Oleh: Dr. Budiyono, S.Hut, M.Si (Bidang Perencanaan Wilayah, Dosen Agroteknologi Universitas Gajah Putih)
Menata Ruang, Menata Relasi Manusia dan Gajah
Rencana konservasi gajah di kawasan konsesi PT Tusam Hutani Lestari (THL) seluas ±21.000 hektar merupakan langkah monumental dalam pelestarian satwa liar di Provinsi Aceh.
Namun, dalam perspektif perencanaan wilayah, konservasi tidak bisa berdiri sendiri. Ia harus menjadi bagian dari tata ruang yang menyeluruh, yang mengintegrasikan fungsi ekologis, sosial, dan ekonomi secara harmonis.
Kawasan konservasi bukanlah ruang kosong. Ia adalah lanskap hidup yang dihuni oleh manusia dan satwa, yang saling berinteraksi dan berbagi sumber daya.
Oleh karena itu, perencanaan wilayah harus mampu merancang ruang yang memungkinkan koeksistensi, bukan dominasi satu kepentingan atas yang lain.
Lebih jauh, pendekatan konservasi yang tidak terintegrasi dengan perencanaan wilayah berisiko menciptakan tumpang tindih fungsi ruang, konflik kepentingan, dan ketidakefisienan dalam pengelolaan lanskap.
Oleh karena itu, konservasi gajah harus diposisikan sebagai bagian dari strategi pembangunan wilayah yang berkelanjutan, bukan sebagai proyek sektoral yang berdiri sendiri.
Kesimpulan:
Perencanaan konservasi gajah harus menjadi bagian dari perencanaan wilayah terpadu, yang mengakui bahwa ruang hidup masyarakat dan ruang gerak gajah saling bertaut.
Tanpa integrasi ini, konservasi berisiko menjadi proyek spasial yang tidak berakar pada realitas sosial.
Zona Inti yang Diperkuat, Zona Penyangga yang Ditinggalkan?
Pengayaan pakan di dalam THL adalah strategi ekologis yang cerdas dan perlu didukung. Namun, zona penyangga yang berada di wilayah desa tidak boleh hanya dipandang sebagai “area penahan” konflik. Ia harus dirancang sebagai ruang adaptif yang memiliki fungsi ekologis dan sosial yang setara.
Jika masyarakat di zona penyangga tidak dilibatkan dalam perencanaan dan pengelolaan ruang, maka mereka akan merasa terpinggirkan. Padahal, mereka adalah pihak yang paling terdampak dan paling berpotensi menjadi mitra konservasi. Ketika ruang hidup mereka dibatasi tanpa solusi, maka resistensi sosial akan muncul.
Dalam konteks ini, penting untuk merancang zona penyangga sebagai ruang transisi yang memiliki fungsi ekologis dan sosial yang seimbang.
Misalnya, dengan menetapkan blok-blok agroforestri pakan gajah di titik-titik strategis, serta menetapkan zona ekonomi produktif yang berbasis komoditas tahan gajah.
Pendekatan ini memungkinkan masyarakat tetap produktif secara ekonomi, sekaligus berkontribusi pada stabilitas ekologis kawasan konservasi.
Kesimpulan:
Keputusan konservasi harus memperkuat kapasitas zona penyangga melalui skema tata guna lahan yang adaptif, insentif ekonomi, dan partisipasi aktif masyarakat. Tanpa itu, zona penyangga akan menjadi titik rawan konflik baru.
Jalur Peusangan: Koridor atau Jalur Konflik?
Sungai Peusangan sebagai jalur migrasi gajah adalah elemen penting dalam struktur ekologis lanskap. Namun, koridor satwa tidak bisa hanya ditentukan secara biologis. Ia harus dirancang dengan mempertimbangkan dinamika sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat yang tinggal di sekitarnya.
Jika masyarakat hanya diminta “menghindari tanaman yang disukai gajah” tanpa diberikan alternatif yang layak, maka koridor ini akan menjadi sumber ketegangan baru.
