Oleh : Marlin Dinamikanto*
Rumah-rumah panggung menancap di atas rawa-rawa. Dihubungkan jeramba yang terbuat dari beton.
“Sebelum Bang Udin menjabat DPRD, jeramba ini terbuat dari kayu ulin,” beber Mang Zaini, koordinator Tim Sukses saya yang mengajak mencari Bang Udin di Perkampungan ini.
Ngeri juga bermotor di atas jeramba. Sekali oleng bisa-bisa masuk rawa.
“Ini saatnya mas Madin duduk di Senayan,” imbuh Mang Zaini menyemangati saya terus memelototi jeramba agar tak terjatuh ke rawa.
Saat berpapasan dengan sepeda motor yang lain saya berhenti. Sedangkan Mang Zaini sudah meluncur ke ujung jeramba, masuk ke sebuah rumah yang paling bagus di perkampungan ini.
Bang Udin pun yang calon anggota DPRD Kota Palembang tergopoh-gopoh memapah saya. “Halo Bung Madin, rasanya kita pernah bertemu, acara partai di Makassar,” sambutnya hangat.
Bang Udin yang semula lesu sebab ditaruh di nomer 9 mendadak ceria. Nomer urut saya pun terhitung jauh, nomer tujuh. Semua nestapa Bang Udin sirna setelah Mahkamah Konstitusi memenangkan opsi suara terbanyak.
Kami pun berkumpul di beranda rumahnya yang paling mewah di perkampungan ini. Bang Udin sehari-harinya tidak tinggal di sini, melainkan di sebuah perumahan elite di Palembang.
“Ini rumah masa kecil saya, sekarang jadi tempat ngumpul,” beber Bang Udin.
Tak lama berselang rumah panggung ini sudah dijejali warga. Dari jauh saya melihat Mang Zaini, anggota Tim Sukses saya berbincang dengan seseorang berbadan besar, berkalung emas, dan rambutnya hitam meskipun kerut-kerut di wajahnya sudah berbicara bahwa umurnya di atas 60-an..
Mang Zaini pun mengenalkan saya kepada warga. Seorang mantan demonstran yang ditugaskan Partai Indonesia Berdaulat sebagai calon DPR-RI dari Dapil Sumsel II. Sedangkan Bang Udin yang masih menjabat anggota DPRD Kota Palembang kini dicalonkan kembali di nomer urut IX. Satunya lagi, calon DPRD Provinsi berhalangan datang.
“Kami memang nomer yang tidak diharapkan jadi oleh pimpinan partai kami, tapi seperti kata Bung Karno, kami akan terus berjuang, berjuang dan berjuang,” ucap saya yang disambut tepuk tangan Mang Zaini dan Bang Udin yang kemudian diikuti tepuk meriah oleh semua yang hadir di sini.
Bak selebritis, satu per satu warga mengajak foto bareng saya. Sebagai kenang-kenangan. “Siapa tahu bapak jadi dan kalau saya ke kantor bapak di Jakarta cukup dengan membawa foto ini,” ucap seorang warga yang mengenalkan diri bernama Amir, seorang buruh pelabuhan.
Kegiatan sosialisasi itu berjalan penuh, sejak bulan Januari hingga menjelang hari pencoblosan di bulan April. Daerah pemilihan saya bukan hanya di Kota Palembang, melainkan juga hingga ke desa-desa Transmigran Muara Sugihan, Muara Telang, di Banyuasin, hingga ke perkampungan transmigran di Musi Banyuasin, Musi Rawas dan Kota Lubuk Linggau.
Perkampungan transmigran memang bidikan saya. Siapa tahu sesama etnis Jawa masih ada solidaritas, meskipun itu berkali-kali dimentahkan oleh istri saya.
“Sudahlah, mas. Duit dan katek, makmano nak menang (duit tak ada, bagaimana bisa menang)?” ucap istri saya setiap saya rayu menggadaikan cincin, kalung dan terakhir kali sertifikat tanah yang masih atas nama orang tuanya.
Suatu saat, di bulan Maret, saat musim kampanye tiba, saya kaget. Begitu keluar dari lorong Batu Karang, rumah kediaman istri saya yang memang asli Palembang, baliho dan spanduk atas nama saya dan tandem-tandem saya bertebaran Saya tak habis pikir, dari mana ini? Sedangkan biaya yang keluar dari kekayaan dan utang saya paling banyak hanya Rp 150 juta.
“Ngapo pulo mas berpikir biaya. Baguslah itu, ini semua sumbangan dari warga,” ungkap Mang Zaini menentramkan hati saya.
Jauh-jauh hari saya sudah memegang prinsip, tidak mau merengek kepada siapapun, sehingga kalau pun menang tidak berhutang budi kepada siapapun, selain Tim Sukses yang telah berkomitmen memperbaiki bangsa ini secara bersama-sama.
Saya pun kaget, menjelang kampanye Akbar di awal bulan April, mang Zaini menyediakan tiga mobil. Satu Alphard untuk saya dan dia, satu Fortuner untuk tokoh masyarakat dan satu lagi Xenia untuk logistik.
