Oleh : Hammaddin Aman Fatih*
Miris hati kita mendengar berita beberapa hari belakangan ini, ‘orang tua siswa melaporkan kepala sekolah kepolisi dengan alasan tidak menerima perlakuan kasar kepala sekolah terhadap anaknya.”.
Semua orang bilang “mendidik itu harus tanpa menyakitkan.” Terdengar indah, tapi kadang tak sesederhana itu dilapangan. Katanya lagi, beginilah pendidikan di Indonesia sekarang ini, yang tidak lagi mengutamakan pendidikan karakter dan penyampaian ilmu.
Sekarang cenderung dibuat seperti permainan, yang penting peserta didik merasa senang dan tidak timbul gejolak. Nilai pasti bagus, pasti naik, dan pasti lulus. Tidak boleh ada hukuman untuk siswa.
Jadi sekolah sekarang sebagai tempat bermain, bukan tempat menuntut ilmu lagi seperti dulu. Guru tidak lagi berani mendisiplinkan perserta didiknya karena takut dengan tuntutan orang tua.
Ketika tangan guru menampar, dunia langsung berteriak marah. Ketika peserta didik menampar nilai, sopan santun, dan etika, kita diam seribu bahasa. Kadang yang paling meyakitkan guru bukan lelahnya mengajar, tapi disalahkan oleh mereka yang seharus berjalan bersama.
Guru zaman dulu mengajar metode ceramah. Anak-anak cepat paham. Sekarang sudah ada banyak teori mengajar, dukungan media ajar, bermacam-macam strategi, ice breaking sampai jungkir balik guru menjelaskan berkali-kali, masih sangat susah dipahami oleh peserta didik kita, ada apa dengan ini ?
Zaman terus berubah, begitu pula wajah dunia pendidikan. Namun, di tengah perubahan itu, sosok guru tetap menjadi pilar utama dalam membangun bangsa. Meski demikian, peran dan tantangan guru dulu dan sekarang sangat berbeda.
Guru dulu dikenal sebagai figur yang dihormati. Dalam pandangan masyarakat, kata-kata guru bagaikan “sabda” yang tak terbantahkan. Mereka mengajar bukan hanya dengan buku, tapi juga dengan keteladanan, kesabaran, dan pengabdian.
Dengan fasilitas terbatas, guru dulu tetap berjuang mencerdaskan anak bangsa. Mereka berjalan kaki menembus sawah dan kebun, mengajar dengan papan tulis kecil, bahkan menulis di tanah demi menyampaikan ilmu. Meski hidup sederhana, mereka dihormati karena ketulusannya dan kedalaman moral yang dimiliki.
Guru masa kini hidup di era digital yang serba cepat. Tugasnya tidak hanya mengajar, tetapi juga menyesuaikan diri dengan teknologi, administrasi, serta tuntutan kurikulum yang terus berubah-ubah.
Guru kini dituntut menjadi fasilitator, inovator, sekaligus motivator. Mereka harus mampu menguasai perangkat digital, membuat media pembelajaran interaktif, dan menanamkan karakter di tengah gempuran media sosial yang kadang justru melemahkan nilai-nilai moral.
Sayangnya, di tengah profesionalisme yang dituntut, rasa hormat masyarakat terhadap guru mulai menurun. Peserta didik dan orang tua kini lebih kritis, kadang bahkan kurang menghargai perjuangan guru. Padahal, tekanan kerja guru masa kini jauh lebih kompleks.
Era Artificial Intelligence (AI) atau kecerdasan buatan saat ini, kita butuhkan sekarang adalah pemulihan kembali martabat guru dengan menghargai mereka sebagai pendidik, bukan sekadar pegawai. Selain itu, sistem pendidikan perlu memberi ruang bagi guru untuk benar-benar berfokus pada pembelajaran, bukan dibebani administrasi semata.
Banyak guru kita masih bekerja dengan dedikasi tinggi, tapi,beban administrasi sering kali menyita waktu mereka lebih banyak daripada waktu mengajar dan membimbing siswa.
Kesejahteraan tidak merata, guru honorer masih banyak yang digaji jauh di bawah standar layak. Dukungan pelatihan dan pengembangan profesional masih kurang; banyak guru tidak diberi kesempatan meningkatkan kompetensi sesuai perkembangan zaman.
Akibat hal tersebut diatas berdampak pada motivasi dan semangat mengajar bisa menurun, bukan karena kurang cinta profesi, tapi karena sistemnya belum berpihak sepenuhnya pada mereka.
Belum lagi kita bercerita tentang sistem pendidikan sering berganti arah. Lihat pergantian kurikulum yang terlalu sering membuat guru dan siswa kebingungan beradaptasi. Cenderung fokus masih terlalu besar pada ujian dan nilai, bukan pada kemampuan berpikir kritis, empati, dan kreativitas.
Di banyak tempat, akses dan kualitas belum seimbang sekolah di kota besar berbeda jauh dengan sekolah di daerah terpencil yang mungkin masih bersemboyan “masih mau datang peserta didik aja kesekolah sudah sebuah prestasi luar biasa”. Ditambah lagi dunia kerja berubah cepat, tapi pendidikan kita belum cukup lincah menyesuaikan kebutuhan keterampilan masa depan.
Sekarang ini pendidikan kita harus berhadapan dengan Teknologi dan Artificial Intelligence (AI) atau kecerdasan buata yang mengubah cara belajar. Informasi berlimpah, tapi kemampuan menyaring dan memahami masih rendah.
Otomatis mau tak mau peran guru berubah, bukan lagi “sumber pengetahuan utama”, tapi pembimbing dan inspirator belajar.
Namun, tidak semua guru mendapat pelatihan atau dukungan untuk transformasi digital ini.
Mungkin semua kita berharap agar guru mau keluar dari zone nyaman adalah dengan memberdayakan guru, yaitu member gaji yang layak, pelatihan rutin, dan beban administratif yang harus dikurangi.
Fokus pada pembelajaran bermakna, bukan sekadar capaian akademik. Libatkan komunitas dan orang tua, pendidikan bukan tanggung jawab sekolah semata.
Kita gunakan teknologi dengan bijak, bantu guru, bukan menggantikannya dan kebijakan yang berkelanjutan bukan reaktif terhadap perubahan politik.
Akhirnya guru bukan hanya pengajar, tapi pembentuk peradaban. Jika kita ingin pendidikan maju, maka kesejahteraan dan martabat guru harus menjadi fondasinya.
Guru dulu mengajar dengan hati meski serba terbatas, guru sekarang mengajar dengan ilmu di tengah derasnya perubahan. Dua-duanya pejuang pendidikan yang harus terus kita hargai.”
Takengon, 19 Oktober 2025
*Penulis adalah antropolog, penulis buku People of the Coffee dan Opini Cekgu.