Menjual Suara Berdampak Buruk Bagi Generasi

oleh

Oleh: Al Haura Millani*

Dalam sistem demokrasi, suara rakyat adalah wujud dari hak asasi dan tanggung jawab politik untuk menentukan pemimpin yang mampu membawa perubahan positif. Namun, sering kali dalam setiap kontestasi politik, fenomena money politics atau politik uang mencoreng idealisme demokrasi tersebut.

Money politics secara langsung menggambarkan sebuah transaksi yang seharusnya tidak ada dalam demokrasi, di mana suara atau hak pilih dijadikan komoditas yang bisa diperdagangkan.

Masyarakat yang terjebak dalam praktik ini seolah-olah menerima keuntungan jangka pendek berupa uang atau barang, tanpa memikirkan efek jangka panjang terhadap pembangunan dan kesejahteraan daerahnya.

Pemilih harus menyadari bahwa, menjual suara dalam Pilkada sangat berdampak buruk bagi generasi berikutnya, ada beberapa alasan:

1. Suara pemilih adalah inti dari demokrasi

Di negara demokrasi, suara pemilih adalah pilar utama yang melindungi kedaulatan rakyat. Ketika seseorang memilih pemimpin, dia sesungguhnya sedang memilih arah kebijakan yang akan memengaruhi kesejahteraan bersama.

Seorang pemimpin yang dipilih dengan suara bersih, tanpa transaksi politik uang, berpotensi lebih besar untuk bekerja sesuai mandat rakyat, memperjuangkan kepentingan publik, serta memastikan pemerintahan yang transparan dan akuntabel.

Namun, dalam praktik politik uang (jual beli suara), hubungan antara pemimpin yang terpilih dan pemilih berubah. Pemimpin yang terpilih karena praktik ini merasa bahwa kewajibanya kepada pemilih sudah selesai karena dia telah membeli suara pemilih, dan pemilih pun sudah merelakan suaranya.

Tugas selanjutnya yang harus diemban pemimpin terpilih tersebut adalah mengikuti kemauan para elit atau pihak yang menyediakan uang, bukan pada rakyat karena itu merupakan janji/hutang pemimpin kepada penyedia uang.

Dampaknya, banyak Perencanaan pembangunan yang tertuang dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) akan lebih menguntungkan kelompok tertentu daripada masyarakat luas.

Ini menjadi awal dari rusaknya tatanan demokrasi di tingkat lokal, di mana rakyat tidak lagi dianggap sebagai sumber kedaulatan, melainkan sebagai komoditas.

Sebagaimana yang disampaikan oleh M. Hasbi Umar “Hak suara hanya akan menjadi komoditas politik di tengah persaingan antar kandidat. Kedaulatan rakyat menjadi tidak berarti karena uang telah dimainkan di mana selanjutnya akan merugikan mereka” (Journal article // Al-Risalah).

2. Abai terhadap kebutuhan Generasi Muda Daerah

Salah satu dampak paling merusak dari praktik menjual suara adalah konsekuensi jangka panjangnya terhadap generasi mendatang. Pemimpin yang terpilih melalui transaksi suara cenderung abai terhadap kebutuhan pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan masyarakat.

Ini akan sangat berdampak buruk bagi generasi muda yang membutuhkan infrastruktur pendidikan yang baik, akses layanan kesehatan yang memadai, serta lapangan pekerjaan yang bisa menopang masa depan mereka.

Dengan pemimpin yang tidak berintegritas dan hanya fokus pada kepentingan pribadi atau kelompok, program-program pembangunan daerah yang strategis cenderung diabaikan.

Contohnya, kebijakan untuk meningkatkan mutu pendidikan, membangun fasilitas umum, atau menyediakan program kesejahteraan sosial sering kali terbengkalai karena dana yang seharusnya dialokasikan untuk hal tersebut malah digunakan untuk kepentingan lain, seperti memperkaya diri atau kelompok pemberi uang/modal.