Massa diangkut 30 bus dari wilayah masing-masing. Semua sudah ditempel striker di badan mobilnya bertuliskan “Iwak Gabus Iwak Patin, Kalu nak Bagus Pilih Madin” lengkap dengan foto saya, lambang partai dan gambar Ketua Umum Partai Indonesia Berdaulat.
“Pinjaman dari simpatisan, mas Madin sudah tidak pantas kampanye pake motor,” ujar Mang Zaini tentang Alphard dan Fortuner, lagi-lagi menentramkan hati saya.
Di lapangan, kebanyakan massa juga mengenakan kaos bergambar saya sedang mengepalkan tangan, diambil dari foto saat saya memimpin demonstrasi. Survey internal juga menyebutkan suara saya jauh di atas suara calon yang nomer satu. Dan terbukti, saya bersama nomer urut 1 berhak menduduki kursi di Senayan.
“Tidak sia-sia menggadaikan cincin, kalung dan sertifikat tanah,” pikir saya, berangan-angan seperti Obama yang dimenangkan oleh partisipasi aktif masyarakat, termasuk dalam hal logistik dan dana.
Tanpa pendanaan dari saya pula, kantong-kantong basis massa Timses Iwak Gabus Iwan Patin berpesta pora. Saya sempat mendatangi pesta organ tunggal semalam suntuk di sejumlah markas Timses, sebelum saya terbang ke Jakarta, sowan ke pimpinan partai sekaligus menyiapkan berkas-berkas pribadi saya.
Pun sebelum dilantik menjadi anggota DPR-RI di bulan ke-9, utang-utang saya sudah dilunasi Mang Zaini, anggota Tim Sukses saya. Dua buah kalung, lima buah cincin dan sertifikat tanah yang digadai sudah ditebus.
“Sebagai wujud rasa syukur dari para simpatisan,” kilah Mang Zaini tentang asal-usul semua uang itu, lagi-lagi menentramkan hati saya.
Kesederhanaan saya sebagai anggota DPR tetap saya jaga. Hingga bulan ke-12 saya masih diboncengkan motor oleh tukang ojek yang saya gaji Rp 2,5 juta per bulan. Bila ada kegiatan di luar gedung DPR, baik acara partai maupun acara lainnya, saya sudah terbiasa menumpang mobil teman.
Namun kesederhanaan saya dianggap lebay oleh Zaini, Tim Sukses saya yang menolak menjadi Staff saya di DPR, dan anehnya, kehidupannya tampak lebih makmur dari saya. Maka saya pun memutuskan kredit minibus sejuta umat. Toh begitu saya tetap mendapat pujian dari Pers sebagai anggota DPR yang tetap menjaga gaya hidup sederhana.
Istri saya yang mengagumi saya sejak menjadi aktifis mahasiswa, mengenal betul siapa saya yang tidak mudah dibeli dengan apapun dan oleh siapapun. Dia pun tidak mengeluh meskipun hanya kebagian Rp 15 juta dari total penerimaan Rp 51 juta per bulan. Selebihnya dari total penerimaan itu untuk iuran partai, menjaga konstituen dan sumbangan bagi aktivis yang membutuhkan.
Hati saya agak terusik, sekitar bulan Februari Pak Berkalung Emas dengan ditemani Mang Zaini menemui saya di Senayan.
“Bapak ini minta bantu, bagaimana proyek pembangunan pelabuhan Tanjung Samudera jatuh ke tangannya,” ucap Zaini membuat kepala saya pusing tujuh keliling, apalagi setelah Zaini menyebutkan, tidak sedikit sumbangan yang telah dikeluarkan Bapak itu untuk pemenangan saya.
“Mas kan dikenal vokal di DPR, setiap hari masuk televisi, bisa dong bantu kami. Ya, kita sama-sama bantulah,” sambung Zaini, kali ini sungguh-sungguh menggelisahkan hati saya.
Tidak menentramkan seperti yang sudah-sudah. Apa lagi setelah orang itu menyebut angka, selama Proses Pencalonan saya, bapak berkalung emas dan bercelana jeans meskipun umurnya sudah 67 tahun itu habis Rp 3 Miliar. Wow !
Ternyata saya bukan Obama seperti yang saya bayangkan.
Berbekal lobi dan komitmen ke sejumlah pimpinan Partai dan orang di Kementerian yang saya kenal, ada 7 paket proyek Tanjung Samudera jatuh ke tangan Bapak Berkalung Emas.
Tapi hati saya sungguh-sungguh gelisah. Apa lagi Bapak Berkalung Emas itu, lewat pengaruh saya di DPR sudah membangun jaringan persekongkolan baru di antara kolega saya di DPR dan teman-teman di Kementerian.
Sekarang bukan saja proyek-proyek raksasa di Provinsi tempat Dapil saya berasal yang dia ambil, melainkan juga ke sejumlah proyek mercusuar di provinsi-provinsi lainnya di Indonesia.
Pak Berkalung Emas itu seminggu sekali mengajak saya makan di Hotel Ternama. Meskipun risi, tapi ada ketakutan-ketakutan tersendiri bila tidak melayani panggilan makan malamnya.
