan Mahbub Fauzie (Penghulu dan Kepala KUA Kecamatan Atu Lintang, Aceh Tengah)
SETIAP manusia menjalani hidup dengan peran yang Allah amanahkan. Ada yang menjadi petani, pedagang, aparatur sipil negara, anggota Polri dan TNI, guru, perawat, hingga buruh harian yang tubuhnya basah peluh sejak fajar. Pada hakikatnya, semua peran itu adalah ladang ibadah.
Kita bekerja bukan semata untuk mengisi perut, menumpuk gaji, atau mengejar pangkat. Ada orientasi lain yang lebih tinggi, lebih halus, dan lebih hakiki: orientasi langit. Kita bekerja karena Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Kesadaran ini mungkin tampak sederhana. Namun bagi orang beriman, ini adalah ruh dalam bekerja. Ia menjadi napas yang menghidupkan rutinitas yang mungkin terlihat biasa. Karena ketika orientasi kita mengarah kepada Allah, maka pekerjaan yang tampaknya sederhana bisa punya nilai yang jauh lebih besar dari sekadar hasil materi.
Seorang petani menanam, tapi hatinya yakin Allah-lah yang menumbuhkan. Seorang pedagang membuka toko, tapi ia sadar rizki itu datang dari Allah, bukan dari banyaknya pengunjung. Seorang ASN melaksanakan tupoksi dan pelayanan, tapi hatinya berani berkata: “Aku bekerja bukan karena takut atasan, tapi karena menghamba kepada Yang Di Atas.”
Maka, ketika orientasi langit itu tertanam kuat, ia menumbuhkan buah yang nyata di bumi. Buah berupa kesungguhan, ketulusan, dan tanggung jawab moral. Orang yang bekerja karena Allah tidak mudah gelisah meski tidak dipuji.
Ia tidak goyah walau tidak dilihat. Ia tidak berubah sikap walau tidak diberi sorotan. Ia punya cermin sendiri, dan cermin itu bernama muraqabah: merasa selalu diawasi oleh Allah.
Di sinilah letak keteduhan seorang beriman. Ia tidak perlu teguran keras untuk disiplin, karena ia sudah menjaga dirinya. Ia tidak perlu dipantau untuk bekerja baik, karena hatinya sudah mengingat siapa yang akan ia pertanggungjawabkan kelak.
Sementara banyak orang bekerja karena takut pada manusia, takut pada presensi digital, takut pada tanda tangan atasan, atau takut pada sanksi. Namun yang bekerja karena Allah bekerja dengan hati yang lapang. Ia tenang, namun sigap. Ia sederhana, namun penuh makna.
Pada titik inilah seorang ASN KUA, misalnya, memaknai profesinya sebagai amanah, bukan sekadar mata pencaharian. Di balik kesungguhan melaksanakan tupoksi, menghadiri akad nikah bagi Penghulu, menyiapkan laporan, ujung pena yang menandatangani dokumen, ada tanggung jawab. Di balik semua itu dan juga pelayanan kepada masyarakat, ada nilai ibadah.
Bahkan di balik kata-kata yang diucapkan dalam rangka pembinaan bimbingan perkawinan, khutbah nikah dan pencatatan nikah, atau sekadar menjawab pertanyaan masyarakat dalam rangka konsultasi ada upaya memelihara martabat agama dan penghormatan terhadap manusia.
Bahkan buruh sekecil apa pun perannya, bila hatinya senantiasa terhubung kepada Allah, maka ia terangkat derajatnya. Rasulullah SAW bersabda:
“Sesungguhnya Allah mencintai hamba yang berkarya dengan baik (ihsan) dalam pekerjaannya.”
Ihsan dalam bekerja berarti melakukan yang terbaik meskipun tidak ada yang melihat. Dan ini hanya mungkin bila orientasi bekerja adalah Allah. Karena jika orientasi kita hanya dunia, maka kita akan mudah lelah. Dunia tidak selalu memberi balasan yang sepadan. Tidak semua orang menghargai kerja keras kita. Tidak semua usaha mendapatkan pujian. Tidak semua jasa dikenang.
Tetapi bila orientasinya langit, maka setiap peluh, setiap langkah, setiap kesabaran, menjadi catatan amal. Tidak ada yang hilang. Tidak ada yang sia-sia.
Dalam rumah tangga, prinsip ini menjadi perekat. Seorang suami menafkahi bukan hanya karena kewajiban sosial, tapi karena amanah dari Allah. Seorang istri mengurus rumah dengan cinta, bukan sekadar rutinitas tanpa jiwa. Dalam masyarakat, orientasi langit melahirkan pelayanan yang tulus, bukan sekadar formalitas.
Kita bekerja bukan karena takut atasan, tapi karena hormat kepada Yang Di Atas. Kita menjaga diri bukan karena pandangan manusia, tapi karena pandangan Allah yang tidak pernah lengah. Kita tidak menunggu dipuji untuk berbuat baik. Kita bekerja baik karena kita tahu siapa diri kita di hadapan Tuhan.
Akhirnya, kita sadar, hidup ini singkat. Jabatan, penghargaan, dan pujian kelak akan tertinggal. Yang kembali kepada Allah hanyalah amal, niat, dan kejujuran hati. Maka mari bekerja dengan orientasi langit, agar hidup kita berbuah indah di bumi, dan harum namanya di akhirat. Wallahu a’lam.[]
Atu Lintang, 1 Nopember 2025

											



