Oleh : Muchlis Gayo, SH, M.Si*
Tulisan ini tidak bermaksud mengkritisi upacara nik ni reje Haili Yoga, Muhsin Hasan pada tanggal 5 Maret 2025, di pendopo Aceh Tengah, penulis hanya menggali sumber hukum dari upacara tersebut.
Keinginan menulis tentang Munik Ni Reje ini muncul setelah melihat upacara yang sama diera Bupati terpilih SAFDA yang diinisiasi oleh Majelis Adat Gayo, Lembaga yang lahir berdasarkan UU PA No. 11 tahun 2006.
Berdasarkan UU No. 24 Tahun 1956, baru 2 tahun usia Propinsi Aceh dan Kabupaten Aceh Tengah, atau diusia ke 8 Kemerdekaan Indonesia, Pemerintah Daerah Aceh telah mampu melaksanakan Pekan Kebudayaan Aceh pada 12 Agustus 1958.
Dalam sambutan pembukaan, Ketua Penyelenggara T. Hamzah dan Gubernur Ali Hasjimi menyatakan tujuan penyelenggaraan PKA untuk menggali kembali keperibadian atau sistem nilai budaya Aceh, tema yang sama pada PKA Ke 2 tahun 1972 yang penulis ikuti.
Tiga bulan sebelum pelaksanaan PKA ke 2, Bupati Aceh Tengah almarhum Nurdin Sufie mengumpulkan orang-orang yang diangap mengetahui dan mengerti tentang semua Unsur Kebudayaan Gayo.
Dalam arti luas : orang yang paham dan mengeti akan Bahasa, System pengetahuan, Organisasi sosial, System peralatan hidup dan teknologi, System mata pencaharian hidup, System religi dan magi, Kesenian (kebudayaan dalam arti sempit) masyarakat Gayo, baik pra penjajahan maupun pasca penjajahan Hindia Belanda di Tanah Gayo.
Dari penyelenggaraan PKA ke 1 Aceh Tengah terbaik, dan Juara umum pada PKA ke 2. Acara yang paling menarik dan meriah, upacara penyerahan Gajah Putih, dari Bupati AcehTengah simbolisnya Sengeda kepada Gubernur Aceh simbolisnya Sultan Iskandar Muda, dan upacara adat perkawinan Gayo.
Dari PKA 1 sampai PKA ke 8 tidak ada upacara penobatan Sultan Aceh, Raja Lingga maupun Raja Isak, yang dijadikan dasar Upacara Munik dan Munirin Reje Bupati Bupati Aceh Tengah.
Upacara penobatan Raja yang sering kita lihat di media, penobatan Raja dari negara non Islam, seperti Raja Inggris, dan Jepang.
Penulis belum pernah membaca atau melihat upacara penobatan Raja dari negara-negara Islam, kecuali Malaysia negara persemakmuran Inggeris, dan Syah Iran Mohammad Reza Pahlavi (16 september 1941 sampai 11 pebruari 1979).
Menurut folkrol, atau ceritera turun temurun, Sengeda dinobatkan menjadi Raja hanya dengan pemberian “Bawar” oleh Sultan Iskandar Muda dan pemberian Gelar “Raja Boekit ke XIV serta wilayah kekuasaan di pinggir danau Lut Tawar, sekarang kampung Reje Boekit.
Bawar yang diserahkan ke Sengeda Bawar yang dirampas Raja Lingga ke XIII dari Bener Meriah tatkala mereka berdua mengunjungi saudara ayahnya itu, dianggap ingin merebut tahta, Bawar dirampas, dan perintah keduanya dibunuh, Sengeda diselamatkan Cik Serule, dan Bener Meriah dibunuh algojonya Raja.
Bagaimana dengan upacara munirin reje ?, Sepengetahuan penulis dari ceritera turun temurun, munirin Reje itu bukan Reje di level Bupati, tetapi reje atau pemimpin suatu Blah/Cland, missal Reje Blah Gunung di Kebayakan.
Bagaimana peristiwanya? setiap 1 syawal atau hari pertama Idul fitri “Reje muniri “ (mandi sendiri), setelah berpakaian rapi Reje keluar rumah menemui rakyatnya yang sudah menunggu di depan rumahnya, didepan rumah Reje memberi sambutan, inti sambutan “meminta maaf mungkin selama 1 tahun ada kekhilafan, kesalahan reje”, setelah memberi sambutan mereka bersama menuju ke lapangan lokasi shalat Iedul fitri.
Tradisi reje meminta maaf ini menjadi tradisi resmi pemerintah Aceh Tengah,sampai saat ini, sebelum shalat Ied Bupati memberi sambutan, yang intinya meminta maaf. Tradisi resmi ini hanya ada di Kabupaaten Aceh Tengah, tidak ada di daerah lain, kecuali di kabupaten pemekaran dari Aceh Tengah.
Lantas pertanyaannya masih perlukah upacara nik ni reje dilaksanakan pada Masyarakat yang multi etnis dan culture ini?
Jawabnya Perlu, apabila; “Masyarakat Adat Gayo, dan system nilai budaya Gayo itu masih ada”.
Pengertian Masyarakat adat, adalah “ sekumpulan manusia yang hidup berkelompok di satu lokasi dengan mewarisi system nilai budaya yang sama dari leluhurnya”. Pertanyaan, masih adakah Masyarakat adat Gayo itu?
Hasil observasi lapangan, penulis menemukan data secara acak, yang disebut masyarakat Gayo Aceh Tengah adalah, ; Sejak awal abad 16 sudah terjadi perkawinan silang antara perempuan suku Gayo dengan pria dari Karo, keturunanya disebut Gayo Bermarga, etnis asli Gayo ( ceruk Mendale/kebayakan) disebut Gayo Berbelah.
Sekitar awal abad ke 19 atau tahun 1917, pemerintah Hindia Belanda membawa ratusan pasang transmigrasi dari Pulau Jawa, disusul translokal dari Deli, dan Cot Girek.
Kemudian migrasi pedagang dari Sumbar, Sumut dan pesisir Aceh. Tahun 1980 kembali masuk transmigrasi dari Pulau Jawa.
Dengan demikian komposisi kemajemukan ethnis di Aceh Tengah diperkiarakan : Gayo asli, atau turunan ceruk Mendale tersisa 0.1 %, Gayo campur 29,9 %, keturunan dari pulau Jawa 40 %. ( pembuktian Gayo campur, mari kita cek masing-masing keturunan kita).
Dengan komposisi seperti itu, masihkah dapat kita sebut Masyarakat Aceh Tengah “ Masyarakat adat Gayo?”. Tentu jawabnya Tidak, sudah bilangan abad kita kehilangan keaslian system nilai budaya dan adat Gayo.
System nilai budaya Gayo hari ini hasil dari proses difusi dan akulturasi dari multi ethnis .
Harapan, atau asa penulis, semoga Pimpinan Daerah hari ini siap melaksanakan proposal yang penulis ajukan pada priode Bupati terdahulu, yaitu melaksanakan Amanah UU No. 5 tahun 2017 tentang pemajuan kebudayaan yang inplementasinya diatur oleh permendikbudristek No. 6 tahun 2023 tentang penyusunan pokok Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah.
*Penulis, pengajar Antropologi Budaya di Fak. Hukum Untag Jakarta, penggiat Budaya dan Seni Gayo.