Oleh : Joni Suryawan*
Pernyataan Mendagri yang melarang kepala daerah dan DPRD menghamburkan anggaran untuk acara seremonial perlu kita sikapi secara serius.
Namun, persoalannya bukan pada larangan itu sendiri, melainkan pada mekanisme pengawasan anggaran yang seharusnya berjalan lebih tegas.
Dalam tata kelola keuangan daerah, setiap rancangan APBD yang telah disusun oleh kepala daerah dan disetujui DPRD selalu melalui tahap evaluasi oleh pemerintah pusat.
Artinya, sebelum anggaran tersebut sah berlaku, Mendagri memiliki kewenangan penuh untuk mencermati, menilai, dan bahkan mencoret pos-pos belanja yang dianggap tidak efisien atau mubazir.
Disinilah letak kontradiksinya. Jika benar acara seremonial dianggap pemborosan dan dilarang, semestinya koreksi dilakukan saat evaluasi. Pos-pos yang tidak mendukung pelayanan publik dan pembangunan bisa langsung dipangkas dari dokumen APBD.
Dengan begitu, kepala daerah dan DPRD tidak lagi memiliki dasar hukum untuk membelanjakan anggaran tersebut.
Sebaliknya, jika anggaran sudah lolos evaluasi dan disahkan, maka penggunaan dana untuk kegiatan yang tercantum di dalamnya tentu dianggap sah secara hukum.
Dalam kondisi ini, imbauan moral dari Mendagri pasca pengesahan akan terkesan lemah, karena daerah bisa berargumen bahwa semua belanja tersebut sudah melalui proses legalisasi dari pemerintah pusat.
Lebih jauh, publik juga sering bertanya-tanya: apakah proses evaluasi APBD benar-benar steril dari potensi penyimpangan? Kita tidak bisa menutup mata bahwa ruang-ruang birokrasi selalu memiliki potensi moral hazard.
Bukan tuduhan, melainkan kewaspadaan. Sebab pada titik inilah tarik-menarik kepentingan kerap terjadi antara kepentingan teknis, kepentingan politik, bahkan kepentingan seremonial yang dianggap mubazir.
Karena itu, kunci utama bukan sekadar memberi larangan setelah anggaran berjalan, melainkan memastikan bahwa evaluasi APBD benar-benar dijalankan secara ketat, objektif, transparan, dan berpihak pada kepentingan rakyat.
Mekanisme pengawasan internal dan partisipasi publik seharusnya tidak berhenti pada pengesahan di daerah, melainkan juga diperluas pada tahap evaluasi di pusat.
Jika transparansi diperkuat, publik tidak hanya tahu berapa anggaran yang disahkan, tetapi juga bagaimana proses evaluasi berlangsung.
Hanya dengan keterbukaan dan ketegasanlah potensi penyimpangan bisa ditekan, serta kepercayaan masyarakat terhadap tata kelola anggaran dapat ditegakkan.
*Penggiat Ekonomi Lokal Tinggal di Aceh

 
											





 
										 
										 
										 
										 
										 
										 
										 
										 
										 
										 
										