Perencanaan wilayah harus mampu menjawab pertanyaan: komoditas apa yang bisa ditanam, di mana, dan bagaimana skema insentifnya?
Selain itu, koridor satwa seperti Peusangan perlu dilengkapi dengan sistem pemantauan berbasis komunitas. Masyarakat lokal dapat dilatih untuk mengidentifikasi pergerakan gajah, melaporkan potensi konflik, dan menjaga vegetasi pakan di sepanjang jalur.
Dengan demikian, koridor tidak hanya menjadi jalur migrasi gajah, tetapi juga menjadi ruang kolaboratif antara manusia dan satwa liar yang dikelola secara aktif dan adaptif.
Kesimpulan:
Koridor satwa harus dirancang sebagai ruang multifungsi yang menggabungkan konservasi dan produksi. Keputusan tata ruang harus menjamin bahwa koridor tidak menjadi beban bagi masyarakat, tetapi menjadi peluang ekonomi dan ekologi yang saling menguatkan.
Agroforestri: Solusi Dual yang Harus Diperjuangkan
Agroforestri pakan gajah adalah pendekatan yang menjembatani kebutuhan ekologis dan ekonomi. Ia memungkinkan masyarakat menanam komoditas tahan gajah sambil menyediakan pakan di lokasi strategis. Ini adalah bentuk rekayasa lanskap yang cerdas dan berkeadilan.
Lebih dari itu, pendekatan ini membuka ruang bagi perencanaan berbasis data. Tim GIS dan habitat manajemen dapat memetakan zona rawan konflik, jalur migrasi, dan potensi lahan agroforestri. Tim biodiversity monitoring dapat mengevaluasi dampaknya terhadap populasi gajah dan keanekaragaman hayati.
Agroforestri juga dapat menjadi instrumen diplomasi ruang antara masyarakat dan pemerintah. Ketika masyarakat diberi ruang untuk berproduksi secara ekologis, maka konservasi tidak lagi menjadi ancaman, melainkan peluang. Ini adalah bentuk koeksistensi yang nyata, bukan sekadar jargon.
Kesimpulan:
Keputusan konservasi harus memasukkan agroforestri sebagai strategi utama dalam pengelolaan zona penyangga. Ini bukan hanya solusi teknis, tetapi pendekatan etis yang mengakui hak masyarakat atas ruang dan penghidupan.
Konservasi yang Membumi, Bukan Menggurui
Konservasi yang dibangun dari atas ke bawah sering kali gagal menyentuh akar persoalan. Masyarakat harus dilibatkan dalam desain ruang, pembangunan barrier biologis, dan identifikasi jalur gajah. Mereka bukan objek konservasi, tetapi subjek yang memiliki pengetahuan dan kepentingan.
Pendekatan partisipatif bukan sekadar formalitas. Ia harus menjadi prinsip utama dalam perencanaan wilayah. Ketika masyarakat merasa memiliki ruang dan peran, maka konservasi akan berjalan lebih efektif dan berkelanjutan.
Partisipasi masyarakat juga memperkuat legitimasi kebijakan konservasi. Ketika masyarakat terlibat dalam pengambilan keputusan, maka mereka akan lebih siap menjaga ruang yang telah mereka rancang bersama. Ini adalah fondasi dari konservasi yang membumi dan berkelanjutan.
Kesimpulan:
Keputusan konservasi harus berbasis pada proses partisipatif yang sejati. Tanpa keterlibatan masyarakat sejak tahap perencanaan, konservasi akan kehilangan legitimasi sosial dan efektivitas ekologisnya.
Keterlibatan WWF: Menyatukan Konservasi dan Perencanaan Wilayah
Upaya konservasi gajah di kawasan PT THL dan koridor Peusangan mendapat dukungan penting dari WWF Indonesia, yang kembali aktif bekerja sama dengan Kementerian Kehutanan sejak Februari 2025.
