Efektifkah Enam Hari Belajar Siswa Kita?

oleh

Oleh : Hammaddin Aman Fatih*

Ilmu itu ditanam di sekolah, tapi disiram dan di pupuk dirumah, karena anak tumbuh dari keduanya. Anak bukan hanya hasil pelajaran dari guru, tapi juga cerminaan dari sikap orang tuanya. Pendidikan terbaik bukan hanya di kelas. Tapi di ruang makan, diperjalanan, dipelukan hangat, dan dalam sabar orang tua.

Sinyalemen diatas menggambarkan bahwa peranan keluarga sangat dominan mempengaruhi membentuk karakter anak-anak kita. Dari sikap dan prilaku anak kita bisa mengetahui cerminan bagaiman kehidupan keluarganya.

Keluarga adalah sekolah pertama dan utama bagi anak. Sebelum mengenal guru dan lingkungan sekolah, anak lebih dulu belajar dari rumah, bagaimana berbicara, bersikap, hingga memahami nilai-nilai dasar kehidupan.

Karakter seorang anak sering kali mencerminkan pola asuh, teladan, dan suasana yang ia temui dalam keluarganya. Jika keluarga menanamkan kejujuran, tanggung jawab, dan kasih sayang sejak dini, maka nilai itu akan terbawa anak ke sekolah dan lingkungannya. Sebaliknya, jika keluarga lalai, maka anak mudah kehilangan arah meskipun mendapat pendidikan formal yang baik.

Oleh karena itu, peran keluarga tidak tergantikan. Pendidikan karakter harus dimulai dari meja makan, ruang tamu, dan interaksi sederhana sehari-hari, sebelum dilanjutkan dan diperkuat oleh sekolah serta masyarakat.

Timbul sebuah pertanyaan, mengapa dinegeri kita ini lebih kurang ± 6 jam perhari selama enam hari anak kita beraktivitas di lingkungan sekolah ? Kita lihat negara Finlandia terkenal dengan sistem pendidikan terbaik di dunia. Padahal, siswa di negara tersebut hanya bersekolah selama 20 jam per minggu.

Selain dikenal dengan tidak adanya Ujian Nasional (UN) dan pekerjaan rumah (PR), Finlandia juga punya perbedaan jam belajar dibandingkan negara lain. Jika di Indonesia pembelajaran mulai pukul 07.00, di sana bisa lebih siang yakni pukul 09.00.

Bahkan, dalam skor Program for International Student Assessment (PISA) negara ini selalu unggul dalam hal membaca, matematika, dan sains. Lantas mengapa jam belajar di Finlandia lebih pendek tetapi siswanya cerdas? Kita masuk jam 08.00 Wib, pulang 14.30 Wib selama 6 hari (senin sampai sabtu). Hasilnya ?????? Belum lagi kurikulum kita sering bongkar pasang, yang katanya ikut mengikuti menyesuaikan dengan tuntutan perkembangan global.

Dalam beberapa riset penelitian nmengenai pendidikan, menggambarkan bahwa efektivitas belajar siswa di sekolah sangat dipengaruhi oleh hari dan juga waktu dalam sehari.

Awal Minggu (Senin s/d Rabu), menggambarkan umumnya siswa masih dalam kondisi segar setelah beristirahat di akhir pecan dan motivasi belajar cenderung lebih tinggi, serta konsentrasi lebih baik, sehingga materi yang berat (seperti Matematika, IPA) lebih efektif diberikan di hari-hari ini.

Pertengahan akhir minggu (Kamis s/d Jumat) kondisi energi siswa mulai menurun karena sudah banyak aktivitas, dan lebih cocok untuk pelajaran yang menekankan kreativitas, praktik, atau diskusi kelompok, serta sangat cocok juga untuk evaluasi dan review materi.

Hari Sabtu (jika ada sekolah), biasanya siswa sudah menantikan akhir pekan, sehingga fokus menurun dan sebaiknya diisi dengan kegiatan yang ringan, menyenangkan, atau berbasis proyek.

Bisa disimpulkan bahwa hari yang paling efektif untuk belajar di sekolah adalah Senin sampai Rabu, khususnya di pagi hari (sekitar jam 08.00 – 11.00), karena konsentrasi siswa masih tinggi.

Jumlah hari efektif belajar anak di sekolah bukan hanya soal angka dalam kalender, tetapi soal kualitas pembelajaran yang benar-benar mereka peroleh. Umumnya, pemerintah menetapkan sekitar 200–220 hari belajar efektif dalam setahun. Namun, pertanyaan pentingnya adalah : apakah seluruh hari itu benar-benar efektif untuk anak kita? Apakah sudah mempertimbangkan, sosial, budaya, dan ekononi, serta faktor geografis daerahnya.

