Mirzuan Harusnya Dihukum Parak

oleh

Oleh : Sadikin Arisko*

Parak adalah salah satu bentuk hukuman atau sanksi adat bagi masyarakat Gayo yang melanggar peraturan kampung dengan tujuan memelihara ketertiban umum dalam masyarakat.

Biasanya hukuman parak berlaku bagi anggota masyarakat yang melakukan perkawinan sesusuan ataupun perkawinan dalam satu “belah” atau “satu kampung.” Demikian itu diberlakukan orang Gayo menjaga kemurnian darahnya.

Parak sendiri secara istilah bermakna diusir dari kampung. Tapi ada juga kampung yang membatalkan hukuman parak dengan syarat membayar denda, kecuali kasus pernikahan sedarah dan pencabulan terhadap anak di bawah umur.

Bagi pelaku kedua kasus di atas tidak berlaku lagi denda. Dia langsung dihukum “jeret naru” diusir pergi, dan tidak boleh kembali ke kampung itu lagi dan ketika meninggal pun jenazahnya tidak boleh dimakamkan di kampung itu.

Esensi dari hukum parak itu sebagai efek jera bagi pelaku sendiri dan menjadi pelajaran bagi masyarakat umumnya agar peristiwa yang sama tidak berulang lagi pada masa akan datang.

Seiring dengan perkembangan zaman, sanksi adat parak mulai tergerus. Biasanya adat kampung menjadi tumpul karena pemimpin di kampung tidak adil menegakkan hukum adat kalau pelakunya adalah sanak saudaranya.

Sehingga lahir ungkapan “mate edet atan istana” atau “matinya adat di dalam istana.” Seharusnya para pemimpin yang harus benar-benar menegakkan adat, tapi sebaliknya pemimpin yang merusak adat.

Sulthan Iskandar Muda yang bernama asli Tun Pangkat sangat tegas soal penegakan hukum. Ketika anaknya diputuskan bersalah langsung menghukumnya.

Sehingga lahir ungkapan Tun Pangkat yang populer “mate Aneuk meupat jerat, mate adat ho tamita” atau “meninggal anak ada kuburannya, kalau mati adat, kemana hendak dicari.”

Berdasarkan cerita orang tua dahulu bahwa karakter orang Gayo bukan sekedar takut melanggar aturan, tapi rasa malu telah mendarah daging jika tidak mampu melaksanakan amanah, apalagi melanggar tugas yang dipercayakan kepadanya.

Orang dulu sukarela dihukum parak karena menjaga diri dari rasa malu sebagai standar akhlak yang utama. Sehingga sering kita dengar daripada menanggung malu lebih baik mati terkubur.

Sepatutnya orang Gayo di zaman ini lebih bisa memodifikasi hukuman parak. Hukum adat itu tidak saja berlaku kepada hukum adat kampung, tetapi juga menjadi hukum negeri khusus pemimpin.

Sebagai mana disebutkan dalam istilah Gayo “Mubantah hakim munupang bale, mulumpet junger atas munyoke belide remet” yang intinya orang-orang yang tidak menjalankan peraturan dalam satu negeri.

Saya kira sah, Mirzuan melanggar aturan karena telah menyetujui pelaksanaan anggaran perubahan pada bulan Juli 2024 di negeri ini demi ambisi segelintir anggota dewan yang tidak terpilih pada pilihan legislatif lalu. Dan akhirnya Mirzuan harus dihukum Parak.

*Ketua Aliansi Masyarakat Gayo (AMG)

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.