Oleh : Ahmad Syafiq Sidqi*
Digitalisasi adalah tantangan terbesar di zaman sekarang ini. Realita saat ini, kita hidup di zaman serba digital, dari membeli makan sampai mencari ilmu, semua itu sudah di lakukan dengan teknologi yang canggih.
Paham teknologi dan media sosial bagi para santri itu bukan soal ikut ikutan, ini adalah soal ilmu, efesiensi waktu dan daya saing santri. Kalau kita nggak mulai dari sekarang maka kita akan tertinggal.
Ilmu di luar itu terus berkembang, santri kehilangan kesempatan kalau hanya diam saja. Digitalisasi bukan tentang meninggalkan tradisi tapi memperkuatnya teknologi.
Dalam media sosial, santri kini tidak hanyak di representasikan sebagai individu yang tekun mengaji, hidup sederhana di pesantren. Tetapi juga sebagai generasi muda yang kreatif dan melek digital.
Melalui platform seperti tik tok, instagram, youtube, banyak santri yang menampilkan kegiatan kegiatan mereka mulai dari mengaji, belajar kitab kuning, hingga aktivitas gotong royong di pondok.
Konten-konten terssebut membentuk citra santri yang lebih kreatif, modern, dan tidak terpisah dari perkembangan zaman bahkan munculah santri milenial sebagai penggabungan nilai-nilai religius dengan kemampuan digital.
Di sisi lain representasi ini juga menjadi ajang dakwah yang efektif di mana para santri menggunakan media sosial untuk menyebarkan pesan pesan keislaman dengan gaya yang ringan dan mudah di pahami.
Namun, tak jarang pula muncul kritik tentang potensi hilangnya kekhusyukan atau kesederhanaan nilai pesantren akibat paparan media sosial yang berlebihan. dengan demikian media sosial berperan besar dalam membentuk wajah baru santri di publik.
Di balik sorban dan sarung , di antara lembaran kitab kuning dan lantunan ayat suci, ada sosok santri yang berbeda dari yang lain.
Bukan hanya hafal qur’an bisa membaca kitab dan paham hadits tapi juga melek teknologi,tanganya lincah, merangkai kode,mengedit vidio atau menulis artikel dakwah digital. ia bukan santri biasa ia adalah santri masa kini.
Agama dan teknologi bukan dua hal yang harus di pilih salah satu tetapi dua alat yang harus berjalan beriringan karena bagi santri dakwah bukan hanya di mimbar tetapi juga di layar santri juga paham bahwa jika dunia digital tidak di isi dengan kebaikan maka akan di penuhi dengan keburukan.
Menjadi santri di era digital bukan berarti meninggalkan tradisi tetapi justru malah menggabungkan ilmu agama dengan inovasi karna hari ini islam butuh lebih banyak ulama yang melek dengan teknologi dan dunia digital harus lebih banyak dengan membuat konten yang penuh dengan keberkahan.
Maka santri harus siap menjadi bagian dari perubahan ini,dan kita harus siap menjadi santri yang tidak hanyak paham kitab tetapi harus paham dengan zaman, kita harus menjadi santri milenial dengan taat ngaji,melek teknologi dan siap menyebar manfaat bagi dunia.
Tantangan di era sekarang ini bukan tentang bagaimana kita sebagai santri mencari cara melawan penjajah seperti santri santri zaman dulu.
Sekarang tugas kita sebagai santri yaitu menjaga dan merawat indonesia saat ini,salah satu bukti kita merawat dan menjaga indonesia ini adalah santri terlibat aktif dalam literasi digital.kehidupan dunia digital saat ini tidak hanya maya tetapi sudah nyata.
Kita sebagai santri harus bisa mengisi ruang di dunia digital ini salah satunya yaitu dengan kita melek teknologi dengan menyebarkan konten -konten yang tetap menjaga nilai nilai keislaman.
Dunia digital itu tidak hanya tentang ruang yang terbatas, yang sempit, dunia digital ini memiliki skat-skat pada dunia yang nyata. kenapa pesantren dan santri butuh digitalisasi?
Karena tantangan hari ini adalah akses informasi yang lambat , adminsitrasi yang masih manual , kurang ekspos ke dunia luar , nggak paham IT , dan masih banyak lagi tantangan bagi kita ini sebagai santri.
