Oleh : Akshar, ST., M.Kom*
Media berfungsi sebagai sarana informasi, informasi yang menyediakan data dan analisis kepada pemilih untuk membantu mereka membuat keputusan yang tepat dalam memilih calon kepala daerah sebagaimana diatur dalam Pasal 3 (1) Undang-Undang nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, menyatakan “Pers nasional mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial”.
Dalam era digital, media telah menjadi senjata utama dalam kontestasi politik, terutama dalam pemilihan kepala daerah.
Di tengah gempuran informasi yang begitu deras, tim sukses (timses) calon kepala daerah memanfaatkan berbagai platform media untuk membangun citra, menyebarkan program, dan, yang tidak kalah penting, menyerang lawan.
“Perang” media ini bukan hanya soal adu strategi, tetapi juga pertarungan etika yang mempengaruhi kualitas demokrasi di tingkat lokal.
Dalam tulisan ini, kita akan membahas bagaimana perang media ini terjadi, strategi yang digunakan, serta manipulasi media dan dampaknya.
Strategi Media dalam Kampanye Politik
Tim sukses calon kepala daerah seringkali menggunakan media untuk membangun narasi yang mendukung kandidat mereka.
Ini dapat dilakukan melalui berbagai cara, mulai dari iklan politik yang mempromosikan keunggulan calon, hingga pemberitaan yang disesuaikan untuk menunjukkan sisi positif sang kandidat.
Di sisi lain, mereka juga dapat menggunakan media untuk menyerang lawan politik dengan menyoroti kelemahan atau kesalahan yang pernah dilakukan, baik melalui pemberitaan yang condong negatif maupun melalui kampanye hitam (black campaign).
Media sosial seperti Facebook, Instagram, Twitter, dan YouTube bahkan Whatshapp menjadi senjata utama dalam kampanye politik modern.
Kecepatan penyebaran informasi dan kemampuan untuk menjangkau pemilih secara langsung menjadi keunggulan utama. Timses calon kepala daerah menggunakan media sosial untuk membangun narasi positif tentang calon mereka dan narasi negatif tentang lawan.
Misalnya, mereka mungkin memproduksi konten yang menampilkan pencapaian calon mereka atau menyoroti kekurangan calon lawan. Penggunaan influencer lokal atau tokoh masyarakat yang memiliki banyak pengikut juga menjadi bagian dari strategi ini.
Manipulasi Media dan Dampaknya
Salah satu masalah terbesar dalam perang media adalah manipulasi informasi. Manipulasi ini bisa terjadi dalam berbagai bentuk seperti penyebaran informasi palsu, framing berita yang menyesatkan, atau penggunaan data yang tidak akurat.
Dalam upaya untuk memenangkan hati pemilih, beberapa timses tidak ragu untuk menggunakan taktik kotor seperti menyebarkan hoaks atau fitnah. Ini bukan hanya merusak reputasi lawan tetapi juga menciptakan kebingungan di kalangan pemilih.
Ketika pemilih disuguhkan dengan informasi yang tidak akurat atau bias, mereka mungkin membuat keputusan yang tidak berdasarkan fakta. Hal ini dapat menghasilkan pemimpin yang tidak kompeten atau tidak memiliki integritas.
Selain itu, ketika media dimanipulasi untuk menciptakan polarisasi, masyarakat dapat terpecah belah, menciptakan ketegangan sosial yang berpotensi berbahaya. Polarisasi yang diciptakan oleh media juga dapat memperdalam ketidakpercayaan terhadap institusi publik dan memperlemah semangat kemasyarakatan.
Penelitian yang dilakukan oleh Musfialdy yang berjudul Peran Media Massa saat Pemilihan Umum, Mengawasi atau Diawasi (2015).
Menurutnya Penataan agenda (Agenda Setting) mengacu kepada kemampuan media massa untuk mengarahkan perhatian khalayak terhadap isu-isu tertentu yang diagendakan media massa.
Media massa dapat mempengaruhi khalayak tentang apa yang ada dalam pikiran mereka, artinya media massa mempengaruhi persepsi khalayak mengenai apa yang dianggap penting. Media massa memiliki kekuatan untuk mempengaruhi agenda media kepada agenda publik.
Peran Etika Jurnalistik
Dalam konteks perang media antara Tim Sukses Calon Kepala Daerah, etika jurnalistik memainkan peran yang sangat penting. Media memiliki tanggung jawab untuk menyediakan informasi yang akurat, berimbang, dan adil.
Namun, dalam kenyataannya, tekanan politik dan ekonomi seringkali membuat media cenderung bias. Media yang seharusnya menjadi pilar keempat demokrasi, kadang-kadang justru berperan sebagai alat propaganda yang memihak.
Etika jurnalistik yang kuat dapat membantu mengurangi dampak negatif dari perang media. Media harus memastikan bahwa mereka tidak menjadi alat politik yang hanya melayani kepentingan kelompok tertentu.
Salah satu tantangan utama yang dihadapi jurnalis dalam era digital adalah masalah kecepatan dalam melaporkan berita.
Dalam upaya untuk memenangkan persaingan dan mendapatkan perhatian pembaca, banyak media cenderung mengutamakan kecepatan daripada memeriksa fakta atau memastikan kebenaran berita.
Ini dapat menyebabkan penyebaran informasi yang salah atau tidak akurat, dan mengancam integritas jurnalistik (https://fisip.unisri.ac.id/etika-jurnalistik-di-era-digital)
Salah satu dampak paling merusak dari perang media adalah menurunnya kepercayaan publik terhadap proses pemilu.
Ketika pemilih merasa bahwa kampanye dipenuhi oleh informasi palsu dan manipulasi, mereka bisa kehilangan kepercayaan terhadap kandidat yang terpilih, bahkan jika proses pemilu berjalan secara adil. Ini bisa mengurangi legitimasi pemerintahan yang terpilih dan merusak fondasi demokrasi itu sendiri.
Akhirnya, perang media bisa mempengaruhi kualitas pemimpin yang terpilih.
Ketika kampanye lebih banyak difokuskan pada serangan terhadap lawan daripada diskusi tentang kebijakan, pemilih mungkin tidak mendapatkan informasi yang cukup untuk membuat keputusan yang bijak. Ini bisa mengarah pada terpilihnya pemimpin yang kurang kompeten atau tidak memiliki visi yang jelas untuk daerah mereka.
*Penulis adalah Pemilih