Oleh Dr. Budiyono, S.Hut, M.Si. (Dosen Agroteknologi, Fakultas Pertanian Universitas Gajah Putih)
Di Balik Aroma, Ada Luka yang Tak Tercium
Kopi Gayo bukan sekadar minuman. Ia adalah warisan budaya, denyut ekonomi, dan identitas ekologis masyarakat dataran tinggi Aceh Tengah.
Di pasar global, kopi ini dielu-elukan karena cita rasanya yang khas dan sertifikasi yang mengkilap. Namun di balik aroma yang harum, ladang-ladang kopi menyimpan luka yang tak tercium oleh wacana keberlanjutan.
Program-program besar seperti Folur (Food Systems, Land Use and Restoration) datang membawa janji restorasi dan keberlanjutan. Tapi di lapangan, janji itu belum menyentuh tanah.
Petani tetap bergulat dengan penurunan produksi, hama yang tak terkendali, dan ketimpangan pendapatan yang semakin melebar. Keberlanjutan, dalam bentuknya yang paling nyata, belum hadir di ladang.
Ketimpangan yang Terstruktur
Dalam satu dekade terakhir, produksi kopi rakyat di Aceh Tengah turun drastis—hampir terjadi penurunan produksi mencapai 30-40% (BPS Aceh Tengah 2024). Penyebabnya kompleks: perubahan iklim, degradasi lahan, dan minimnya intervensi teknis dari pemerintah. Nl
Namun yang lebih menyakitkan adalah kenyataan bahwa petani tetap berada di posisi paling lemah dalam rantai pasok.
Sertifikasi seperti Indikasi Geografis, Fairtrade, dan Rainforest Alliance lebih banyak dinikmati oleh eksportir dan koperasi.
Petani kopi Aceh Tengah tidak memahami manfaatnya, dan umumnya menjual kopi dalam bentuk cherry (buah kopi segar) atau gabah (green bean basah), yang harganya jauh lebih rendah dibandingkan kopi yang sudah diproses dan diekspor sehingga margin pada tingkatan petani hanya sekitar 8–11% dari nilai ekspor:
Keberlanjutan yang dijanjikan hanya menyentuh label, bukan kehidupan petani.
Program Folur dan RPJMK: Wacana Tanpa Akar
Program Folur berbicara tentang lanskap dan restorasi, tetapi tidak menyentuh kebutuhan spesifik ekosistem kopi Gayo. Tidak ada skema konservasi varietas lokal, tidak ada pendampingan agroforestri, dan tidak ada perlindungan terhadap hutan lindung yang menopang ladang kopi.
Lebih ironis lagi, RPJMK Aceh Tengah tidak menjadikan kopi sebagai prioritas strategis. Padahal, sektor ini menopang lebih dari 80% pendapatan rumah tangga di dataran tinggi. Ketika kopi tidak disebut dalam perencanaan daerah, maka denyut ekonomi rakyat telah dihapus dari peta pembangunan.
Forum tanpa ladang adalah wacana kosong. Ladang tanpa forum adalah perjuangan sunyi.
Regulasi Global, Ancaman Nyata
Mulai 2025, Uni Eropa menerapkan European Union Deforestation Regulation (EUDR) yang mewajibkan sistem pelacakan geolokasi dan bukti bebas deforestasi. Eksportir besar mulai menyiapkan teknologi digital, tapi petani kecil bahkan tak punya peta lahannya sendiri.
Tanpa dukungan teknologi dan pendampingan, petani Gayo berisiko tereliminasi dari pasar dunia. Keberlanjutan berubah menjadi palu pemutus ekspor, bukan jembatan pemberdayaan.
Dunia menuntut transparansi, tapi petani bahkan tak punya alat untuk membuktikan asal-usul panennya.
Solusi: Menyatukan Forum dan Ladang
Perlindungan kopi Gayo harus dimulai dari pengakuan dalam RPJMK. Pemerintah daerah perlu menjadikan kopi sebagai prioritas strategis, bukan sekadar komoditas biasa. Universitas Gajah Putih dan Masyarakat Perlindungan Kopi Gayo memiliki kapasitas riset dan pendampingan yang harus dioptimalkan.
Koperasi harus direformasi agar benar-benar menjadi alat kolektif petani, bukan perpanjangan tangan pasar. Sertifikasi harus disederhanakan dan disubsidi untuk petani kecil. Sistem pelacakan geolokasi harus dirancang berbasis komunitas, mudah diakses, dan tidak membebani.
Keberlanjutan yang sejati adalah ketika petani menjadi subjek, bukan objek dari sistem.
Panggilan Moral dari Lereng Gayo
Kopi Gayo bukan hanya soal rasa. Ia adalah hak, sejarah, dan harapan. Jika pemerintah tetap abai, jika program keberlanjutan hanya menyentuh permukaan, dan jika sertifikasi terus menjadi alat eksklusif pasar, maka kita sedang menyaksikan pelan-pelan kematian sebuah warisan.
Saatnya forum dan ladang bersatu. Saatnya keberlanjutan menyentuh tanah. Sebab jika aroma kopi Gayo hilang, yang lenyap bukan hanya rasa—tetapi juga martabat masyarakat yang menanamnya.
Mudah-mudahan untuk tulisan selanjutnya membedah RPJMK 2025-2029, yang tidak menyentuh terkait perlindungan kopi. []






