Oleh: Salman Yoga S*
Pembicaraan hangat di media sosial hari ini adalah perihal Jagong Jeget Joget (Tri J). Hal tersebut bukan saja mengusik kalangan agamawan, masyarakat dan organisasi tetapi juga organisasi profesi seni.
Sebagai sebuah seni pertunjukan, dalam meluapkan kegembiraan atau bagian dari sebuah keliaran ekspresi hal tersebut sudah ada sejak ribuan tahun silam.
Dan potensi interes tersebut biasanya didominasi oleh kalangan muda dan kelompok hedonism dalam peradaban dengan standar estetika yang rendah namum berteknologi maju.
Namun demikian, dari fakta Jagong Jeget Joget (Tri J) dalam tulisan ini akan menilik sejarah berkembangnya fornografi dan fornoaksi dalam peradaban manusia, disamping issue pornografi dan pornoaksi sendiri dalam ketatanegaraan sudah menjadi regulasi dan sudah dirumuskan sehingga menjadi sebuah Undang-Undang (UU).
Sebagian kalangan intertain dan seniman (artis) berpandangan bahwa dalam mengekspresikan seni selayaknya terbebas dari pola pandang tata nilai dan budaya yang kaku.
Seni untuk seni dan itu harus bebas; adalah jawaban akhir mereka dalam membela semua produk seni yang bernuansa pornografi dan pornoaksi.
Kesenian sendiri dalam konteks keilmuan dan aplikasi diartikan dengan berbagai pandangan. Seperti pendapat yang dikemukakan oleh S Graham Brade-Bieks yang menyatakan bahwa seni dalam arti luas adalah penggunaan budi pikiran untuk menghasilkan karya yang menyenangkan bagi ruh manusia.
Ini meliputi pengungkapan khayali yang jelas mengenai benda-benda (atau pikiran tentang benda-benda) seperti dalam pahatan, lukisan dan gambar.
Menurut Erich Kahler, seni adalah suatu kegiatan manusia yang menjelajahi, dan dengan ini menciptakan, kenyataan baru dalam suatu cara penglihatan yang melebihi akal dan menyajikannya secara perlambang atau kiasan sebagai suatu kebulatan alam kecil yang mencerminkan suatu kebulatan alam semesta.
Sementara itu menurut Susanne K. Langer, seni adalah istilah umum yang mencakup lukisan, musik, tari, sastra, drama, dan film.
Kesemua itu dapat dibatasi sebagai kegiatan menciptakan bentuk-bentuk yang dapat dimengerti, yang mengungkapkan perasaan manusia.
Sedangkan menurut The Liang Gie, seni adalah segenap kegiatan budi pekerti seseorang (seniman) yang secara mahir menciptakan sesuatu karya sebagai pengungkapan perasaan manusia.
Hasil dari kegiatan itu ialah suatu kebulatan organis dalam suatu bentuk tertentu dari unsur-unsur yang bersifat ekspresif yang termuat dalam suatu medium indrawi.
Seni termasuk pengertian yang terkena oleh dwi perbedaan proses yang produk. Seni adalah suatu (proses) dan sekaligus juga sebagai hasil kegiatan (produk), kedua hal ini tidak dapat dipisahkan.
Meskipun demikian, tidak semua hasil karya cipta manusia disebut dengan seni. Sebab secara spesifik, seni merupakan bentuk dari ciri objektif sebuah hasil karya manusia, atau dengan istilah lain disebut dengan signifikan form. Demikian kata Clive Bell menulis dalam bukunya yang berjudul Art tahun 1914.
Ekspresi seni yang berhubungan dengan pornografi terkait dengan seni erotis yang telah muncul sejak zaman pra sejarah. Hal tersebut dapat dilihat dari hasil karya berupa lukisan, pahatan, bangunan, dekorasi dan berbagai benda lainnya. Seni erotis adalah seni yang mengungkapkan alat vital, nafsu seks, dan hubungan kelamin pada manusia.
