Dari Alam Untuk Harmoni Instrumen Musik Gayo

oleh

Oleh : Salman Yoga S*

Masyarakat Gayo tempo dulu telah mengenal dan melahirkan berbagai jenis alat bunyi-bunyian dalam berkesenian. Kesemua alat musik yang mereka gunakan adalah berasal dari alam lingkungan mereka, dapat berupa kekayuan, dedaunan serta perpaduan antara keduanya dan lain sebagainya yang menurut mereka dapat melahirkan bunyi yang indah.

Keadaan lingkungan pegunungan yang mereka diami menyediakan semua alat bebunyian yang mereka butuhkan, seperti ines untuk alat musik tiup, kulit sapi dan kayu bulat untuk tamur, kulit kambing dan kayu untuk gegedem, ruas bambu untuk teganing, kulit ruas bambu (neniyun), batang padi untuk suling bebelén, daun kaftus besar (jedem) untuk terompet dan lain sebagainya.

Alat-alat musik tersebut diberi nama berdasarkan sifat dan jenis suara yang dihasilkannya seperti gegedem, teganing, repai, serongko, bebelen, tamur, bantal didong, bensi, gamang, genggong, suling ines, gegeséken dan lain sebagainya.

Teknologi permusikan Gayo sama halnya dengan alat dan teknologi musik etnis lain di nusantara yang sebagian besarnya berasal dari alam murni.

Seperti angklung Sunda misalnya, yang diolah dari potongan-potongan bambu dengan tangga nada yang nyaris sempurna seperti layaknya alat musik modern.

Dalam budaya dan kesenian tradisonal Gayo, penggunaan masing-masing alat musik sangat berpariasi. Ada yang alat musik tiup, ada alat musik tabuh dan ada pula alat musik gesek.

Dalam interaksi budaya antar suku di nusantara perbendaharaan alat musik Gayo tadi menjadi bertambah dengan hadirnya beberapa bentuk dan jenis alat musik yang terbuat dari tembaga, besi dan kuningan.

Meskipun benda-benda tersebut tidak tergolong sebagai alat musik asli pribumi, namun karena keingklutan tata bunyi dan karakter suara yang dihasilkan lambat laun diantara alat musik tersebut menjadi bagian yang integral dengan alat-alat musik Gayo lainnya.

Di antara alat musik yang dimaksud sebut saja seperti canang, harmonika, biola, gitar akustik, bambam, dram dan lain-lain.

Alat-alat musik tersebut dalam mengiringi nyanyian serta acara tertentu tidak semuanya dapat dipakai karena faktor bunyi dan irama yang tidak sesuai dengan karakter lagu. Kalaupun kemudian terpakai juga, hal tersebut adalah merupakan bagian dari hasil konfigurasi dan kolaborasi instrumen – instrumen yang ada.

Canang minsalnya, tidak semua jenis lagu dan kesenian Gayo dapat diiringi dengan canang. Penggunaan canang sangat terbatas dalam hal-hal tertentu saja, karena canang Gayo tidak sama dengan gamelan Jawa yang mempunyai dua belas tangga nada.

Canang Gayo hanya mempunyai tiga atau empat tangga nada saja, itupun sebagai pelengkap keindahan hentakan dan dinamika instrumen yang dikehendaki, dipukul dengan kayu khusus (batang gelowah).

Keterbatasan penggunaan canang dalam mengiringi nyayian tidak berarti peran canang dalam khasanah berkesenian Gayo menjadi tidak penting. Justru penggunaan canang sangat berarti dalam hal-hal tertentu yang menyangkut dengan adat dan budaya.

Dalam momen-momen tertentu pula peran dan kehadiran canang sebagai salah satu alat musik dapat menjadi mistis dan sakral. Contoh, canang digunakan masyarakat dalam mencari anak hilang yang dibawa makhluk halus ke tengah hutan, atau yang dalam bahasa Gayo disebut dengan sangkan kemang.

Canang juga digunakan dalam mengiringi tari Guel, dijadikan simbul dan tanda batas waktu dalam kesenian didong jalu. Secara umum setiap acara pernikahan peran canang sebagai alat musik menjadi utama.

Karena masyarakat Gayo beranggapan dan merasa bahwa tanpa memukul dan dimeriahkan oleh bebunyian canang dalam setiap acara mengawinkan anak maka acara pernikahan tersebut kurang lengkap dan meriah.

Canang dipukul dan ditabuh sampai tujuh hari tujuh malam, dijadikan sebagai alat musik pengiring, penghantar sekaligus penyambut pengantin.

Canang, alat musik tradisonal yang tidak pernah ”dicanangkan” dan menjadi bagian penting dalam khasanah kekayaan seni musik Gayo. []

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.