Cinta dan Ketulusan Kunci Berhasil Madrasah Inklusi

oleh

Catatan Perjalan : Zuhra Ruhmi, M.Pd*

Mentari telah terbit pada 18 Mei 2025, ini hari yang dinanti beranjak ke menuju pesisir. Melepas hangatnya selimut dataran tinggi menuju hembus AC dan angin yang berputar di pusaran kipas angin.

Matahari mulai meninggi, satu dua anggota Forum Pendidik Madrasah Inklusif (FPMI) Aceh Tengah telah berkumpul di kediaman Kak Ruhdiani di Kebet Kecamatan Bebesen.

Sambil menunggu rombongan lainnya, Kak Rahmawati telah meletakkan hasil bumi Aceh Tengah untuk diserahkan kepada tuan rumah.

Tepat tengah hari, seluruh rombongan telah mulai menaiki mobil, berangkat menuju Kuta Radja.

***

Pukul 10.00 19 Mei 2025 mentari telah menyengat hawa panas membuat pipi kami bersemu merah. Ibu Zuyyina yang telah beberapa hari di Banda Aceh telah menunggu kami di Masjid Al-Ishlahiyah Gampong Lambhuk.

Mendengar rombongan telah berada di masjid, Bunda Inklusi Aceh Tengah, Ny Dessilusiana Wahdi yang sedari tadi telah menunggu kami kemudian merapat.

Bapak Drs Abd Rahman dan Pak Budi Darmawan dengan rela hati membawa oleh-oleh hasil bumi Aceh Tengah menyerahkan kepada perwakilan MIN 9 Banda Aceh.

Bak menunggu kehadiran dara baro, kami disambut guru dan siswa berdiri berjajar dan shalawat badar.

Rombongan dipersilahkan masuk ke ruang kelas untuk melihat bagaimana proses madrasah inklusi dijalankan. Tepat di samping meja guru, Wawa sapaan akrabnya sedang asyik mengerjakan lembar kerja.

Dihampiri Ketua FPMI Aceh Tengah Ibu Fashihah M.Pd, Wawa menyodorkan tangan untuk bersamalam. Guru pendamping menghampiri Wawa dan menjelaskan kehadiran kami.

Bu Fashihah menunjukkan gambar di lembar kerja Wawa dan berhasil menyelesikan. Tos dengan Ibu Ruhdiani, Ibu Fashihah dan guru pendamping, wajahnya berbinar.

Guru MIN 9 kemudian mengarahkan kami ke ruang sumber (resouce room) untuk melihat aktifitas Anak Berkentuhan Khusus (ABK).

Ruang Sumber pada madrasah inklusi berfungsi sebagai ruang belajar peserta didik ABK jika terjadi kendala belajar, sebagai ruang konseling dan terapi khusus ketika terjadi kondisi tertentu pada peserta didik ABK.

Guru pembimbing mendampingi masing-masing siswanya beraktivitas di ruang sumber, tatapanku beralih pada spanduk 10 kotak dengan klasifikasi ABK legkap dengan foto dan biodata siswa.

Beragam pertanyaan mengendap, menunggu saat yang tepat. Langkahku mundur, ternyata ketua FPMI Aceh, Dr Ummiyani SAg MPd telah disamping dan menjelaskan rasa penasaran kami.

Kesempatanku bertanya bagaimana tanggapan orangtua ketika gambar anandanya ada di spanduk ABK. Bu Ummi menjawab tegas, kita pakai cara penjual obat bagaimana caranya agar tetap laku. Jawaban singkat yang membuat rasa penasaranku menyala.

Wawa yang berjalan dari kelas menuju ruang sumber, sontak langsung memeluk Bu Ummi erat. Erat sekali. Air matanya menetes dan berbisik, Ibu dari mana? Wawa rindu.

Tangis Bu Ummi pecah, kesedihan merambat, kuangkat kacamata mengusap sudut mata yang basah. Guru MIN 9 Banda Aceh kemudian mengarahkan kami menuju ruang guru untuk pembukaan juga materi dari fasilitator inklusi.

Bukan tanpa alasan, Ibu Ummi menjadi perintis madrasah inklusi di MIN 9 Banda Aceh. Kini telah berpindah tugas selama 11 bulan ke MTsN model Banda Aceh.

Wawa yang sedari tadi masih dalam pelukan Bu Ummi ikut melangkah menuju ruang guru tempat kami berkumpul.

Duduk disamping Bu Ummi dan sejajar dengan Ketua FPMI Aceh Tengah, Ketua FPMI Banda Aceh, Bunda Inklusi Banda Aceh, Bunda Inklusi Aceh Tengah, Kepala MIN 9 Banda Aceh dan fasilitator Sekolah Inklusi.

Perhatian Wawa pada Bu Ummi menyita perhatian kami. Buah yang terhidang di depan Wawa diserahkannya kepada Bu Ummi untuk dinikmati.

Bu Ummi menerima sepiring buah dan menawarkan Wawa untuk memakan buah tersebut. Kejadian ini berulang beberapa kali.

Bu Ummi yang sangat faham dengan keadaan Wawa kemudian memberikan buku dan pulpen mempersilahkan Wawa menulis. “Ibu darimana? Kenapa lama ngak pulang? Wawa rindu,” tulis Wawa di buku agenda. Tulisan Wawa berbuah air mata deras Bu Ummi, menular sapuan tisu di sudut mata kami diiringi

Bu Ummi menyampaikan arahan. Menurut Bu Ummi, kunci dari menjalankan madrasah iklusi adalah cinta dan kasih sayang.

Tanyaku terjawab, cara menjual obat adalah dengan cara mengoleskan pada pasien sehingga mereka merasakan manfaatnya. Cara yang dimaksud oleh Ibu Ummi yang seringkali menggunakan istilah, adalah melakukan Asesmen awal ketika siswa akan masuk ke madrasah.

Asesmen yang menghadirkan psikolog ini harus diseretai orangtua sehingga mereka akan mengetahui hasil anandanya dan menerima dengan lapang dada.

Maka pencantuman nama di spanduk ABK yang terpasang di madrasah tidak menjadi masalah dengan orang tua.

“Ini bukan soal keterbatasan tapi juga masalah komunikasi yang dibangun,” kata Bu Ummi.

Tak hanya itu, Menurut Bu Ummi, kunci keberhasilan madrasah inklusi adalah cinta dan ketulusan hari.

“Sebenarnya menjalankan madrasah inklusi artinya kita telah menjalankan firman Allah dalam surat Abasa, bagaima kesungguhan Abdullah bin Ummi Maktum menuntut Pelajaran Agama, karena buta, beliau tidak melihat Rasul sedang mendakwahi pemuka Quraisy agar masuk Islam. Kemudian Rasul berpaling dan bermuka masam, maka turunlah surat Abasa ini,” kata Bu Ummi.

Tak hanya ketulusan Bu Ummi, tayangan dari MIN 9 Banda Aceh bagaimana cara madrasah menangani anak-anak ABK secara inklusi menyita empati bagaimana  harusnya ABK diperlakukan.

Tapi seringkali keberuntungan tak berpihak pada mereka. Bukan karena ingin mendiskriminasi tapi karena ketidaktahuan, maka kejadian yang menyentuh dan menyita empati ini menjadi alasan kenapa harus melakukan studi tiru ke MIN 9 Banda Aceh

*Penulis adalah anggota bidang hukum dan advokasi FPMI Aceh Tengah

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.