TAKENGON-LintasGAYO.co : Sabtu pagi, 20 September 2025, suasana di Mesjid Taqwa, Kampung Hakim Bale Bujang, Takengon, begitu berbeda. Bukan lantunan shalawat biasa yang menggema, melainkan isak tangis dan doa yang tak henti dipanjatkan.
Ribuan jamaah datang berdesakan untuk memberikan penghormatan terakhir kepada sosok yang selama lebih dari empat dekade mengabdikan hidupnya bagi anak-anak yatim dan terlantar: Syamsuddin A.S.
Bagi masyarakat luas, ia dikenal sebagai kepala panti asuhan Budi Luhur dan Yayasan Noordeen. Namun bagi ribuan anak yang pernah diasuhnya, Syamsuddin adalah “ayah kedua”.
Seorang lelaki yang dengan kesederhanaan hidupnya, mampu memberikan kasih sayang, motivasi, dan keberanian untuk bermimpi jauh melampaui keterbatasan.
Hidup untuk Orang Lain
Sejak muda, Syamsuddin mengabdikan dirinya di dunia sosial. Awalnya di Panti Asuhan Budi Luhur, Panti Asuhan yang di awal-awal berdirinya dipimpin oleh almarhum ayah kandung beliau Tengku Ashaluddin, yang menjabat kepala Panti Asuhan Budi Luhur sampai masa pensiun beliau di tahun 1976. Jadi masa kecil Syamsuddin banyak dihabiskan di panti asuhan ini.
Pasca pensiunnya Tengku Ashaluddin, suasana panti asuhan ini tak lagi sama dan Pemkab Aceh Tengah tidak merasa puas dengan apa yang tejadi. Sehingga tahun 1989, Pemkab Aceh Tengah menunjuk Syamsuddin AS menjadi kepala panti asuhan ini sampai masa pensiun beliau di tahun 2003.
Tahun 2004 tsunami dahsyat melanda Aceh, banyak anak yatim dan terlantar. Dian Alyan, salah seorang keponakan beliau yang tinggal di San Diego, California, Amerika Serikat, mendirikan NGO bernama Givelight Foundation, untuk membantu anak yatim korban tsunami dan mendirikan panti asuhan. Mereka punya dana membangun gedung tapi tak cukup untuk membeli tanah.
Saat itulah Syamsuddin A.S dengan ikhlas memberikan tanah pribadinya di Dedalu, atas persetujuan ahli warisnya untuk dijadikan Panti Asuhan, dengan perjanjian selama panti asuhan ini tetap berjalan, maka Yayasan Noordeen tetap bisa menggunakan, baru ketika panti asuhan ini sudah tidak berjalan lagi, tanah dikembalikan ke ahli waris.
Sejak saat itulah, status almarhum sebagai Ayah dari anak yatim berlanjut di Yayasan Noordeen Takengon, sampai akhir hayatnya.
Lebih dari 40 tahun waktunya tersita bukan untuk dirinya sendiri, melainkan untuk memastikan anak-anak yatim di bawah asuhannya tidak kehilangan arah dan masa depan.
Di saat pemerintah hanya mampu membiayai pendidikan anak panti hingga SMA, beliau melangkah lebih jauh. Dengan harta pribadi, ia menyekolahkan anak-anak asuhnya ke luar daerah, bahkan hingga perguruan tinggi. Baginya, pendidikan adalah jalan pembebasan—dan setiap anak yatim pantas mendapat kesempatan itu.
Kenangan Anak Asuh
Di laman media sosial, kesaksian dan kenangan tentang almarhum membanjiri lini masa. Salah satunya datang dari Mukti Ali Sadikin, yang menulis panjang tentang perjalanan hidupnya yang berubah berkat sentuhan tangan dingin Syamsuddin.
“Beliau bukan hanya seorang pengasuh panti, tapi ayah kedua. Saya diasuh beliau sejak kelas 3 SD, hingga lulus SMA. Karena dorongan beliau, saya bisa bersekolah di SMA Modal Bangsa Banda Aceh, lalu melanjutkan kuliah ke Pulau Jawa. Saya lulus tes UGM dan ITB tahun 2003, semua itu karena perjuangan beliau yang tak kenal lelah,” tulis Mukti.
Testimoni seperti ini bukan hanya datang dari satu orang. Puluhan bahkan ratusan mantan anak asuh mengenang beliau dengan kata yang sama: tulus, ikhlas, penuh cinta.
Pelayat Membludak, Jenazah Dishalatkan Dua Kali
Tak mengherankan bila kabar wafatnya Syamsuddin A.S. langsung menggerakkan hati banyak orang. Anak-anak asuhnya yang kini tersebar di berbagai kota, sahabat lama, kerabat, hingga para dermawan yang dulu ikut menopang Yayasan Noordeen, semuanya berbondong-bondong kembali ke Takengon.
Mesjid Taqwa yang biasanya cukup luas, siang itu tak mampu menampung lautan manusia yang datang. Jamaah meluber hingga ke halaman dan jalanan sekitar. Karena itulah, setelah dishalatkan di Mesjid Taqwa, jenazah Syamsuddin kembali dishalatkan sekali lagi di Mesjid One One.
Hanya dengan cara itu, semua pelayat bisa menunaikan hak terakhir mereka: ikut mendoakan, ikut menyaksikan, ikut melepas.
Peristirahatan Terakhir
Jenazah almarhum akhirnya dikebumikan di pemakaman keluarga di One One, di tanah milik adiknya, Drs. Rayendra, mantan Kepala Dinas Pendidikan Bener Meriah. Prosesi pemakaman berlangsung khidmat, dengan tangis haru yang pecah saat liang lahat ditutup.
Di antara doa-doa yang terucap, ada satu keyakinan yang menenangkan: bahwa amal jariyah almarhum tak akan pernah berhenti. Anak-anak yatim yang dibesarkannya kini menjadi doa hidup yang akan terus mengalir, menemani perjalanan beliau di alam abadi.
Jejak yang Tak Terhapus
Kepergian Syamsuddin A.S. meninggalkan duka, tetapi juga warisan yang begitu besar. Ia tidak meninggalkan harta melimpah, tidak pula jabatan tinggi. Yang ia tinggalkan adalah sesuatu yang lebih berharga: generasi yang terdidik, anak-anak yatim yang kini telah menjadi manusia mandiri, dan kenangan tentang ketulusan yang tak pernah padam.
Selamat jalan, Bapak Syamsuddin. Semoga segala lelahmu menjadi lillah, segala pengorbananmu menjadi amal jariyah, dan surga Allah menjadi tempat peristirahatanmu.
[Darmawan]