Penandatanganan Nota Kesepahaman antara WWF dan Kemenhut menandai babak baru dalam kolaborasi konservasi nasional, dengan fokus utama pada pengelolaan koridor gajah di Aceh.
WWF Indonesia menempatkan koridor Peusangan sebagai prioritas dalam strategi konservasi gajah sumatera. Melalui pendekatan “Berbagi Ruang”, WWF mendorong terciptanya lanskap yang memungkinkan manusia dan gajah hidup berdampingan secara harmonis.
Di kawasan THL, WWF diharapkan berperan dalam pemetaan jalur migrasi, identifikasi kantong habitat, dan pengembangan vegetasi pakan strategis. WWF juga diharapkan aktif membangun kapasitas masyarakat lokal melalui pelatihan pemantauan satwa, pengelolaan agroforestri, dan advokasi kebijakan tata ruang.
Kehadiran WWF akan memperkuat integrasi antara konservasi dan perencanaan wilayah. Dengan dukungan teknis dan jejaring global, WWF membantu memastikan bahwa konservasi gajah tidak hanya menjadi proyek ekologis, tetapi juga instrumen pembangunan wilayah yang inklusif.
WWF harus mampu berperan sebagai penghubung antara pemerintah, perusahaan, Universitas Gajah Putih, dan masyarakat lokal, mendorong terciptanya forum kolaboratif untuk merancang zonasi konservasi berbasis data dan keadilan ruang.
Kesimpulan:
Keterlibatan WWF Indonesia dalam konservasi gajah di Aceh, khususnya di lanskap THL dan koridor Peusangan, menunjukkan bahwa keberhasilan konservasi sangat bergantung pada sinergi lintas sektor.
Perencanaan wilayah yang melibatkan lembaga konservasi seperti WWF dapat memperkuat legitimasi sosial, efektivitas ekologis, dan keberlanjutan ekonomi dari program konservasi.
Penutup: Perencanaan Wilayah untuk Koeksistensi
Konservasi gajah di Aceh adalah ujian bagi kemampuan kita merancang ruang yang adil dan berkelanjutan. Dengan pendekatan agroforestri, penguatan zona penyangga, dan pengelolaan koridor satwa yang fungsional seperti di sepanjang Sungai Peusangan, kita memiliki peluang besar untuk membuktikan bahwa perlindungan satwa liar tidak harus mengorbankan hak dan kesejahteraan masyarakat.
Perencanaan wilayah menjadi kunci dalam menyatukan berbagai kepentingan ini. Ia bukan sekadar dokumen teknis, melainkan alat negosiasi ruang yang mampu menjembatani kebutuhan ekologis dan sosial.
Ketika konservasi dirancang dengan melibatkan masyarakat, didukung oleh data spasial, dan diperkuat oleh kolaborasi lintas sektor—seperti yang dilakukan bersama WWF Indonesia—maka kita tidak hanya menyelamatkan gajah, tetapi juga memperkuat fondasi pembangunan wilayah yang adil dan resilien.
Kini saatnya pemerintah, perusahaan, akademisi yang diwakili Universitas Gajah Putih, dan masyarakat tempatan duduk bersama dalam satu meja perencanaan.
Bukan untuk saling menyalahkan, tetapi untuk merancang masa depan bersama. Karena hanya dengan kolaborasi, bukan konfrontasi, kita bisa menciptakan lanskap yang memungkinkan manusia dan gajah hidup berdampingan—dalam damai, bukan dalam ketakutan.
Kesimpulan Umum:
Keputusan strategis dalam konservasi gajah harus didasarkan pada prinsip perencanaan wilayah yang inklusif, berbasis data, dan berorientasi pada keadilan ekologis. Koeksistensi bukan utopia—ia bisa dirancang, jika kita berani mendengarkan suara dari pinggir hutan dan menjadikannya bagian dari peta masa depan kita bersama. []

											




