[Puisi Berbahasa Gayo] Antara Tulu Kute

oleh

[Puisi Berbahasa Gayo] Antara Tulu Kute

Emha Ainun Najib

i Yogya aku ranap nomé
kuyu i kuwenku nengkor
seluruh kute pé lagu wan kubur
batang-batang ni kayu temunuh
i sien kao turah belejer berlatih
tetap mórip sire temunuh

kusi die turah kuhedepen rupe
kati setimang antara nomé den jege?

Jakarta mugerantang nasibku
menyenawat mudere kerlangku
gere ara ruang kin ongotku
matanilao mujoréngiaku
kiruh lingngé menekaren aku
metuh bergelut dul

kusi die turah kuhedepen rupe
kati setimang antara nomé den jege

Surabaya lagu lelahé
gere nomé lagu koro tue
gere juge munukenen mata
ketapé i soné ara kelé naténgku
si osop kemangngé
ike aku mudekatié

kusi die turah kuhedepen rupe
kati setimang antara nomé urum jege?

* Diterjemahkan dari judul asli “Antara Tiga Kota”, Antologi Puisi XIV Penyair Yogya, MALIOBORO,1997. Diterjemahkan ke dalam Bahasa Gayo oleh Salman Yoga S.

Emha Ainun Nadjib bernama asli Muhammad Ainun Nadjib. Llahir pada tanggal 27 Mei 1953, anak keempat dari 15 bersaudara. Ayahnya abernama Muhammad Abdul Latief dan ibunya bernama Chalimah, ayahnya adalah petani dan tokoh agama (kyai) yang sangat dihormati masyarakat di Sumobito, Jombang Jawa Timur. Sedang ibunya menjadi panutan warga yang memberikan rasa aman dan banyak membantu masyarakat. Ia lebih dikenal dengan nama Cak Nun/Mbah Nun, adalah seorang penyair, esais, kiai, ulama dan budayawan Indonesia. Mulai menulis puisi ketika tinggal di Yogyakarta, dan menerbitkan koleksi pertamanya pada tahun 1976. Ia menjadi salah satu penyair terkemuka di kota itu pada akhir 1980-an, dan pada saat itu juga mulai menulis esai. Ia adalah pemimpin kelompok Kiai Kanjeng, yang mementaskan drama dan pertunjukan musik dengan tema-tema religius. Puisi-puisinya memiliki unsur kritik social, namun yang lebih menonjol adalah nilai-nilai Islam sebagai santri atau sufi. Islam juga merupakan subjek umum untuk esai-esainya. Tulisannya telah mengambil berbagai bentuk, termasuk puisi, esai, novel, dan cerita pendek. Menjelang kejatuhan Soeharto, Cak Nun merupakan salah satu tokoh yang diundang ke Istana Merdeka untuk dimintakan nasihatnya, yang kemudian celetukannya diadopsi oleh Soeharto berbunyi “Ora dadi presiden ora pathèken” (arti dalam bahasa Indonesia adalah “tidak jadi presiden tidak apa-apa”). Setelah era Reformasi, Cak Nun bersama Gamelan Kiai Kanjeng memfokuskan berkegiatan bersama masyarakat di pelosok Indonesia.[SY]

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.