Dan untuk mengatasi semua itu kuncinya adalah digitalisasi karna digitalisasi itu dapat mempercepat akses ilmu ilmu baru, informasi yang lebih luas, dakwah digital, pengembangan bakat dan keterampilan santri ,meningkatan branding santri santri dan tetap dengan menjaga nilai nilai keislaman.
Saya pernah mengikuti kegiatan santri digital preneur, kegiatan ini yang langsung di inisiasi oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif ketika itu, yang di ikuti oleh 10 pondok pesantren yang ada di Yogyakarta yang di hadiri langsung oleh Sandiaga Salahudin Uno.
Dalam sambutanya beliau menyampaikan bahwa para santri itu selain memiliki daya saing juga dapat memiliki daya tahan, terkadang banyak yang mampu bersaing tapi tidak bertahan.
Dan beliau memberi pesan kepada para santri, bahwa santri itu harus bisa menjadi agen perubahan di masa depan dengan menguasai teknologi.
Peran teknologi dapat membantu aktivitas keseharian kita. Kita harus mengendalikan diri, mereduksi hal-hal yang sifatnya kurang baik karena kaitanya dengan digitalisasi ada 4 konsep kesuksesan dalam mengunakan digital, yakni:
1) Digital skil, 2) Digital culture, 3) Digital etik, dan 4)Digital saveity (bisa menjaga bisa mengamankan hal hal yang berkaitan dengan data dengan keamanan dan berkaitan apa saja yang di miliki oleh kita.)
Adanya teknologi tidak serta semerta aman, dengan adanya teknologi sangat adanya kaitanya dengan kejahatan tidak semua teknologi itu bersih.
Kita harus bisa memanfaatkan teknologi sebaik mungkin,kita harus bisa melihat cara pandang kita dan peran serta kita dalam memanfaatkan teknologi di kehidupan sehari hari kita. digital sangat bermanfaat sekali di lingkup pondok pesantren.santri itu harus bisa mengikuti perkembangan zaman.
Di era digital pertumbuhan pengguna sosmed sangat signifikan tentunya di usia gen z saat ini. New media saat ini sangat rentang hoax dan konten konten nya itu tidak terkontrol.
Di era digitaliasi saat ini kita sebagai santri harus bisa menjadi subjek bukan hanya menjadi objek. Santri dengan menggunakan literasi yang baik harus bisa mewarnai bisa juga memberikan pengetahuan agama kepada kepada masyarakat melalu media di era digital.
Kita sebagai santri jangan menjadi santri yang anti teknologi tetapi kitalah yang harus bisa menguasi teknologi santri juga harus melek dengan digital dengan bekal mengaji dan bekal ilmu dari para kiyai.
Santri itu sangat butuh pada zaman teknologi ini walaupun santri itu terkenal metode pengajarannya yang masih sufisme atau tradisionalis.
Namun dalam praktektnya seperti halnya hukum syariat ataupun hukum-hukum islam yang lain itu membutuhkan sesuatu sentuhan modern.
Karena, banyak sekali pada hari ini terutama kasus-kasus di media sosial yang menyangkut pengajaran pengajaran agama, kalau santri tidak tau tentang digitalisasi bagaimana mereka akan menanggapi anomali anomali di sosial media yang menyangkut terutama tentang syariat agama.
Dan saya mengambil pelajaran dan kesimpulan bahwa sebagai santri itu haru memiliki yang namanya Quality over quantity (kualitas yang di tingkatkan di banding akses yang di perbanyak) walaupun akses cuman sedikit kita harus bisa membuat sesuatu yang berkualitas.
Dalam waktu 24 jam kita harus bisa membagi waktu. Kita sebagai santri harus membuat konten yang cerdas. Maksudnya adalah kita tidak boleh membuat konten yang menyerang seseorang dan membuat berita hoax.
Juga kita harus membuat konten yang amanh dan pastikan konten yang kita produksi itu bertanggung jawab dan terpercaya.karena, konten konten yang kita buat itu yang melihat, mengomentari dan menilai adalah orang yang menonton kita.
Juga kita pastikan kontenk-konten yang kita buat itu mengandung unsur kejujuran agar konten konten kita dapat di terima oleh orang lain dan sampaikan konten konten yang baik baik itu semua adalah pedoman untuk membuat konten-konten di era digitalisasi saat ini.
*Mahasiswa Asal Jagong Jeget Aceh Tengah, kuliah pada jurusan Komunikasi & Penyiaran Islam Fakultas Dakwah & Komunikasi UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta