Catatan Mahbub Fauzie*
Dalam shalat, setelah takbiratul ihram, seorang hamba membaca doa iftitah. Doa yang penuh ketenangan itu bukan sekadar formalitas, melainkan pengantar untuk menata hati sebelum memuji dan menyembah Allah.
Demikian pula dalam rumah tangga, setelah akad diikrarkan dan cinta disatukan, langkah selanjutnya adalah menata hati dan meluruskan niat.
Tanpa niat yang lurus, rumah tangga hanya akan menjadi wadah bagi kepentingan diri, bukan jalan menuju ridha Ilahi.
Doa iftitah yang paling dikenal berbunyi: “Allāhu akbaru kabīrā, walhamdulillāhi katsīrā, wa subhānallāhi bukratan wa ashīlā.”
“Allah Maha Besar dengan sebesar-besarnya, segala puji bagi Allah sebanyak-banyaknya, dan Maha Suci Allah di waktu pagi dan petang.”
Makna yang terkandung dalam doa ini adalah penyucian niat: mengakui kebesaran Allah, memuji-Nya dengan sepenuh hati, dan mensucikan-Nya dari segala sifat kekurangan.
Begitulah seharusnya pasangan suami istri memulai hari-hari pernikahan mereka: dengan hati yang memuliakan Allah, saling memuji dalam kebaikan, dan membersihkan cinta dari penyakit duniawi seperti riya, gengsi, dan keangkuhan.
𝗠𝗲𝗹𝘂𝗿𝘂𝘀𝗸𝗮𝗻 𝗡𝗶𝗮𝘁, 𝗗𝗮𝗿𝗶 𝗖𝗶𝗻𝘁𝗮 𝗠𝗲𝗻𝘂𝗷𝘂 𝗜𝗯𝗮𝗱𝗮𝗵
Niat adalah dasar dari setiap amal. Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya segala amal tergantung pada niatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Rumah tangga pun demikian. Ia akan menjadi ibadah jika diniatkan untuk mencari ridha Allah, bukan sekadar memenuhi keinginan duniawi.
Seorang suami yang menafkahi keluarganya karena Allah akan mendapat pahala meski hanya sepotong roti yang diberikan. Seorang istri yang melayani suaminya dengan niat ibadah akan mendapat ganjaran seperti mujahidah di jalan Allah.
Namun, niat bisa berubah. Dari ikhlas menjadi pamrih, dari ibadah menjadi perhitungan. Oleh sebab itu, doa iftitah mengajarkan agar setiap awal langkah disertai kesadaran bahwa semua ini semata untuk Allah, bukan untuk ego, gengsi, atau tuntutan sosial.
𝗠𝗲𝗻𝗮𝘁𝗮 𝗛𝗮𝘁𝗶, 𝗠𝗲𝗻𝘆𝘂𝗰𝗶𝗸𝗮𝗻 𝗖𝗶𝗻𝘁𝗮 𝗱𝗮𝗿𝗶 𝗞𝗲𝗸𝗲𝗿𝘂𝗵𝗮𝗻 𝗗𝘂𝗻𝗶𝗮
Dalam doa iftitah terdapat ungkapan “Subhānallāhi bukratan wa ashīlā” yang maksudnya pensucian kepada Allah di pagi dan petang. Maknanya, kesucian hati harus dijaga sepanjang waktu.
Rumah tangga yang bahagia bukanlah rumah yang tanpa masalah, tapi rumah yang penghuninya senantiasa membersihkan hatinya setiap kali hari berganti. Membersihkan hati berarti menyingkirkan prasangka buruk, menahan amarah, dan memaafkan kesalahan pasangan sebelum tidur.
Dalam setiap pertengkaran, pasangan yang “berhati iftitah” akan lebih memilih berdamai, karena ia tahu bahwa keberkahan tidak tumbuh dalam hati yang kotor.
Al-Ghazali berkata dalam Ihya’ Ulumuddin: “Hati adalah cermin tempat memantulkan cahaya Allah. Bila cermin itu buram oleh dosa dan amarah, maka cahayanya akan padam.”
Demikian pula cinta. Jika hati tidak disucikan, maka cahaya kasih akan redup, berganti dengan keluh kesah dan kebosanan.
𝗥𝘂𝗺𝗮𝗵 𝗧𝗮𝗻𝗴𝗴𝗮 𝘀𝗲𝗯𝗮𝗴𝗮𝗶 𝗠𝗶𝗵𝗿𝗮𝗯 𝗖𝗶𝗻𝘁𝗮
Iftitah adalah awal kekhusyukan. Dalam rumah tangga, kekhusyukan itu tercermin pada keseriusan membangun kedamaian. Rumah bukan sekadar tempat bernaung, melainkan mihrab cinta, ruang suci untuk mengabdi bersama.
Ketika suami memimpin dengan lembut, dan istri menaati dengan penuh cinta, maka keduanya sedang melaksanakan ibadah yang sama, meski dalam peran yang berbeda.
Rasulullah SAaw bersabda: “Dunia adalah perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah istri yang shalihah.” (HR. Muslim)
Rumah tangga yang berorientasi ibadah tidak sibuk mencari siapa yang benar, tapi siapa yang lebih dulu mengalah demi kebenaran. Mereka tidak sibuk menuntut hak, tapi bersegera menunaikan kewajiban dengan cinta.
𝗜𝗳𝘁𝗶𝘁𝗮𝗵 𝘀𝗲𝗯𝗮𝗴𝗮𝗶 𝗡𝗮𝗳𝗮𝘀 𝗛𝗮𝗿𝗶𝗮𝗻 𝗱𝗮𝗻 𝗖𝗶𝗻𝘁𝗮 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝗧𝘂𝗹𝘂𝘀
Doa iftitah bukan hanya dibaca sekali, tapi diulang dalam setiap shalat, setiap hari, setiap waktu. Ini menjadi isyarat bahwa menata hati dan meluruskan niat tidak cukup sekali, tetapi harus terus-menerus dilakukan dalam kehidupan rumah tangga.
Setiap kali muncul rasa lelah, kecewa, atau jenuh, pasangan suami istri seharusnya mengulang “doa iftitah” mereka dalam hati:
“Allahu Akbar Kabira…” Allah lebih besar dari masalah ini. “Walhamdulillahi Katsira…” Masih banyak nikmat untuk disyukuri. “Wasubhanallahi Bukratan wa Asila…” Sucikan cinta ini dari prasangka dan amarah.
Dengan cara itulah rumah tangga menjadi madrasah sabar dan syukur, dua sayap yang akan mengantarkan ke surga.
Setiap shalat yang dimulai dengan iftitah akan terasa lebih khusyuk. Setiap rumah tangga yang dimulai dengan hati yang bersih akan terasa lebih ringan. Iftitah adalah simbol bahwa cinta harus disertai penyucian hati dan pembaruan niat.
Rumah tangga tanpa niat yang lurus ibarat shalat tanpa khusyuk, sah tapi hampa. Karena itu, setiap pasangan perlu menata hati mereka setiap hari, agar cinta yang tumbuh tidak hanya bertahan, tapi juga mengantarkan keduanya kepada ridha Allah.
“Ya Allah, jadikanlah rumah kami tempat sujud dan ibadah. Jadikanlah cinta kami seperti doa iftitah. Selalu baru, selalu suci, dan selalu tertuju kepada-Mu.”[]
*Penghulu Ahli Madya KUA Kec. Atu Lintang, Aceh Tengah, Ahad, 12 Oktober 2025