Oleh : Joni Suryawan*
Rencana Kementerian Keuangan memotong Dana Bagi Hasil (DBH) dengan alasan lemahnya serapan anggaran di daerah sedang ramai dibahas.
Di media sosial, sebagian opini bahkan menyalahkan para gubernur, bupati, dan wali kota seolah mereka duduk santai di atas uang rakyat tanpa mau bekerja. Padahal, kebenarannya jauh lebih rumit dari sekadar narasi “kepala daerah malas.”
Lambatnya pembangunan di daerah bukan karena kurang anggaran, melainkan karena struktur belanja dan sistem birokrasi yang tidak efisien. Uang negara itu besar, tetapi sebagian besar “terkunci” di belanja aparatur: gaji, tunjangan, perjalanan dinas, dan rapat. Belanja untuk rakyat, jalan, irigasi, pasar, sekolah, rumah sakit, justru kecil porsinya.
Yang lebih ironis, setiap tahun APBD disahkan lengkap dengan daftar kegiatan dan program, namun serapan anggarannya sering mandek di bawah 80 persen.
Artinya, uang itu tidak berputar di ekonomi rakyat, melainkan mengendap di kas daerah. Bila kinerja dinas lemah, mestinya bukan anggarannya yang dipotong, tetapi pejabatnya yang dievaluasi.
Namun di sinilah jebakan sistemnya. Kepala daerah yang bertanggung jawab penuh atas serapan anggaran justru tidak punya kewenangan penuh atas pejabat pelaksana. Regulasi kepegawaian nasional membatasi ruang gerak mereka.
Berdasarkan Pasal 116 PP Nomor 11 Tahun 2017, seorang kepala dinas yang baru dilantik tidak boleh diganti sebelum dua tahun menjabat, kecuali dengan izin tertulis dari KASN atau Mendagri, proses yang bisa memakan waktu berbulan-bulan.
Akibatnya, pejabat yang lamban, tidak kreatif, bahkan sengaja menahan DPA, tetap aman di kursinya. Kepala daerah tahu siapa yang menghambat, tapi tak bisa mengganti karena tangannya diikat aturan. Inilah paradoks birokrasi kita: pusat menuntut hasil, tapi di sisi lain membatasi alat kerja daerah.
Daerah menjadi seperti kapal besar yang lamban: bahan bakarnya banyak, tapi nakhodanya tak bisa memutar kemudi karena kendalinya dipegang pusat. Aparatur gemuk, kewenangan kepala daerah sempit, dan serapan belanja publik jadi loyo.
Aturan itu lahir dengan niat baik, menjaga netralitas ASN dari intervensi politik, tetapi efek sampingnya adalah zona nyaman birokrasi.
Pejabat cukup hadir, tidak perlu berprestasi, karena aman dilindungi hukum. Kepala daerah menanggung citra gagal, padahal mesin di bawahnya mogok akibat aturan yang tidak fleksibel.
Jika pemerintah pusat ingin mempercepat pembangunan dan memperbaiki serapan, jawabannya bukan memotong DBH, tetapi membenahi sistem manajemen ASN.
Kepala daerah harus diberi ruang untuk mengganti pejabat yang tidak perform, tentu dengan mekanisme yang transparan dan berbasis kinerja.
Solusi yang rasional adalah menerapkan kontrak kinerja antara kepala daerah dan kepala dinas. Bila target tak tercapai, pejabat bisa diganti dengan dasar objektif, bukan politik. Dengan begitu, setiap posisi jabatan menjadi aman hanya bila kinerjanya nyata.
Sederhananya begini:
Kalau tanggung jawab ada di kepala daerah, maka kendali pun harus di tangan kepala daerah.
Tanpa reformasi struktural ini, memotong DBH hanya akan menyiksa rakyat dua kali: uangnya berkurang, sementara birokrasinya tetap gemuk. Pembangunan akan terus jalan di tempat, dan ekonomi lokal akan tetap lesu.
Sudah saatnya pusat berhenti menyalahkan daerah, lalu mulai memperbaiki sistem yang membuat kemudi pembangunan terkunci di meja birokrat.
*Joni Suryawan adalah mantan kombatan Linge dengan sandi Raja Muda