Seni ini telah ada sejak zaman lampau yang jauh ke belakang dan ada pada hampir semua pelosok dunia dan semua bangsa (kelompok orang sebelum ada pengertian bangsa).
Sebuah contoh sederhana dari seni erotis adalah sebuah gambar telanjang dan gambar dua orang berbeda jenis kelamin berbeda tengah bercumbu pada batu di daerah Sahara-Atlas Afrika, yang berasal dari zaman batu lebih kurang 750.000 tahun yang lalu.
Salah satu karya terkenal lainnya adalah karya Ovidius, Ars Amatoria (seni bercinta). Karya yang dibagi dalam tiga jilid ini menggambar dengan rinci tentang cara-cara merayu, menggoda dan merangsang nafsu birahi.
Meskipun menurut sejumlah pakar, tujuan pengarangnya tidak sekedar ingin berpornografi ria. Sang penulis Ovidius dari satu sisi ingin menunjukkan dan membeberkan tentang kebobrokan moral pada zaman itu, yang terutama dilakukan oleh kelompok-kelompok elit melalui media seni.
Hal terakhir ini tidak saja terjadi di dunia Barat, tetapi juga di dunia Timur. Kesusastraan Arab mengenal cerita Seribu Satu Malam, yang melukiskan perilaku seks orang Arab pra Islam.
Demikian juga dengan masyarakat Hindu yang dalam konteks kesenian tidak dapat dipisahkan dari kitab Kama Sutra. Buku tuntunan bercinta ini telah diterjemahkan ke dalam banyak bahasa. Buku yang diperkirakan berasal dari abad ke-4 Masehi yang ditulis oleh Mallagana Vatsyayana.
Sementara di Indonesia, seni erotis (yang dalam pandangan kekinian diterjemahkan sebagai salah satu bentuk pornografi) sifatnya lebih tersembunyi, berdalih sebagai bagian dari sebuah kebudayaan dan kekayaan sejarah tersendiri.
Namun secara kasat mata hal tersebut cukuplah memberi gambaran kepada kita untuk melihat lebih jauh tentang sejarah seni erotis dalam kebudayaan kita.
Banyak candi-candi sebagai bukti yang tak mampu mengelak akan hal itu. Sebut saja candi Sukuh di lereng barat Gunung Lawu, kira-kira 30 kilometer dari Solo Jawa Tengah, menjadi bukti pertama kehadiran karya pornografi di Indonesia. Candi agama Syiwa ini diperkirakan berdiri sekitar 1437-1438 Masehi.
Dilihat dari sejarah penyebaran agama Budha dan Hindu di Indonesia sesungguhnya berasal dari India, yang juga banyak memiliki candi-candi dengan relief-relief bermotif manusia telanjang dengan ekpresi yang berbeda-beda.
Jadi relief yang terdapat pada sejumlah candi-candi di Indonesia sangat erat hubungannya dengan agama dan dengan mitos mengenai seni erotis pada bangsa India.
Dari sejumlah literatur, ditemukan bahwa seni erotis dimulai di Yunani dan Romawi. Namun perkembangannya mencapai puncak di Inggris dan Perancis pada abad pertengahan.
Sebelum abad ke-19 hal tersebut belum merupakan suatu kategori penulisan atau refsentasi atau visual sendiri sebagai sebuah produk seni.
Dalam masyarakat Eropa modern, antara 1500 dan 1800, kesenian paling sering digunakan sebagai alat pengkritik kekuasaan politik dan agama.
Sebagai suatu kategori sendiri, yang secara perlahan-lahan timbul dalam masa antara renaisans dan revolusi Perancis, seni erotis amat dipengaruhi penemuan dan perkembangan percetakan.
*Dr. Salman Yoga S, adalah Dewan Pakar Dewan Kesenian Aceh (DKA), Dosen UIN Ar-Raniry, Ketua Lembaga The Gayo Institute (TGI) dan redaktur Sastra-Budaya Media LintasGAYO.co.