Radio Rimba Raya: Suara Kemerdekaan di Jantung Gayo

oleh
Tugu Radio Rimba Raya. (foto : Khalis)

Oleh : Hamdani Mulya*

Radio Rimba Raya (RRR) adalah salah satu pilar penting dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia, khususnya selama periode Agresi Militer Belanda II yang dimulai pada 19 Desember 1948.

Ketika Yogyakarta, ibu kota RI saat itu, jatuh ke tangan Belanda dan para pemimpin nasional seperti Soekarno-Hatta ditawan, Belanda mengklaim bahwa Republik Indonesia telah berakhir.

Di tengah situasi genting inilah, Radio Rimba Raya lahir sebagai suara penyeimbang yang membantah propaganda Belanda dan menyiarkan kepada dunia bahwa Indonesia masih ada dan terus berjuang.

1. Latar Belakang dan Pendirian

Inisiatif pendirian radio ini datang dari Kolonel Husein Yusuf, Panglima Komandemen Sumatera, dan didukung penuh oleh Gubernur Militer Aceh, Langkat, dan Tanah Karo, Jenderal Mayor Tituler Teungku Muhammad Daud Beureueh.

Aceh, yang tidak pernah sepenuhnya dikuasai Belanda, menjadi basis strategis. Dipilihlah dataran tinggi Gayo, tepatnya di Kampung Rime Raya (kini Kecamatan Pintu Rime Gayo, Kabupaten Bener Meriah), sebagai lokasi stasiun radio.

Lokasi ini dianggap aman karena terpencil, dikelilingi hutan lebat, dan sulit dijangkau pasukan Belanda, serta didukung penuh oleh masyarakat Gayo yang patriotik.

Peralatan pemancar radio yang digunakan merupakan hasil modifikasi dari pemancar Mark III peninggalan Sekutu, yang diselundupkan dari Malaya (Malaysia) oleh John E. Apituley, seorang ahli teknik radio.

Perjalanan membawa peralatan ini sangatlah berat, harus dibongkar pasang dan diangkut secara sembunyi-sembunyi melalui hutan dan sungai untuk menghindari patroli Belanda.

Tim inti RRR terdiri dari figur-figur kunci seperti Oesman Adamy sebagai kepala studio, T.B. Bintara sebagai penyiar bahasa Indonesia, Nip Xarim sebagai penyiar bahasa Inggris, dan Syarifuddin sebagai penyiar bahasa Arab dan Urdu, serta para teknisi seperti John E. Apituley dan Ramli.

2. Operasional dan Peran Vital

Radio Rimba Raya resmi mengudara pertama kali sekitar akhir Desember 1948, dengan kekuatan pemancar yang cukup untuk menjangkau siaran internasional. Sinyalnya ditangkap hingga ke India, Pakistan, Australia, bahkan beberapa negara Eropa. Panggilan udaranya yang terkenal adalah “Suara Indonesia Merdeka” (The Voice of Free Indonesia) dan “Ini Radio Rimba Raya.”

3. Fungsi utama RRR adalah:

a. Kontra-Propaganda: Melawan narasi Belanda yang menyatakan RI telah runtuh. RRR menyiarkan berita tentang keberlangsungan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) di bawah Sjafruddin Prawiranegara di Sumatera Barat dan perlawanan gerilya yang terus berkobar di berbagai daerah.

b. Informasi Internasional: Menyediakan informasi akurat kepada dunia internasional mengenai situasi sebenarnya di Indonesia. Siaran dalam bahasa Inggris, Arab, dan Urdu ditujukan untuk meraih simpati dan dukungan dari negara-negara lain, terutama di forum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Berita dari RRR dikutip oleh media internasional seperti All India Radio dan BBC.

c. Menjaga Moral: Membangkitkan dan memelihara semangat juang para pejuang dan rakyat Indonesia di seluruh nusantara. Mendengar bahwa RI masih eksis dan berjuang memberikan harapan di tengah tekanan Belanda.

d. Koordinasi Perjuangan: Meskipun terbatas, RRR juga berfungsi sebagai alat komunikasi untuk menyampaikan instruksi dan informasi antar unit gerilya.

Keberadaan RRR menjadi ancaman serius bagi Belanda. Mereka berusaha keras melacak dan menghancurkan stasiun radio ini, namun dengan perlindungan hutan Gayo yang lebat dan kesigapan para pejuang serta dukungan masyarakat setempat yang memberikan informasi pergerakan musuh, RRR selalu berhasil berpindah lokasi dan mengelak dari sergapan.

Para kru harus hidup nomaden, memindahkan peralatan berat dari satu titik ke titik lain di tengah hutan, menghadapi medan yang sulit, kekurangan logistik, dan ancaman penyakit.

3. Dampak dan Akhir Siaran

Peran Radio Rimba Raya sangat krusial dalam diplomasi Indonesia. Informasi yang disiarkannya membantu mendelegitimasi klaim Belanda di mata dunia dan memperkuat posisi delegasi Indonesia dalam perundingan-perundingan internasional, termasuk di PBB. Keberadaan RRR menjadi bukti nyata bahwa RI masih memiliki kedaulatan dan kontrol teritorial, meskipun terbatas.

Radio Rimba Raya terus mengudara hingga sekitar pertengahan tahun 1949, menjelang diadakannya Konferensi Meja Bundar (KMB). Setelah situasi politik mulai kondusif dan pengakuan kedaulatan semakin dekat, operasional RRR secara bertahap dihentikan.

4. Warisan Sejarah

Radio Rimba Raya adalah bukti nyata heroisme dan kecerdikan bangsa Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaannya. Ia adalah simbol perlawanan yang tak kenal menyerah dari “daerah modal,” Aceh.

Keberanian para awaknya, dukungan masyarakat Gayo, dan strategi yang jitu menjadikan RRR sebagai senjata informasi yang ampuh. Untuk mengenang jasa besarnya, didirikan Tugu Radio Rimba Raya di Kabupaten Bener Meriah, Aceh, sebagai pengingat abadi akan suara lantang kemerdekaan yang pernah menggema dari jantung hutan Gayo.

Perjuangannya menunjukkan bahwa perang kemerdekaan tidak hanya dimenangkan dengan senjata, tetapi juga dengan kekuatan kata dan informasi.[SY]

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.