“Mas Madin tak perlu khawatir lagi, tahun 2014 aman,” ungkap Mang Zaini yang tampaknya kini menjadi Orang Kepercayaan Bapak Berkalung Emas.
“Benar, segala sesuatunya sudah saya siapkan. Tak perlu mas Madin keliling dari kampung ke kampung naik motor seperti dulu,” timpal Bapak Berkalung Emas.
“Kalau tidak sosialisasi program bagaimana saya bisa menang?” sanggah saya.
“Hahahaha, mas Madin mas Madin,” tanggap Mang Zaini dengan nada menjengkelkan.
“Kalau sosialisasi adu program bikin menang, saya rasa tidak muat lagi Gedungnya mas Madin untuk menampung anggota Dewan. Banyak yang sosialisasi, program bagus-bagus, kenapa pula mereka gagal ke Senayan?” sela Bapak Berkalung Emas itu sungguh-sungguh membuat kebanggaan saya sebagai seorang Obama mendadak sirna.
“Terus apa artinya saya dan Mang Zaini bertempur siang malam, sampai badan saya kurus, dalam sehari bertemu warga di tujuh titik selama tiga bulan lebih?” sanggah saya lagi.
“Itu hanya pencitraan, mas Madin. Biar kalau menang memang ketahuan kalau itu hasil perjuangan, kalau mas Madin sudah Dewan, tak perlu lagi melakukan itu, toh Rakyat sudah mengenal mas Madin yang vokal lewat berita televisi dan Koran. Tinggal ininya saja yang perlu disiapkan,” timpal Mang Zaini sambil menjentikkan jari ke Pak Berkalung Emas.
“Kalau tidak ada tiga puluh ribu per orang, mana mungkin mereka pilih mas Madin?” tandas Pak Berkalung Emas.
“Memangnya mereka mengerti apa yang diomongin mas Madin? Kalau pun mengerti, paling mereka bisik-bisik dari belakang, siapapun calon penguasa ngomongnya pasti bagus-bagus.”
“Tak ada itu mas Madin, vox populi vox dei. Masak tuhan mau menerima sogokan tiga puluh ribu per orang, hahaha,” timpal Mang Zaini makin membuat telinga saya memerah.
Saya terjebak. Rekam jejak saya yang Aktivis 98, pernah dipenjara rejim Soeharto, telah dijadikan Kuda Troya untuk memenangkan bisnis pengusaha berjiwa kumuh seperti Pak Berkalung Emas. Kaya raya hanya dengan modal sogok sini sogok sana.
Rasa takut tergelincir ke jeramba, seperti saat awal saya sosialisasi, membuat saya berkompromi dengan keadaan. Toh begitu, selama tiga tahun menjadi anggota DPR, saya memang tidak mau menerima apapun yang berasal dari luar penerimaan resmi saya.
Tempat tinggal masih numpang di rumah dinas. Mobil hanya Avanza. Kondisi seperti itulah membuat saya takut kehilangan fasilitas yang sudah ada.
“Berapa tabungan kita Bunda?”
“Adalah, lumayan, dua ratus empat puluh juta,” jawab istri saya.
“Lumayan juga,” ucap saya, meskipun dalam pikiran berkecamuk, dapat apa uang sebesar itu? Dibelikan rumah, kecuali di wilayah kumuh, sudah pasti tidak ada yang menjual.
Kembali terjun ke dunia tulis menulis, otak sudah telanjur tumpul dihajar rutinitas dari rapat ke rapat. Apa lagi yang saya bisa?
Keesokan harinya saya diundang makan malam ke rumah Sekjen DPP Partai Indonesia Berdaulat. Yang membuat saya tidak enak hati, dia sangat mengagumi kiprah saya selama menjabat anggota DPR.
“Citra partai sungguh terangkat dengan adanya mas Madin, terutama di komisi tiga. Begitu kata Ketua Umum dalam rapat DPP,” imbuhnya, sekaligus mengabarkan saya ditaruh di nomer urut satu di daerah pemilihan sebelumnya.
“Tapi mas?” timpal saya tersendat.
“Apa mas mau pindah Dapil, misal ke Yogya tempat kelahiran mas, bisa dipertimbangkan tapi ndak bisa lho kalau nomer satu. Bisa ribut nanti,” timpal mas Pengurus Teras Partai.
“Bukan begitu, maksud saya” ucap saya terhenti. Lagi-lagi sulit bicara jujur tentang kegelisahan yang menghantui saya selama 3 tahun 6 bulan menjadi anggota dewan.
“Maksud saya, sungguh, ini kejutan yang luar biasa buat saya. Baik, saya menerimanya,” sambung saya, usai menghela napas dalam-dalam, langsung disambut uluran tangan mas Sekjen dengan senyum sumringahnya.
Lagi pula saya membayangkan, bila menumpahkan uneg-uneg yang menggelisahkan saya, bagaimana nasib keluarga saya setelah tidak menyandang status anggota dewan? Bagaimana pula nasib putra tertua saya yang sebentar lagi tamat SMA? [SY]
Cikini I No 3 B, 21 Maret 2012