Oleh ; Muhammad Syukri*
Dewasa ini, kritik yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) diartikan sebagai kecaman atau tanggapan, seringkali disampaikan secara vulgar.
Cara itu meniru metode kritik di negara-negara liberal yang disampaikan melalui demonstrasi, spanduk, media mainstream dan media sosial.
Sebenarnya konstitusi kita melindungi hak berpendapat sebagaimana diatur dalam Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan bahwa “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.”
Hanya saja tidak semua orang imun dikritik, dikecam atau disanggah. Ada tipe yang “umping,” atau panas telinga dan merah mata. Lalu berujar, kritik tidak sesuai dengan tradisi dan budaya kita.
Padahal, banyak metode kritik terhadap pemimpin dalam berbagai suku di Indonesia.
Misalnya Suku Dayak memiliki tradisi Balai Adat, dimana masyarakat berkumpul untuk membahas permasalahan dan memberikan kritik kepada pemimpin secara terbuka namun tetap dalam koridor adat (https://journal.unnes.ac.id).
Suku Kubu di Sumatra memiliki tradisi penyelesaian konflik secara adat, di mana pemimpin yang dianggap kurang bijak dapat diingatkan melalui ritual adat yang melibatkan tokoh masyarakat (https://media.neliti.com).
Ada juga sindiran simbolik. Dalam budaya Jawa, kritik terhadap pemimpin sering kali disampaikan melalui wayang kulit. Tokoh Semar, misalnya, sering digunakan untuk menyampaikan sindiran terhadap kebijakan pemimpin(https://media.neliti.com).
Dalam budaya Arab, kritik terhadap pemimpin sering disampaikan melalui puisi dan sastra. Penyair seperti Al-Mutanabbi menggunakan karya mereka untuk menyampaikan ketidakpuasan terhadap pemerintahan tanpa secara langsung menantang otoritas (http://wkwk.lecture.ub.ac.id).
Bagaimana metode kritik dalam tradisi Gayo? Kritik di daerah penghasil kopi arabika ini dilandasi pada falsafah “salah bertegah, benar berpapah.” Falsafah ini bukan muncul hari ini, tetapi sudah ada sebelum Republik Indonesia berdiri.
Semasa jangkauan media mainstream masih terbatas dan media sosial belum ada, kritik disampaikan melalui didong. Yaitu seni tradisi lisan yang paling digemari rakyat Dataran Tinggi Gayo.
Sebagai contoh, begini metode kritik yang disampaikan si pengarang lagu didong berjudul Kayu Pirak (dipopulerkan oleh klub didong Dewantara Kebayakan). Ini sepenggal syairnya.
Nume rupe si megah [bukan rupa/penampilan yang dibanggakan]
Sirem manis si turah [ramah tamah yang harus]
Pinang reje arap ni umah [pinang raja di halaman rumah]
Belangi rupe gere beruah [cantik tampaknya tetapi tak berbuah]
Si pengarang lagu mengeritik pemimpin di era itu (1960-an) yang lebih mementingkan penampilan, namun kasar tutur katanya. Suka memaki dan menjatuhkan martabat orang didepan umum.
Dan, mengibaratkan si pemimpin seperti pinang raja yang berbatang besar serta kokoh, nyatanya zonk tidak ada hasil kerja.
Begitulah cara seniman mengeritik pemimpin. Kalimatnya halus, terkadang menimbulkan multi tafsir. Tidak jarang yang dikritik malah menikmati lagu itu sambil menyeruput secangkir kopi.