Walaupun mereka berjanji untuk memenuhi kebutuhan pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan masyarakat, mereka akan melakukannya diakhir masa jabatannya, mereka lebih mendahulukan kepentingannya dengan tujuan mengembalikan uang/modal yang telah mereka keluarkan pada saat kampanye.

Ketika hal ini terjadi, generasi muda daerah akan kehilangan kesempatan untuk berkembang di daerah mereka. Mereka mungkin tidak akan mendapatkan pendidikan yang layak, akses terhadap teknologi, atau bahkan sulit mendapatkan peluang pekerjaan karena keburu diisi oleh kelompok-kelompok pemimpin yang terpilih.

Pada akhirnya, generasi muda yang terpinggirkan ini akan mencari alternatif dengan cara merantau ke luar daerah atau bahkan ke luar negeri demi mencari kehidupan yang lebih baik, sehingga daerah tersebut akan kehilangan potensi SDM terbaiknya. Atau bisa jadi generasi ini akan menjadi pengangguran yang pertingkah laku meresahkan masyarakat.

3. Menyiapkan modal untuk membeli suara pada pilkada selanjutnya

Money politics tidak hanya menciptakan pemimpin yang tidak adil, tetapi juga membangun kultur korupsi yang merusak seluruh lapisan masyarakat.

Pemimpin yang terpilih karena praktik ini biasanya akan melakukan korupsi untuk menyiapkan dana kampanye untuk pemilihan Kepala Daerah selanjutnya. Pemimpin ini dan kelompoknya akan merupaya agar kelompok mereka dapat terpilih kembali sebagai “status quo”.

Ketika praktik korupsi merajalela, yang paling merasakan dampaknya adalah masyarakat miskin. Fasilitas kesehatan tidak memadai, program bantuan sosial tidak tepat sasaran, dan infrastruktur rusak.

Dalam jangka panjang, hal ini akan menciptakan ketimpangan sosial yang semakin lebar, di mana hanya kelompok elit yang mampu menikmati kesejahteraan, sementara mayoritas rakyat terpinggirkan.

Ketidakadilan sosial ini akan semakin memperburuk kondisi generasi muda, yang seharusnya menjadi penerus pembangunan daerah. Mereka akan tumbuh dalam lingkungan yang tidak mendukung perkembangan intelektual dan moral yang baik, sehingga sulit bagi mereka untuk berkontribusi positif bagi masyarakat.

Berhentilah menjual suara

Praktik politik uang dalam Pilkada tidak hanya merusak proses demokrasi, tetapi juga menghancurkan masa depan suatu daerah.

Dengan menjual suara, masyarakat secara tidak langsung menyerahkan nasib generasi mendatang kepada pemimpin yang tidak berintegritas dan tidak adil.

Dampak jangka panjang dari politik uang adalah korupsi, ketimpangan sosial, serta kemiskinan yang akan terus membelenggu generasi berikutnya.

Oleh karena itu, penting bagi kita semua untuk menyadari bahwa suara dalam Pilkada adalah amanah besar yang harus dijaga. Suara bukanlah komoditas yang bisa diperdagangkan, melainkan hak demokrasi yang menentukan masa depan kita dan anak-anak kita.

Menjual suara dalam Pilkada sama saja dengan menjual generasi daerah, dan kita tidak boleh membiarkan hal itu terjadi.

Untuk menghentikan praktik money politics, diperlukan upaya bersama dari berbagai pihak, terutama masyarakat. Kesadaran masyarakat tentang pentingnya menjaga suara mereka dari godaan politik uang menjadi kunci untuk memastikan Pilkada yang jujur dan adil.

“Politik uang berdampak buruk bagi penyelenggaraan pilkada, pemilih, dan sekaligus masa depan daerah. Persaingan antarcalon jadi tidak adil, pemilih dibuat makin pragmatis, dan calon yang menang karena politik uang berpotensi melanjutkan kecurangannya dengan menyalahgunakan kewenangan ketika berkuasa”. (ICW; Politik Uang dan Makelar Suara)

*Warga Aceh Tengah, Mahasiswi UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Jurusan Hukum Tata Negara.

 

 

 

 

 

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.