(Catatan Akhir Pekan) “Perang Bharatayudha” antar Faksi Birokrat Aceh Tengah

oleh

Oleh : Fauzan Azima*

Sebenarnya kisah efik Bharatayudha merupakan cerita perang saudara; antara Pandawa dan Kurawa untuk memperebutkan takhta Hastinapura. Yah, agak mirip dengan konflik antar faksi elit birokrat Aceh Tengah adalah “perang saudara” yang tak terelakkan.

Pasca demo anti Ir. T Mirzuan, MT, Pj Bupati Aceh Tengah, tak terhindarkan “perang bharatayudha” antar faksi birokrat di Aceh Tengah. Diawali perdebatan antar faksi, lalu saling tuding. Materi perdebatan itupun kemudian bocor ke permukaan.

Faksi pendukung Pj Bupati T Mirzuan misalnya, menuding aksi demo dan spanduk gelap didalangi oleh orangnya “dewan jenderal.”

Sebaliknya, kalangan pendukung “dewan jenderal” menolak mentah-mentah tudingan itu. Mereka tidak tahu-menahu, siapa dalang dibalik aksi itu. Jangan-jangan lempar batu sembunyi tangan, kata pendukung “dewan jenderal.”

Ibarat kotak Pandora yang sudah terbuka, tiada lagi rahasia yang tersisa. Terkuaklah berbagai keburukan faksi-faksi di jajaran birokrasi Aceh Tengah.

Salah satu faksi yang paling anti terhadap “dewan jenderal,” mensinyalir kegagalan Pj Bupati Mirzuan hari ini tidak terlepas dari setingan birokrat peninggalan pemerintahan sebelumnya.

Faksi-faksi lain yang berseberangan dengan “dewan jenderal” juga menuding hal yang sama, bahwa “dewan jenderal” sengaja melakukan pembiaran.

Dengan harapan, rakyat akan menuding Mirzuan sebagai biangkerok segala kesemrawutan di daerah dingin ini.

“Bila Mirzuan jatuh, posisi penjabat Bupati otomatis kosong. Harapan mereka akan diisi oleh dewan jenderal, ” ungkap faksi-faksi yang berseberangan dengan “dewan jenderal. ”

Tujuan “dewan jenderal” sebenarnya sudah tercapai ketika aksi demo dan spanduk gelap diapungkan media. Netizen ikut memberi komentar negatif terhadap kinerja Mirzuan.

Sayangnya, “dewan jenderal” lupa bahwa diantara mereka ada faksi yang menempatkan mata-mata dalam “dewan jenderal.” Faksi inilah kemudian membocorkan pembiaran yang selama ini disengaja oleh petinggi “dewan jenderal.” Termasuk membocorkan, siapa dalang dibalik aksi demo dan penyebaran spanduk gelap.

Mereka tidak menyalahkan Mirzuan, tetapi menuding ketidakmampuan petinggi “dewan jenderal” misalnya dalam menyiasati defisit. Ketidakmampuannya memimpin birokrasi, sehingga meluasnya sikap apatis dikalangan ASN, serta memicu tumbuhnya faksi-faksi dalam birokrasi.

Melihat indikasi itu, faksi anti “dewan jenderal” meyakini kerusakan birokrasi tidak lain disebabkan oleh eksklusifisme kelompok “dewan jenderal.”

“Kini tingkat kerusakan sudah memasuki level bahaya alias lampu merah,” ungkap pengikut faksi anti “dewan jenderal.”

Dampak lainnya, makin mengental inharmoni antar atasan bawahan. Roda pemerintahan mengalami stagnasi.

Bukan lagi rahasia, semua sudah tau. Sikap melemparkan kesalahan, menghindar dari tanggung jawab. Begitulah karakter asli petinggi “dewan jenderal.”

Oleh karena itu, birokrat anti “dewan jenderal” sudah pesimis, apakah tatanan birokrasi yang sangat rusak ini masih bisa diperbaiki?

Sementara Mirzuan sendiri dinilai selalu gamang, penakut dan ragu-ragu merombak pejabat yang menjadi biangkerok kerusakan birokrasi.

Berbagai faksi dikalangan birokrat Aceh Tengah tidak berharap lagi kepada Mirzuan, mereka sedang menunggu datangnya sosok penyelamat bertangan dingin yang paham birokrasi.

Hanya sosok penyelamat bertangan dingin itu yang bisa memperbaiki kerusakan, sekaligus menyatukan kembali faksi-faksi dalam birokrasi di Aceh Tengah.

(Mendale, Mei 10, 2024)

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.