Ketika Mahasantri Tak Lagi Nyaman Jadi Diri Sendiri

oleh

Oleh: Putri Sabila Indratno*

Ma’had Al-Jami’ah semestinya menjadi rumah kedua bagi para mahasantri—tempat di mana ilmu agama dan adab hidup dirajut dalam harmoni. Namun, di balik dinding-dinding kamar dan suasana religius yang kental, ada keresahan yang tak selalu terdengar: kegelisahan identitas. Banyak mahasantri, khususnya perempuan, mulai merasa terasing di tempat yang seharusnya menjadi ruang aman mereka bertumbuh sebagai diri sendiri.

Konflik identitas ini sering kali muncul dalam bentuk sederhana tapi menyakitkan: kebingungan memilih antara menjadi pribadi otentik atau mengikuti standar yang dianggap “ideal” oleh lingkungan ma’had.

Mahasantri merasa harus tampil seragam: sama dalam penampilan, pemikiran, bahkan ekspresi kesalehan. Ketika seseorang tampil sedikit berbeda baik dalam cara berpikir, mengekspresikan diri, atau bahkan pilihan organisasi. Ia bisa dianggap kurang “ngaji”, kurang “taat”, atau tidak cocok menjadi bagian dari ma’had.

Tekanan semacam ini membuat sebagian mahasantri merasa perlu menyembunyikan jati dirinya agar diterima. Ada yang merasa harus menyesuaikan gaya berpakaian agar tidak dianggap kurang Islami misalnya, memakai gamis gelap dan cadar meski dalam keseharian sebenarnya lebih nyaman berpakaian longgar dan sopan tanpa cadar.

Ada pula yang mulai menahan diri untuk tidak terlalu aktif di organisasi luar ma’had karena takut dinilai kurang fokus ngaji.

Bahkan sebagian mahasantri memilih diam dalam forum diskusi keislaman karena khawatir pertanyaannya dianggap terlalu kritis atau menyimpang dari “arus utama”.

Padahal, Islam tidak pernah mengajarkan penyeragaman dalam hal-hal yang bersifat ijtihadiyah atau ekspresi budaya. Rasulullah SAW justru merayakan keberagaman karakter sahabatnya. Ada Abu Bakar yang lembut, Umar yang tegas, Utsman yang pemalu, dan Ali yang cerdas kritis. Keempatnya tidak dibentuk dari cetakan yang sama, tapi semuanya mulia di sisi Allah.

Persoalan identitas bukan sekadar urusan psikologis, melainkan juga menyangkut kesehatan spiritual dan sosial. Ketika seseorang tidak nyaman menjadi diri sendiri, maka yang lahir adalah kelelahan batin. Dan kelelahan ini bisa merusak semangat belajar, mengikis keikhlasan dalam beribadah, bahkan menjauhkan seseorang dari agama yang seharusnya menjadi sumber ketenangan.

Maka, sudah saatnya ma’had membuka ruang yang lebih ramah bagi perbedaan ekspresi. Bukan berarti membiarkan liberalisasi nilai, melainkan merawat keberagaman dalam bingkai akhlak dan adab.

Para pembina ma’had perlu mengembangkan pendekatan yang lebih dialogis, bukan hanya normatif. Perlu ada keberanian untuk mendengar, bukan hanya menasihati. Mendampingi, bukan menghakimi.

Ma’had juga bisa mengadakan forum-forum reflektif yang membahas isu-isu aktual keislaman, identitas, dan dunia digital secara terbuka dan inklusif. Mahasantri diajak berpikir kritis tanpa takut dibungkam, serta belajar mengekspresikan keislaman dengan cara yang sesuai zaman tanpa kehilangan ruhnya.

Karena menjadi santri bukan berarti harus menjadi salinan dari orang lain. Santri sejati adalah mereka yang teguh dalam akidah, luhur dalam akhlak, dan jujur pada dirinya sendiri. Maka, izinkanlah mahasantri menjadi diri mereka yang mungkin tidak sempurna, tapi terus belajar dan bertumbuh dalam cahaya Islam yang rahmatan lil ‘alamin

*Penulis adalah mahasiswi Program Studi Pendidikan Agama Islam di UIN Sultanah Nahrasiyah Lhokseumawe. Aktif dalam kajian keislaman, menulis isu seputar pendidikan dan identitas, serta aktif di komunitas literasi kampus.

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.