Ada yang mengatakan bahwa ; efektivitas belajar tidak ditentukan semata oleh lama hari sekolah, melainkan oleh suasana belajar yang kondusif, metode pembelajaran yang menyenangkan, serta keseimbangan antara akademik dan nonakademik. Jika terlalu banyak hari, anak bisa mengalami kejenuhan. Sebaliknya, jika terlalu sedikit, materi pelajaran bisa menumpuk dan tidak tercapai target pembelajaran.

Idealnya, anak memiliki waktu belajar di sekolah sekitar 5 hari dalam seminggu dengan keseimbangan antara teori, praktik, dan aktivitas pengembangan diri. Di luar itu, anak juga perlu ruang untuk istirahat, bermain, dan mengembangkan minat pribadi. Dengan pola seperti ini, hari-hari belajar yang dijalani akan lebih bermakna dan benar-benar efektif. Malahan seorang pakar pendidikan yang mengatakan ; “seorang anak butuh waktu full 2×24 jam ( 2 hari ) beraktifitas dengan lingkungan keluarganya.

Sekolah memang tempat utama bagi siswa untuk memperoleh ilmu pengetahuan dan keterampilan dasar, namun dunia luar sekolah tidak kalah pentingnya. Justru di luar kelaslah anak belajar kehidupan nyata. Bagaimana bersosialisasi, menghadapi tantangan, memecahkan masalah, dan memahami keberagaman masyarakat.

Lingkungan luar sekolah, mulai dari keluarga, masyarakat, alam, hingga kegiatan ekstrakurikuler, memberi pengalaman berharga yang tidak selalu tertuang dalam buku pelajaran.

Tanpa mengenal dunia luar, pendidikan akan kering dan hanya sebatas teori. Maka, sinergi antara pendidikan di sekolah dan pengalaman nyata di luar sekolah harus berjalan seimbang agar siswa tumbuh menjadi pribadi yang cerdas, berkarakter, dan siap menghadapi kehidupan.

Anak tidak cukup hanya belajar dari buku dan ruang kelas, sebab dunia luar adalah laboratorium kehidupan yang sesungguhnya. Agar anak kita mengenal dunia luar, orang tua dan guru perlu membuka ruang pengalaman yang lebih luas : mengajak anak terlibat dalam kegiatan sosial, kunjungan ke alam, museum, tempat kerja, atau kegiatan masyarakat.

Dengan begitu, anak bisa melihat langsung bagaimana ilmu yang dipelajari di sekolah diterapkan dalam kehidupan nyata. Selain itu, penting juga memberi kesempatan anak berinteraksi dengan teman sebaya maupun orang dewasa di luar lingkungannya, sehingga ia terbiasa memahami perbedaan dan belajar menghargai.

Melalui cara inilah anak akan tumbuh menjadi pribadi yang tidak hanya pintar secara akademis, tetapi juga kaya pengalaman, peka sosial, dan siap menghadapi tantangan hidup.

Anak sebaiknya tidak hanya menghabiskan sebagian besar waktunya di dalam kelas. Dunia luar justru menjadi ruang pembelajaran yang luas, nyata, dan penuh pengalaman hidup.

Di sekolah, anak memang mendapat dasar ilmu pengetahuan, tetapi di luar sekolah anak bisa melatih keterampilan sosial, kreativitas, kemandirian, serta kepedulian pada lingkungan.

Terlalu lama berada di ruang kelas kadang membuat anak jenuh dan hanya terpaku pada teori, sementara kehidupan nyata menuntut keberanian mengambil keputusan, bekerja sama, dan beradaptasi dengan perubahan.

Karena itu, penting bagi orang tua dan pendidik memberi ruang lebih banyak agar anak mengenal dunia luar, melalui kegiatan alam, seni, olahraga, maupun aktivitas sosial. Sehingga pendidikan yang mereka dapatkan lebih seimbang antara teori dan praktik kehidupan.

Jadi, hari ideal anak berada di lingkungan sekolah adalah sekitar lima hari dalam sepekan, dengan jeda dua hari untuk beristirahat, berkegiatan di luar, serta bersama keluarga.

Pola ini seimbang karena anak tetap mendapat kesempatan belajar akademik secara teratur, sekaligus memiliki waktu untuk mengenal dunia nyata di luar sekolah. Jika terlalu banyak hari dihabiskan di sekolah, anak bisa cepat jenuh, kurang berinteraksi dengan lingkungan sosial, dan minim pengalaman hidup. Sebaliknya, jika terlalu sedikit, pencapaian pembelajaran tidak maksimal.

Maka, sistem lima hari sekolah bukan hanya memberi ruang istirahat, tetapi juga menjadi cara agar pendidikan anak lebih holistik : seimbang antara pengetahuan, karakter, dan pengalaman hidup.

Takengon, 06 Oktober 2025

*Penulis adalah salah seorang kepala sekolah dan penulis buku People of the Coffee serta buku Opini Cekgu .

 

 

 

 

 

 

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.