Mengukur Jejak Gajah

oleh
Konflik gajah di Krueng Simpo sekitar tahun 1903.[dok. Aman dio]

Oleh : Zulfikar Ahmad Aman Dio*

Di antara keheningan petak-petak lahan pertanian warga hadir rencana besar para pemodal, keselarasan antara alam dan manusia dalam harmoni yang seimbang kini tergeser oleh deretan pohon kelapa sawit yang rapi tapi sunyi.

Batas-batas baru diciptakan, bukan oleh alam, melainkan oleh kepentingan, memaksa konflik merayap ke luar, ke desa-desa yang terlupakan.

Gajah-gajah tak lagi melintas di tanah mereka sendiri, tetapi terdesak, menjejak langkah-langkah mereka di perbatasan lahan yang tak mengenal belas kasihan.

Di antara desah napas pepohonan yang ditebang diam-diam, konflik menjadi riuh. Gajah-gajah yang dulu berbaris di sabana luas, kini berjalan dengan ketakutan.

Jejak mereka yang dulu tak terhapus oleh waktu, kini dilintasi oleh jalan aspal, dan kebun sawit. Mereka bukan lagi raja di rimba, tapi pengembara yang tersesat di negeri yang tak lagi mengenal mereka.

Konflik antara manusia dan gajah di Peusangan bukanlah cerita baru. Ini kisah yang tua, bahkan sejak kolonial, ketika jalan pertama dibangun, meretas ke dalam hati hutan yang dulu tak tersentuh.

Gajah, lambang kekuatan dan kebijaksanaan di banyak mitologi, kini menjadi musuh bagi para petani yang melihat tanamannya hancur dalam semalam.

Sementara manusia, penghuni tanah itu sejak lama, semakin merasa terancam oleh kehadiran binatang yang dulu dianggap suci.

Di mana batasan antara pelindung dan perusak? Setiap kali seekor gajah mati, suara hukum berdentum: pelakunya dihukum, penjara menanti.

Tapi ketika manusia yang menjadi korban—ladang habis dilindas, nyawa melayang—belasungkawa menjadi kata yang sepi, sekadar basa-basi. Apakah ini yang dimaksud melindungi segenap tumpah darah yang dijanjikan UUD 1945?

Dalam setiap konflik, ada yang tak terucap. Masyarakat yang tinggal di tepi hutan, mereka yang hidup di antara ancaman dan ketidakpastian, sering merasa terlupakan.

Negara tampak begitu jauh ketika gajah datang, ketika pagi hari yang cerah berubah menjadi kerusakan. Di mana peran negara yang katanya hadir untuk semua? Mengapa selalu ada pihak yang merasa lebih dilindungi—gajah atau manusia?

Tapi gajah, seperti manusia, juga adalah korban. Mereka tidak meminta untuk diusir dari hutan, dipaksa berjalan jauh, melintasi batas-batas baru yang tidak pernah mereka pahami.

Mereka hanya mencari makan, mencari rumah. Dan manusia, yang dipaksa berhadapan dengan mereka, tidak selalu punya pilihan. Kedua-duanya terjebak dalam spiral yang tak berujung, di antara ruang hidup yang semakin sempit.

Pertanyaannya: apakah ini semata konflik yang tak terhindarkan, atau ada sesuatu yang lebih besar yang perlu dipertanyakan?

Tentang bagaimana kita mengelola ruang, tentang bagaimana kita memandang satwa liar, dan tentang bagaimana negara menegakkan keadilan bagi semua makhluk yang menghuni tanah ini—manusia maupun bukan.

Gajah adalah bagian dari sejarah kita, bagian dari mitos dan kenyataan. Dan ketika kita berbicara tentang menyelamatkan mereka dari kepunahan, kita juga berbicara tentang menyelamatkan sebagian dari diri kita sendiri—sebagian dari kemanusiaan kita yang barangkali telah terlupakan di tengah kebisingan pabrik sawit dan deru pembangunan.

Di mana solusi berada? Barangkali, di antara langkah-langkah besar yang tersisa di tanah, di antara jejak-jejak yang harus kita pahami kembali—sebelum semuanya hilang, dan kita hanya tinggal bercerita tentang masa lalu, ketika gajah masih menjadi raja di rimba. []

 

 

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.