Oleh: Ahmad Syafiq Sidqi*
Generasi Z sering disebut sebagai generasi paling cerdas, kreatif, dan kritis. Mereka lahir di era informasi terbuka, memiliki akses luas terhadap teknologi, dan menjadi tumpuan masa depan bangsa.
Namun, di balik potensi besar itu, ada ironi yang semakin mencolok: banyak anak muda, baik dari generasi milenial maupun Gen Z, justru terjebak dalam gaya hidup konsumtif dan lilitan utang, terutama dari pinjaman online dan investasi bodong.
Fenomena ini bukan sekadar soal ekonomi, tapi soal cara pandang hidup. Banyak dari mereka memiliki kebutuhan dan keinginan yang tidak sebanding dengan kemampuan finansial.
Penghasilan bulanan sering kali tidak cukup menutupi gaya hidup yang penuh tuntutan sosial dan gengsi. Maka, demi memenuhi keinginan sesaat atau “tampil keren” di media sosial, sebagian memilih jalan pintas: berutang.
Menurut Fortune IDN Indonesia Millennial and Gen Z Report 2025, generasi muda Indonesia kini semakin sulit mencapai keamanan finansial di tengah meningkatnya biaya hidup dan stagnasi upah.
Pertumbuhan inflasi yang melampaui pertumbuhan pendapatan membuat banyak anak muda kesulitan memenuhi kebutuhan dasar, apalagi untuk menabung atau berinvestasi.
Budaya Instan dan Tekanan Sosial Media
Salah satu faktor yang paling kuat adalah pengaruh budaya digital. Media sosial seperti TikTok, Instagram, dan marketplace online menampilkan gaya hidup glamor yang tampak mudah dijangkau. Hanya dengan beberapa klik, seseorang bisa membeli produk mewah, memesan makanan mahal, atau mengikuti tren terbaru.
Namun, di balik itu semua, ada jebakan halus: budaya instan yang menumpulkan kesadaran finansial. Generasi muda terbiasa mendapatkan kepuasan segera — sehingga menabung, menahan diri, dan berpikir jangka panjang menjadi hal yang terasa “kuno”.
Selain itu, faktor lingkungan juga memainkan peran penting. Tekanan sosial dari teman, rekan kerja, bahkan keluarga, sering membuat seseorang merasa harus “ikut-ikutan” tampil mewah. Padahal, kondisi finansial setiap orang jelas berbeda. Keinginan untuk diterima dan diakui di lingkungan sosial membuat banyak anak muda mengorbankan kestabilan finansial demi pencitraan semu.
Kurangnya Literasi Keuangan
Faktor lain yang tak kalah penting adalah rendahnya literasi keuangan. Banyak generasi milenial dan Gen Z yang tidak memahami dasar-dasar pengelolaan uang: bagaimana membuat anggaran, menabung secara disiplin, atau berinvestasi dengan benar.
Akibatnya, mereka mudah tergiur oleh janji-janji manis investasi cepat untung, atau terjebak pada pinjol yang menawarkan dana instan hanya dengan modal KTP.
Padahal, literasi keuangan bukan sekadar soal menghitung uang, tapi soal membentuk karakter dan disiplin dalam mengelola diri.
Hidup Sederhana Bukan Berarti Ketinggalan Zaman
Gaya hidup mewah memang tampak menarik di era digital. Namun, yang perlu disadari adalah bahwa kebahagiaan sejati tidak datang dari barang mahal atau citra glamor di media sosial. Hidup sederhana bukan berarti miskin — justru menunjukkan kedewasaan dalam berpikir dan bijak dalam bertindak.
Generasi muda harus mulai belajar menahan diri, mengatur keuangan, dan tidak mudah tergoda oleh tren semu. Jika pendapatan terbatas, maka gaya hidup pun harus disesuaikan. Tidak perlu memaksakan diri tampil “wah” jika itu berarti menjerat diri dalam utang.
Kini saatnya Gen Z dan milenial membuktikan kecerdasannya bukan hanya lewat kreativitas digital, tapi juga lewat kemampuan mengelola hidup dengan bijak. Karena masa depan tidak ditentukan oleh seberapa mahal barang yang kita pakai, tapi seberapa cerdas kita menjaga keseimbangan antara keinginan dan kemampuan.
*Mahasiswa Prodi Komunikasi dan Penyiaran Islam, Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, asal Jagong Jeget, Aceh Tengah