Refleksi Keimanan dari Surah Al-Kahfi Ayat 39: Kesadaran Bahwa Semua Milik Allah

oleh

Penulis: Irham, SS, (Penghulu Muda/Kepala KUA Kecamatan Celala)

وَلَوْلَآ اِذْ دَخَلْتَ جَنَّتَكَ قُلْتَ مَا شَاۤءَ اللّٰهُ ۙ لَا قُوَّةَ اِلَّا بِاللّٰهِ ۚاِنْ تَرَنِ اَنَا۠ اَقَلَّ مِنْكَ مَالًا وَّوَلَدًاۚ

“Dan mengapa kamu tidak mengatakan ketika kamu memasuki kebunmu:

Mā syā’a Allāh, lā quwwata illā billāh (Sungguh atas kehendak Allah semua ini terwujud, tidak ada kekuatan kecuali dengan pertolongan-Nya).”

(QS. Al-Kahfi: 39)

1. Dua Pemilik Kebun dan Ujian Keimanan

Ayat ini merupakan bagian dari kisah dua orang pemilik kebun dalam Surah Al-Kahfi. Seorang di antaranya memiliki dua kebun yang subur, dialiri sungai, dan menghasilkan panen berlimpah.

Namun, kekayaan membuatnya lupa bahwa semua nikmat itu berasal dari Allah. Ia merasa usahanya sendiri yang menentukan keberhasilan, sementara sahabatnya yang beriman menasihatinya dengan lembut:

“Mengapa ketika engkau memasuki kebunmu engkau tidak mengatakan: Mā syā’a Allāh, lā quwwata illā billāh.”

Menurut Tafsir Ibn Katsīr, ayat ini mengajarkan agar seseorang tidak sombong terhadap nikmat dunia. Kalimat tersebut adalah bentuk penyerahan diri dan pengakuan bahwa semua terjadi karena kehendak Allah, bukan karena kekuatan manusia semata (Ibn Katsīr, Tafsīr al-Qur’ān al-‘Azhīm, Juz 5, hlm. 157).

2. Makna Ilmiah dan Spiritual Kalimat “Mā syā’a Allāh, lā quwwata illā billāh”

Secara bahasa, kalimat ini bermakna: “Apa yang Allah kehendaki, pasti terjadi; tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan-Nya.” Ungkapan ini merupakan bentuk dzikir syukur dan pengakuan tauhid.

Dalam Tafsir Al-Muyassar dijelaskan bahwa ayat ini mengandung pelajaran agar manusia selalu menisbatkan nikmat kepada Allah dan tidak lupa mengucapkan kalimat ini ketika mendapatkan keberhasilan (Tafsir Al-Muyassar, Kementerian Agama Saudi Arabia).

Rasulullah SAW juga mengajarkan pentingnya mengucapkan kalimat ini. Beliau bersabda:

“Barang siapa melihat sesuatu yang menakjubkan dari dirinya atau hartanya, lalu mengucapkan: Mā syā’a Allāh, lā quwwata illā billāh, maka ia tidak akan tertimpa keburukan atasnya.” (HR. Al-Hākim, al-Mustadrak no. 3288; dinilai hasan oleh Al-Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah no. 2019)

Kalimat ini bukan sekadar ungkapan, tetapi tameng hati dari kesombongan dan pengingat bahwa manusia hanyalah pengelola, bukan pemilik sejati nikmat.

3. Pelajaran dari Kebun Kopi di Tanoh Gayo

Bagi masyarakat Tanoh Gayo, kebun kopi adalah sumber kehidupan dan kebanggaan. Di tanah tinggi yang sejuk, para petani menanam, memangkas, menjemur, dan menanti hasil panen dengan penuh harap.

Mereka memahami bahwa meski telah berusaha sekuat tenaga, hasil akhir tetap di tangan Allah. Kadang hujan tak turun, hama menyerang, atau harga kopi menurun, di situlah makna ayat ini terasa nyata. Kerja keras harus selalu disertai doa dan tawakkal.

Dalam setiap langkah di kebun, para petani menyadari bahwa hasil bukanlah semata buah dari kerja tangan, tetapi anugerah dari Tuhan yang Maha Berkehendak.

Walau mungkin tidak selalu terucap, kesadaran itu hadir dalam hati setiap kali mereka menatap langit dan melihat biji kopi yang mulai ranum. Dalam diam, seolah hati mereka berbisik,

“Mā syā’a Allāh, lā quwwata illā billāh.”

Ini adalah wujud iman yang hidup di ladang-ladang kehidupan. Iman yang tidak hanya diucapkan, tetapi dirasakan dalam denyut kerja, sabar, dan syukur.

4. Refleksi Keimanan: Menjaga Hati di Tengah Nikmat

Sebagian orang mampu bersabar dalam ujian, tetapi gagal bersyukur ketika diberi nikmat. Padahal, menurut Rasulullah SAW:

“Sungguh menakjubkan perkara seorang mukmin, karena seluruh perkaranya baik baginya; jika ia mendapat kesenangan, ia bersyukur, maka itu baik baginya; dan jika ia tertimpa kesulitan, ia bersabar, maka itu juga baik baginya.” (HR. Muslim no. 2999)

Ayat ini melatih disiplin hati agar tidak tergelincir dalam kesombongan. Kalimat

“Mā syā’a Allāh, lā quwwata illā billāh” menjadi pagar batin agar manusia selalu mengingat: segala nikmat adalah amanah, bukan milik mutlak.

5. Penutup: Menanam Syukur, Memanen Berkah

Surah Al-Kahfi ayat 39 bukan sekadar kisah dua pemilik kebun di masa lalu, tetapi cermin bagi setiap insan yang tengah menikmati hasil usahanya hari ini. Setiap rumah, ladang, usaha, jabatan, atau karya adalah “kebun” yang kita rawat, tempat di mana Allah menumbuhkan nikmat dan menguji keimanan.

Semoga kita menjadi hamba yang menanam syukur, menyiramnya dengan tawakkal, dan memanen keberkahan dari setiap amal. Dan semoga setiap keberhasilan yang kita raih selalu diiringi kalimat agung:

“Mā syā’a Allāh, lā quwwata illā billāh.”

Karena hanya dengan kehendak dan pertolongan-Nya, semua menjadi mungkin.

Daftar Rujukan:

  1. Al-Qur’an, Surah Al-Kahfi ayat 39
  2. Ibn Katsīr, Tafsīr al-Qur’ān al-‘Azhīm, Juz 5, hlm. 157
  3. Tafsir Al-Muyassar, Kementerian Agama Saudi Arabia
  4. Al-Hākim, al-Mustadrak, No. 3288 — dinilai hasan oleh Al-Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah no. 2019
  5. Muslim, Shahih Muslim, No. 2999

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.