Catatan Mahbub Fauzie, S Ag., M.Pd*
Di dalam Islam, pernikahan bukanlah sekadar ikatan emosional antara dua insan yang saling mencintai. Lebih dari itu, pernikahan adalah ibadah, perjanjian yang kokoh (mitsaqan ghalizhan), dan jalan hidup yang dituntun langsung oleh syariat Allah.
Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an: “Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan untukmu pasangan hidup dari jenismu sendiri supaya kamu merasa tenteram di sampingnya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang (mawaddah wa rahmah).”
(QS. Ar-Rum: 21)
Ayat tersebut sering dibaca dalam khutbah nikah dan nasehat pernikahan, tapi belum tentu selalu direnungkan dengan mendalam. Allah tidak menyebut cinta (‘isyq atau mahabbah) sebagai landasan utama pernikahan, tetapi sakinah (ketenteraman), mawaddah (kasih sayang), dan rahmah (rahmat/kelembutan).
Ini artinya, pernikahan bukan hanya tentang perasaan, tetapi tentang menciptakan ketenangan, menyebarkan kasih sayang, dan merawat kelembutan dalam hubungan.
Sebagai penghulu, saya sering mengajak kita untuk merenungkan bahwa sebelum menjadi suami atau istri, setiap orang adalah seorang anak yang lahir dari perjuangan dan cinta orangtuanya.
Seorang anak yang dikandung sembilan bulan, dilahirkan dalam kesakitan, dirawat, disekolahkan, dibesarkan dengan pengorbanan yang luar biasa, baik oleh ibu, ayah, atau siapa pun yang menjadi wali pengasuhnya.
Sayangnya, banyak pasangan yang memasuki pernikahan hanya dengan modal cinta, tanpa membawa serta kesadaran dan penghormatan terhadap asal-usul pasangannya. Padahal Rasulullah SAW mengajarkan agar kita memperlakukan pasangan kita dengan ihsan (kebaikan), karena ia adalah amanah dari Allah dan keluarganya.
Nabi SAW bersabda:
“Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik kepada keluarganya. Dan aku adalah yang paling baik kepada keluargaku.”
(HR. Tirmidzi)
Pernikahan dalam Islam adalah tempat untuk saling menumbuhkan kebaikan (taqwa), bukan saling memuaskan nafsu atau memenuhi ambisi duniawi semata. Cinta bisa tumbuh dan pudar, tetapi ketaatan kepada Allah dan saling menolong dalam kebaikan (ta’awun ‘ala al-birr wa at-taqwa) akan menjadi fondasi yang kokoh.
Lebih dari itu, banyak pasangan datang dari latar yang berbeda. Ada yang dibesarkan oleh orangtua lengkap, ada yang yatim, ada yang piatu, bahkan yatim piatu. Islam mengajarkan kita untuk menghormati siapa pun, tidak menilai seseorang dari nasab atau keadaan keluarganya, melainkan dari ketaatannya kepada Allah. “Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa.” (QS. Al-Hujurat: 13)
Maka saat menikah, jangan hanya melihat pasangan hari ini. Lihatlah siapa dia dalam perjalanan hidupnya. Hargai masa lalunya. Sayangi keluarganya. Karena dalam Islam, berbuat baik kepada keluarga pasangan adalah bagian dari akhlak mulia.
Bagi para suami, ingatlah bahwa istrimu bukan hanya teman hidup, tapi juga amanah yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah.
Rasulullah SAW bersabda: “Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Bagi para istri, suami adalah pemimpin rumah tangga yang harus didukung dengan doa dan akhlak yang baik. Rasulullah juga pernah bersabda bahwa istri yang taat, menjaga kehormatan dan harta suaminya, akan masuk surga dari pintu mana pun yang ia suka. (HR. Ibnu Hibban)
Dalam Islam, rumah tangga adalah ladang pahala. Menyediakan makanan untuk pasangan, bersabar atas kekurangan, saling memaafkan, mendidik anak, bahkan senyum kepada pasangan, semua bisa bernilai ibadah.
Oleh karena itu, mari kita sadari kembali, bahwa pernikahan bukan hanya tentang cinta. Ia adalah kesadaran, tanggung jawab, ibadah, dan kerja sama menuju ridha Allah. Cinta bisa menjadi bahan bakar, tetapi taqwa dan akhlak adalah kemudi yang menjaga arah.
Semoga setiap rumah tangga yang baru dibangun diberi keberkahan oleh Allah SWT, dilapangkan rezekinya, diberi keturunan yang shalih-shalihah, dan dikuatkan dalam menghadapi ujian. Karena pernikahan bukan akhir dari pencarian, tapi awal dari perjuangan panjang menuju surga.
Barakallahulaka, wabaraka ‘alaika wajama’a baina kuma fiikhair. Wallahul muwafiq ilaa aqwamitt thariq.
*Mahbub Fauzie, S.Ag., M.Pd, adalah Penghulu Ahli Madya & Kepala KUA Kec. Atu Lintang, Aceh Tengah