Tren Kabur Aja Dulu

oleh

Oleh : Nailul Amna*

Tren Kabur Aja Dulu belakangan ini ramai dibicarakan di berbagai platform media sosial Indonesia, seperti X (dulu Twitter), Instagram, dan TikTok.

Fenomena ini mencerminkan rasa frustrasi, terutama dari kalangan anak muda, terhadap situasi sosial dan politik di tanah air.

Awalnya, ungkapan ini muncul sebagai candaan di kalangan netizen. Namun, seiring berjalannya waktu, “Kabur Aja Dulu” mulai dianggap sebagai bentuk ekspresi serius atas ketidakpuasan terhadap kondisi Indonesia saat ini.

Ada beberapa alasan yang mendorong munculnya tren ini, di antaranya:

• Sulitnya mendapatkan pekerjaan yang layak, bahkan bagi lulusan perguruan tinggi.

• Rendahnya upah yang diterima, terutama bagi para fresh graduate, yang dianggap tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup.

• Ketidakpuasan terhadap kebijakan pemerintah yang dinilai kurang berpihak pada rakyat.

• Kekecewaan terhadap sistem yang dianggap tidak memberikan ruang bagi aspirasi generasi muda.

• Keinginan untuk mencari kesempatan yang lebih baik di luar negeri, baik dalam hal karier, pendidikan, maupun kualitas hidup.

Edward Hutasoit, General Manager YouGov Indonesia, mengatakan bahwa dalam dunia konsumen terdapat tren yang hanya sebatas bahan perbincangan, namun ada juga tren yang mendorong tindakan nyata.

Ia menjelaskan bahwa fenomena migrasi ini bisa jadi bukan sekadar wacana bagi sebagian orang, melainkan rencana serius yang sedang dipertimbangkan.

Berdasarkan survei YouGov pada 28–27 Februari 2025, tercatat bahwa 48% generasi Z mempertimbangkan untuk pindah ke luar negeri dalam beberapa tahun ke depan. Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan generasi milenial (31%), generasi X (26%), dan baby boomer (12%).

Terkait fenomena ini, beberapa negara merespons dengan positif. Pada Sabtu (22 Februari 2025), Duta Besar Jepang untuk Indonesia, Masaki Yusushi, menyampaikan bahwa pelajar Indonesia tetap bisa menempuh pendidikan di Jepang meski kemampuan bahasa Jepang mereka belum terlalu fasih.

Sebab, banyak universitas di Jepang kini sudah menggunakan bahasa Inggris sebagai pengantar.

Ia juga menyampaikan bahwa Jepang terbuka untuk menerima pekerja terampil dari berbagai negara, khususnya Indonesia.

Menurutnya, tenaga kerja Indonesia dikenal rajin dan berdedikasi di berbagai bidang seperti layanan kesehatan, manufaktur, pertanian, perikanan, dan jasa.

Ada beberapa hal yang mendorong tren ini semakin menguat. Pertama, tumbuhnya kesadaran akan pentingnya kesehatan mental membuat banyak orang merasa bersalah ketika mengabaikannya.

Kedua, tekanan hidup yang kian kompleks—mulai dari kondisi ekonomi yang sulit, tuntutan sosial yang tinggi, hingga lingkungan kerja yang tidak menentu—membuat generasi muda merasa cepat kelelahan.

Selain itu, kemajuan teknologi yang menyediakan pelarian instan melalui hiburan digital juga memperkuat kecenderungan untuk “menghindar” alih-alih menghadapi masalah secara langsung.

Tren “kabur dulu aja” memiliki dua sisi. Di satu sisi, tren ini bisa membawa manfaat positif karena mendorong orang untuk lebih sadar akan batas kemampuannya, menghindari kelelahan mental, dan memberi waktu untuk menyembuhkan luka emosional.

Banyak yang mulai berani berkata “cukup” sebelum benar-benar hancur. Namun di sisi lain, jika kebiasaan ini dijalani tanpa rasa tanggung jawab, bisa memunculkan generasi yang rentan, kurang kuat menghadapi tantangan, dan cepat menyerah.

Tidak semua persoalan bisa diselesaikan dengan menghindar; ada banyak situasi yang tetap membutuhkan keberanian untuk dihadapi. Jika budaya menghindar dibiarkan tanpa kritik, kita bisa kehilangan nilai-nilai ketangguhan yang dulu menjadi kekuatan bangsa ini.

*Mahasiswa IAIN Lhokseumawe asal Aceh Utara

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.